Pada saat menikah, banyak kerabat dan handai taulan yang mendoakan pasangan supaya untuk segera diberi momongan atau anak. Tentu hal itu adalah doa baik bagi setiap pasangan.
Namun, doa baik ini seringkali disalah-artikan oleh beberapa orang. Mereka berpikir bahwa setelah menikah, pasangan harus sesegera mungkin punya anak.
Perempuan sebagai istri harus cepat-cepat "isi" alias hamil. Laki-laki pun seolah harus segera menunjukkan "kejantanan"nya dengan berhasil membuat "dua garis biru" pada testpack kehamilan istrinya. Hmmm... punya anak jadi semacam obsesi dan ambisi!
Jujur saja, saya dan suami adalah tipe santai untuk masalah anak. Padahal kalau dipikir, kami menikah di usia yang tak lagi muda.
Hal ini bukan berarti kami tidak mau punya anak atau tidak siap punya anak, namun semata karena kami percaya bahwa masalah anak adalah otoritas dari Sang Pemilik Kehidupan.
Selain itu, kami juga sadar bahwa punya anak adalah anugerah yang harus kita respon juga dengan tanggung-jawab yang besar.
Banyak konsekuensi ketika Tuhan menitipkan anak pada kita. Salah satunya adalah harus terus belajar menjadi orangtua yang baik untuk anak-anak.
Perkenalan kami sebelum menikah juga tak terhitung lama. Hanya hitungan bulan kemudian menjalani hubungan jarak jauh.
Jadi, kami berpikir untuk memperpanjang masa bulan madu. Ya, hitung-hitung "pacaran" lagi sambil menyinkronkan banyak hal karena latar belakang dan budaya yang berbeda.
Berangkat dari hal-hal tersebut, kami menunda untuk segera punya anak. Saya berterus-terang bahwa saya belum siap. Apalagi saya ini termasuk orang yang harus merencanakan sesuatu di mana segala hal harus dipersiapkan lebih dulu. Jika tidak, biasanya saya akan panik dan stres sendiri hehehe
Dalam hal menunda kehamilan tentu harus kesepakatan bulat antara suami-istri. Jika sudah begitu, kita akan santai alias tidak sewot menghadapi orang-orang yang bertanya. Dulu sih saya selalu menjawab diplomatis saja.
Saya menunda untuk punya anak selama hampir setahun. Namun, di sini tetap dengan catatan bahwa jika memang Tuhan akan memberi saat itu ya tidak masalah. Kami berserah pada kehendakNya.
Setelah hampir setahun usia pernikahan, kami merasa siap dan puji Tuhan langsung dikasih sama Yang di Atas.
Begitu juga anak kedua, setelah setahun memantapkan hati kami. Tuhan begitu baik pada kami, kami juga langsung dikasih. Anugerah besar dalam hidup yang tak pernah terpikirkan oleh kami hingga sekarang.
Tentunya tidak semua orang mengalami apa yang kami alami. Namun, menunda untuk punya anak adalah sebuah pilihan sesuai kondisi dan kesiapan masing-masing pasangan.
Jika sudah siap, pasti tak perlu menunda. Akan tetapi jika memang masih ada yang perlu dipersiapkan, tak ada salahnya menunda untuk punya anak.
Mempunyai anak bukan hanya sekadar "punya" kemudian selesai. Ada tanggung jawab dan konsekuensi yang lebih ketika kita menyandang status sebagai orangtua. Tanggung-jawab kita tidak berhenti ketika dipanggil "mama" atau "papa".
Nah, berikut adalah beberapa hal yang saya persiapkan sebelum memutuskan untuk hamil dan punya anak:
1. Kesiapan hati dan mental
Bagi seorang perempuan, menjalani kehamilan dan proses melahirkan bukanlah hal sederhana. Begitu juga setelah menjadi seorang ibu, banyak persoalan kompleks yang menghadang. Tentu hal ini butuh sikap hati dan mental yang tangguh.
Pun bagi laki-laki, harus siap menghadapi naik-turun hormonal istrinya hingga siap siaga selama kehamilan istrinya hingga jelang kelahiran sang anak.
Bagi saya, setiap pasangan harus kompak. Memang istri yang hamil, tapi mempunyai anak adalah tanggung jawab berdua dan bukan hanya istri saja.
Puji syukur, saya mempunyai suami yang meskipun tidak romantis tapi penuh perhatian dan mengerti. Hal ini merupakan hadiah yang luar biasa untuk saya menjadi tangguh selama hamil dan melahirkan.
Tak terbayang, jika saya hamil namun suami cuek atau masih selfish dengan kesenangannya sendiri. Dengan mempersiapkan hati bersama, kami pun antusias menyambut kehadiran buah hati kami.
Dengan begitu, kami siap dipanggil "mama" atau "papa" hingga siap untuk begadang dan mengurus bayi. Suami mau membantu memandikan, mengganti popok, belanja kebutuhan bayi, sampai mengantar periksa ke dokter anak.
Ya, saya ingin anak-anak menerima kasih sayang dari tangan orangtuanya sendiri.
2. Kesiapan kesehatan yang prima
Kehamilan masing-masing orang itu berbeda-beda. Namun, dengan kemajuan ilmu kedokteran ada beberapa hal yang bisa dicegah dan diantisipasi.
Minimal dengan mengetahui status kesehatan kita, segala hal yang beresiko bisa terdeteksi lebih dini untuk kemudian ditangani lebih cepat dan lebih baik.
Misalnya, mencegah infeksi TORCH, masalah pengentalan darah, diabetes melitus, hipertensi dan lain-lain. Saya sendiri, sebelum hamil melakukan serangkaian tes (lupa tes apa saja tapi sesuai rekomendasi dokter obsgin).
Mengapa perlu skrining terlebih dulu? Bagi saya, jika memang ada masalah kesehatan akan lebih baik diobati dulu sebelum hamil. Dengan harapan proses kehamilan lebih lancar dan anak dalam kandungan juga bisa bertumbuh baik dan maksimal.
3. Kesiapan finansial
Mungkin sampai disini, ada yang membatin kok saya ribet sekali? Hmmm... pengalaman mengajarkan saya bahwa bagaimanapun hamil dan membesarkan anak membutuhkan dukungan finansial yang tak sedikit.
Dulu saya menyaksikan sendiri seorang teman yang melahirkan namun suaminya tidak punya uang. Mereka menikah muda dan belum mapan. Pada saat melahirkan, suaminya hanya diam dan tak tahu harus apa. Akhirnya, orangtuanya yang nenanggung seluruh biaya melahirkan.
Setelahnya, ada momen yang membuat saya trenyuh ketika melihat bayi teman saya ini menggunakan bantal bayi yang sangat-sangat apa adanya. Ini bukan perkara kaya dan miskin, namun karena ketidaksiapan dan ketidaktahuan.
Dari situlah, saya bercita-cita jika saya punya anak harus menyiapkan dari jauh hari segala hal supaya anak saya mendapat sesuatu yang baik dan layak. Saya ingin memperjuangkan supaya anak mendapat sesuatu yang baik.
Bagaimana dengan persiapan finansial saya sebelum hamil? Saya menyiapkan seluruh biaya untuk kemungkinan terburuk harus melalui operasi caesaria.
Jadi, sewaktu anak pertama ada lilitan kuat tali pusat, kami memutuskan untuk operasi caesar. Asuransi kantor suami waktu itu bersifat reimburse dan itupun bolak-balik HRD mengatakan tidak ditanggung karena direncanakan. Masa iya disuruh mencoba melahirkan secara normal, sementara kondisi bayi tidak aktif seperti biasanya?
Kami tetap santai dan tak mau bergantung pada asuransi. Toh, ini anak kami sendiri dan sudah kami tunggu-tunggu. Jadi kalau memang tidak diganti ya tidak apa. Orang boleh mempersulit kita, tapi kami tak mau mempersulit diri kami sendiri.
4. Kesiapan untuk terus belajar
Memasuki "dunia parenting" itu ibarat masuk ke dalam hutan yang lebat. Selain penuh warna, ada kejutan disana-sini, tantangan dimana-mana, dan hiruk-pikuk kehidupan.
Sejauh ini belum ada "sekolah" untuk menjadi orangtua. Yang ada adalah orangtua yang harus terus belajar banyak hal dalam mengasuh anak. Menjadi orangtua adalah menjadi long-life learner.
Anak akan bertumbuh besar hari demi hari. Tiap tahap perkembangan anak mempunyai tantangan dan kesulitan masing-masing. Masalah pada bayi tentu beda dengan balita atau remaja. Artinya, menjadi orangtua tak boleh lelah untuk selalu belajar hingga mereka besar dan mandiri.
Ibarat naik rollercoaster, orangtua akan menghadapi banyak hal yang mendebarkan. Sebuah ujian untuk selalu sabar, rendah hati, dan bijaksana dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak.
So yah... Perlu tidak menunda untuk punya anak? Perlu jika memang diperlukan, dan tak perlu jika memang sudah siap dan sepakat bersama pasangan.
Tabik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H