Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Nikah Beda Budaya, Kematian Dirayakan Besar-besaran?

24 Januari 2021   19:00 Diperbarui: 24 Januari 2021   19:05 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi (pixabay.com)

Pernikahan beda budaya itu penuh dinamika. Kadang membuat kesal namun tak jarang membuat tertawa. Dua belas tahun bersama tentu banyak peristiwa dan banyak pelajaran berharga. Budaya Jawa dan Toraja saling berjalan beriringan. Izinkan saya menuliskan ceritanya.

Peristiwa ini terjadi 3 tahun yang lalu ketika ibu mertua berpulang ke pangkuanNya. Awalnya saya usulkan untuk memakai kavling kami saja di daerah Karawang, namun ternyata diputuskan untuk dibawa pulang ke kampung di Sulawesi.

Berhubung si bungsu masih bayi, saya tak ikut serta. Di rumah duka saja si bungsu terus rewel dan menangis, betapa repot kalau harus naik pesawat dan perjalanan darat hampir 9 jam. Saya sendiri tak yakin kuat.

Selama di kampung, suami selalu memberi kabar perjalanan dan acara. Di hari kedua dan ketiga belum ada keputusan kapan dimakam. Aneh, begitu batin saya. "Kenapa harus rapat melulu? Yang dibahas apa aja sih? Ribet amat!"

Di hari selanjutnya juga sama. Malah membuat tandu untuk mengusung peti nantinya. Tandu tersebut diukir dan bisa memakan waktu 3 hari untuk membuatnya. Ongkosnya tentu tidak murah. Hmm... bertele-tele banget ya?

Kira-kira seminggu kemudian baru ada kejelasan acara. Jadi dua hari acara pesta adat, baru hari berikutnya misa requiem di gereja dan pemakaman.

Pada hari acara, suami sering secara random videocall. Saya makin bingung. Bagaimana tidak bingung melihat suasana acara adat yang lebih seperti pesta pernikahan? Ada panggung, tempat menerima tamu, dan dapur dadakan dengan jumlah orang yang memasak banyak.

Sebenarnya dikatakan kaget sekali tidak juga. Dulu almarhum mertua pernah menunjukkan video acara yang sama, rambu solo' salah satu kerabat. Sayangnya, waktu itu saya sudah ngeri duluan melihat kerbau yang ditebas dengan parang. Jadi, pemahaman saya cuma sampai pada masalah kewajiban membeli kerbau dan babi.

Memang, semua orang tahu acara pesta adat kematian suku Toraja itu unik. Hanya bagi saya tetap saja tak menyangka akan seperti ini yang terjadi di depan mata. Bagi saya, orang Jawa, agak susah untuk melogika dan "mencerna" perbedaan budaya ini.

Bayangkan, kita kehilangan orang terkasih kok malah pesta? Kok malah makan-makan? Tak ada kesedihan. Sementara kami orang Jawa, ketika ada kematian, untuk minum air putih saja tak sanggup. Saya sering datang ke rumah duka atau pemakaman, jika ada makanan saya tak sanggup menelan. Biasanya saya memilih untuk tidak mengambilnya.

Kembali ke masalah acara adat kematian mertua saya, tentu saya heran acara ini besar padahal sudah tidak di Toraja loh. Ada pembentukan panitia, MC, penyanyi, seragam keluarga, hingga suguhan makanan. Persis pesta pernikahan!

Berhubung saya belum bisa memproses perbedaan budaya ini, saya pasrah sambil terbengong-bengong. Kadang saya telpon saudara kandung saya, mereka pun bilang, "Mungkin memang itu budaya mereka, mau bagaimana lagi? "

Seiring waktu berjalan, saya sering bertanya dengan suami. Pun ketika mengunjungi Tana Toraja setelahnya. Saya berusaha menyelami filosofi hidup orang Toraja dan menerima budaya yang berbeda ini. Dalam pikiran saya, bagaimanapun anak-anak saya mempunyai darah Toraja.

Pada akhirnya saya mulai berpikir positif dengan orang Toraja. Betapa hebat mereka karena bisa mengelola perasaannya yang terkait dengan filosofi perayaan akan kematian. Mereka sedih, namun berusaha tegar mengupayakan yang terbaik untuk orang yang dikasihinya. Minimal itu yang saya lihat pada suami saya.

Rasanya jika itu terjadi pada saya, mungkin tak sanggup untuk tegar, tidak terpuruk, dan berpikiran jernih untuk mengurus ini dan itu. Meskipun acara adat ini memakan biaya besar, namun ada nilai-nilai yang tak bisa dihitung dengan uang. Sebuah kebersamaan sekaligus persembahan terakhir untuk orang terkasih.

Dua belas tahun bersama, saya sampai pada satu kesimpulan : 

Dalam pernikahan, perbedaan budaya bukan untuk disatukan, namun berjalan beriringan dalam harmoni cinta bersama.


Salam kasih dan cinta,

Cikarang, 23 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun