Kembali ke masalah acara adat kematian mertua saya, tentu saya heran acara ini besar padahal sudah tidak di Toraja loh. Ada pembentukan panitia, MC, penyanyi, seragam keluarga, hingga suguhan makanan. Persis pesta pernikahan!
Berhubung saya belum bisa memproses perbedaan budaya ini, saya pasrah sambil terbengong-bengong. Kadang saya telpon saudara kandung saya, mereka pun bilang, "Mungkin memang itu budaya mereka, mau bagaimana lagi? "
Seiring waktu berjalan, saya sering bertanya dengan suami. Pun ketika mengunjungi Tana Toraja setelahnya. Saya berusaha menyelami filosofi hidup orang Toraja dan menerima budaya yang berbeda ini. Dalam pikiran saya, bagaimanapun anak-anak saya mempunyai darah Toraja.
Pada akhirnya saya mulai berpikir positif dengan orang Toraja. Betapa hebat mereka karena bisa mengelola perasaannya yang terkait dengan filosofi perayaan akan kematian. Mereka sedih, namun berusaha tegar mengupayakan yang terbaik untuk orang yang dikasihinya. Minimal itu yang saya lihat pada suami saya.
Rasanya jika itu terjadi pada saya, mungkin tak sanggup untuk tegar, tidak terpuruk, dan berpikiran jernih untuk mengurus ini dan itu. Meskipun acara adat ini memakan biaya besar, namun ada nilai-nilai yang tak bisa dihitung dengan uang. Sebuah kebersamaan sekaligus persembahan terakhir untuk orang terkasih.
Dua belas tahun bersama, saya sampai pada satu kesimpulan :Â
Dalam pernikahan, perbedaan budaya bukan untuk disatukan, namun berjalan beriringan dalam harmoni cinta bersama.
Salam kasih dan cinta,
Cikarang, 23 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H