Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Gudeg, Si (Karma) Manis yang Kucinta

13 Februari 2021   06:30 Diperbarui: 19 Februari 2021   17:00 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tak kenal gudeg? Makanan khas Yogyakarta yang melegenda. Banyak wisatawan memburunya. Rasanya ada yang kurang jika berkunjung ke Yogyakarta tanpa mencicipinya.

Saya termasuk orang yang memburu gudeg meskipun tidak sedang di Yogyakarta. Saya mengklaim diri sebagai pecinta gudeg. Namun, tahukah jika sebenarnya gudeg adalah "sweet karma" saya?

Kisah ini bermula di tahun 2000 ketika saya harus kuliah di kota gudeg. Awal-awal tinggal disana, saya banyak mengeluh ini dan itu. Yogyakarta yang panas, bikin kulit hitam, bahasa Jawa yang beda, hingga ke masalah makanan yang terlalu manis.

Nah, untuk masalah makanan, ini sungguh membuat kaget. Waktu itu saya membeli nasi dengan sayur bayam. Ya ampun, saya kaget ini sayur bayam apa kuah gula? Muaanisss sekali! Sejak itu saya pilih-pilih warung makan. Yang mendekati selera saya alias tidak terlalu manis menjadi langganan.

Sebenarnya jika dari keluarga, berhubung saya juga orang Jawa, kami juga penggemar masakan yang cenderung manis. Beda kadar saja. Jika keluarga saya gula hanya untuk menyeimbangkan rasa. Sementara di Jogja, hampir semua masakan manis tanpa ada rasa pedas.8

Lalu bagaimana dengan gudeg? Setelah mencicip gudeg, rasanya kok seperti makan sayur nangka yang dicelup gula! Super manis. Untungnya gudeg dilengkapi sambal goreng krecek dan sambal, kalau tidak alamat bisa ngilu gigi.

Mulanya gudeg ini saya hindari, tapi lama-lama sepertinya enak juga. Apalagi teman-teman kost sering membeli sarapan gudeg di pagi hari. Ada warung gudeg dekat kost yang selalu ramai di pagi hari.

Biasanya bersama teman kost membeli sarapan murah-meriah ini. Nasi gudeg, bihun goreng, suwiran ayam, sambal, dan aneka gorengan. Kalau tidak salah ingat setengah porsi cuma Rp 2000 saja. Super ramah di kantong mahasiswa.

Memang tidak tiap hari juga sarapan gudeg, tapi seminggu pasti ada sekali makan menu ini. Ya, lumayan lah dapat suwiran ayam dikit.

Namun tetap saja saya tidak pernah membawa gudeg Jogja untuk oleh-oleh. Bagi saya kurang rekomen gudeg yang manis ini. Mending gudeg di daerah saya, manisnya cukup dan tidak berlebihan.

Gudeg Jogja (Foto : foodgrapher.com)
Gudeg Jogja (Foto : foodgrapher.com)
Setelah 5 tahun tinggal di Jogja, saya pindah dan kerja di Palembang yang kulinernya lebih pedas. Ada pempek dengan cuko yang pedas atau tekwan yang makin mantap dengan sambal cabe yang pedas. Jadinya, gudeg makin tersingkir dan masuk daftar makanan yang tak saya sukai.

Namun, anehnya di tahun 2010 semua seperti berbalik arah. Saya menjadi cinta sama gudeg. Hal yang lucu ini terjadi ketika saya hamil anak pertama dan tidak tinggal di Indonesia.

Entah karena sugesti atau kerinduan akan makanan Indonesia, saya jadi pingin makan semua masakan Indonesia. Yang paling saya kangeni itu masakan Jogja! Gudeg dan nasi goreng magelangan (dimasak menggunakan anglo). Hahaha...  Asli gokil!

Saya pingin banget makan gudeg. Sampai ngiler-ngiler tak tertahankan kalau lihat gambarnya. Aduh, inikah yang namanya "sweet karma"? Ketika dekat tak suka, namun ketika jauh kangen banget.

Demi gudeg ini, suami sampai meminta tolong sopir untuk mencari nangka muda atau jackfruit. Rencananya mau memasak sendiri. Namun hasilnya nihil. Ada harapan sebenarnya, di kantor ex embassy ada pohon nangka tapi ternyata belum berbuah. Ya sudahlah.

Saya sebenarnya tidak memaksa atau mengharuskan dapat. Saya juga bukan tipe yang mau merepotkan orang. Kalau dapat syukur, kalau tidak juga tak apa. 

Akhirnya tak disangka, ada teman yang benar-benar membawakannya dari Indonesia hihi. Sukses deh saya menikmati gudeg di negeri orang. Nikmatnya luar biasa!

Ternyata karma manis tentang gudeg berlanjut. Sejak saat itu saya jadi penggemar gudeg Hahaha Kalau lagi di foodcourt mall, bukannya makan western food tapi saya pesan nasi gudeg.

Dari sinilah saya belajar untuk tidak langsung mengatakan tidak suka atau tidak enak pada makanan, nanti malah jatuh cinta! Hal itu juga yang membuat saya menjadi petualang "rasa". Liburan tanpa kuliner itu kurang nampol. Indonesia sangat kaya akan kuliner loh!

Beberapa makanan, awalnya memang tidak menarik, rasanya aneh, seolah tidak cocok dengan lidah kita tapi suatu saat pasti kangen atau malah suka. 

Kuliner Indonesia (Searah jarum jam : sate sapi Suruh Salatiga, Sop Konro Karebosi Makasar, Rawon Kalkulator Surabaya, Pamarasan ikan Toraja, Soto Semarang, Soto ambengan pak Sadi Surabaya. Foto : koleksi pribadi)
Kuliner Indonesia (Searah jarum jam : sate sapi Suruh Salatiga, Sop Konro Karebosi Makasar, Rawon Kalkulator Surabaya, Pamarasan ikan Toraja, Soto Semarang, Soto ambengan pak Sadi Surabaya. Foto : koleksi pribadi)
Saya ingat pertama kali makan masakan pamarasan Toraja, kesannya kok kotor gitu karena warnanya hitam. Setelah mencobanya, ternyata enak juga! Pertama kali makan jollof rice Afrika, ampun ini nasi kok "sangit". 

Duh, sekarang saya kangen! Sama kayak gudeg ini, si manis yang dulu saya hindari namun sekarang saya kangeni. 

Cikarang, 13 Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun