Kehidupan pernikahan itu penuh lika-liku. Jangan pernah berharap lurus, mulus, dan bahagia selamanya. Itu hanya ada di film dan drama. Justru kehidupan setelah menikah itu penuh petualangan suka dan duka.
Tulisan ini hanya sekedar sharing pengalaman. Saya bukan ahli ataupun konsultan pernikahan. Saya hanya seorang istri dan ibu yang ingin berbagi cerita.
Siap Kecewa?
Pada waktu KPP (Kursus Persiapan Pernikahan di gereja Katolik), saya mendapat penjelasan tentang seluk-beluk kehidupan berumah-tangga. Sebenarnya, saya tidak ingat semuanya karena sudah lama. Namun  seingat saya, ada sesi dimana pengajar menjelaskan bahwa cinta itu punya siklus.
Ada tahap romance, dimana cinta membuat hati berbunga-bunga dan mabuk kepayang. Pada tahap ini, konon tai kucing pun rasa coklat. Setelah itu ada tahap kecewa (saya lupa istilahnya). Kemudian masuk ke tahap penerimaan dan akan kembali ke tahap romance.
Pengajar KPP waktu itu menekankan pentingnya mengerti siklus ini untuk kemudian memperjuangkan supaya cinta kita kepada pasangan terus di tahap romance. Saya dulu ikut KPP tidak serius-serius amat dan agak keder juga karena banyak peserta masih muda-muda.
Saya dan peserta kursus banyak yang cekikikan mendengar pengajaran tersebut. Mungkin dalam hati, "Aduh, ini teori banget!" "Aduh, kayak gini dibahas juga?" Namun ya sudah, proses ini harus dijalani. Tanpa sertifikat KPP, kami tak bisa melenggang ke altar hehe
Seiring dengan waktu dan saya sudah menikah, akhirnya paham bahwa pengajaran dan "teori" tersebut benar. Nyesel deh dulu tidak serius dan mencatatnya!
Nah, kembali ke masalah siklus cinta. Umumnya, setelah menikah adalah masa bulan madu. Semua indah dan manis. Ini adalah tahap romance. Akan tetapi, setelah itu ya menjadi biasa. Bahkan timbul konflik, beda pendapat, dan juga kekecewaan. Yang tadinya suami atau istriku yang manis menjadi "Kok dia begini? Kok dia begitu?"
Tak usah jauh-jauh, kadang hal sepele membuat kita kaget dan kecewa.
"Ih, jorok! Handuk ditaruh di tempat tidur!"
"Duh, berisik banget tidur kok ngorok!" "Ampun, ternyata dia kok cerewet banget. Ngomel mulu!"
"Ow, dia nggak bisa masak! Masakannya nggak enak, "
Jika sudah seperti di atas, artinya kita masuk pada tahap "kecewa". Besar atau kecilnya kekecewaan tergantung pada kondisi masing-masing pasangan. Saya pun pernah kecewa. Dan itu hal yang wajar. Bukankah pasangan kita adalah manusia yang tak sempurna?