Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pieter dan Kenzo, Kisah Sekolah "Online" di Masa Pandemi

21 Desember 2020   10:31 Diperbarui: 21 Desember 2020   12:57 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi Sekolah Online (sumber: freepik.com)

Ketika bertemu, diamat-amati temannya dengan saksama. Kedua tangannya ditaruh di pinggang. Matanya menyelidik. Mungkin pikirnya, "Inikah Kenzo teman (online) ku?"

Sekolah "online" di masa pandemi tentu berbeda dengan sekolah biasa dimana anak bertemu guru dan teman-temannya secara fisik. Pertemuan nonfisik via gadget bagi anak playgroup yang baru pertama kali mengenal sekolah, bisa jadi menimbulkan rasa penasaran dan ingin bertemu. Seperti apakah guru, kelas, dan juga temanku?

Anak saya yang bungsu, Pieter, tahun ajaran 2020/2021 masuk playgroup. Dia belum pernah saya masukkan ke sekolah toddler dan semacamnya. Karenanya, di playgroup ini dia mengenal sekolah untuk pertamanya.

Karena situasi pandemi, pembelajaran tiap hari dilakukan secara online via Teams. Ada yang saya syukuri karena meskipun online, Pieter tetap antusias dan rajin mengikuti sekolah. Bahkan selama satu semester ini tak pernah absen.

Bagi saya, ini sebuah anugerah di masa yang tidak mudah ini. Dia tetap bisa belajar dan bermain untuk mengenal angka dan huruf. Selain itu juga melatih kemampuan motorik dan sosial-emosionalnya. Ada juga pelajaran musik. Semua berjalan lancar.

Namun, seiring berjalannya waktu saya menyadari bahwa sekolah online ini mau tak mau membuat anak  harus berimaginasi. Hal ini terutama untuk anak yang pertama kali mengenal sekolah. 

Dalam artian begini, anak harus membayangkan sekolahnya seperti apa, alat peraga guru yang baginya menarik itu seperti apa, gurunya seperti apa, pun temannya seperti apa. Ada rasa penasaran ingin tahu "wujud" nyata atau aslinya. Dia ingin melihat, memegang, dan bermain.

Kadang saya tertawa melihat tingkah lucu dan penuh penasaran si bungsu ini. Awal mengenal sekolah dan waktu pertama kali ketemu gurunya, dia sangat antusias dan bisa berkomunikasi sewajarnya. 

Namun, ketika waktu berpamitan pulang dan mengatakan "Bye, Miss!" , dia bertanya : "Mama, where is red button?" GUBRAAAKK... Duh, mungkinkah dia mengira guru sama dengan laptop sehingga harus menekan tombol merah? Hihihi...

Setelah itu, dia sering tantrum mau buka laptop ingin ketemu gurunya. Jadilah secara pelan saya jelaskan konsep mengenai guru dan laptop ini. Lama-lama dia mengerti bahwa gurunya adalah orang seperti mamanya dan seterusnya.

Rasa penasaran setelahnya adalah mengenai kelas dan alat peraga. Anak seusianya tentu ingin tahu seperti apa boneka yang dipunya guru, seperti apa buku ceritanya, atau cuma sekedar kalender. Nah, untuk mengatasi ini saya ajak ke sekolah.

Di kelasnya, dia bertemu gurunya untuk kemudian melihat laptop gurunya, isi kelasnya, bahkan Kiko, boneka tangan yang sungguh membuat penasaran. Setelah itu, dia bermain menikmati suasana di kelasnya. Dari situ mungkin sudah ada bayangan.

Masalah berikutnya adalah teman sekolah. Saya baru menyadari bahwa selama satu semester dia bersekolah tapi belum sekalipun bertemu fisik dengan temannya. Benar-benar teman "online"!

Tiap hari, dia selalu bercerita tentang Kenzo kepada papa dan kakaknya. Ya, bisa jadi karena Kenzo adalah satu-satunya teman yang "boy" di grup kelasnya yang terdiri dari 3 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Cerita tentang Kenzo bisa dari pagi sampai malam.

Awalnya, saya menilai wajar dan justru bagus karena dia bisa mengenali temannya meskipun sekolah online. Akan tetapi, semakin hari dia semakin berimajinasi mengenai temannya. Tiap kali dia selalu mengatakan dan sekaligus membayangkan bahwa Kenzo is my best friend, nanti berenang bareng, nanti bermain bersama dan seterusnya.

Hal itu membuat saya dan suami berpikir apa sebaiknya mempertemukan mereka supaya Pieter bisa tahu langsung "wujud" asli temannya seperti apa. Saya mengontak orangtua Kenzo. Ketika tahu akan bertemu dengan Kenzo, Pieter super-duper antusias dan tak sabar. Sepanjang jalan dia tak mau duduk di mobil tapi berdiri.

Saya dan suami sampai bertanya-tanya, sebegitukah Pieter ingin tahu dan sangat ingin melihat "best friend" nya secara langsung? Tentu hal seperti itu tak terpikirkan oleh kami. Hmmm... sepertinya kami harus belajar memahami psikologi anak di masa pandemi ini.

Semalam Pieter sudah bertemu dengan temannya, Kenzo. Dengan percaya diri,  dia turun dari mobil dan melangkah ke rumah Kenzo untuk menemuinya. Ketika Kenzo keluar, Pieter terlihat senang. Dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Diamat-amati temannya dengan saksama. Kedua tangannya ditaruh di pinggang. Matanya menyelidik. Mungkin pikirnya, "Inikah Kenzo temanku?"

Pertemuan berlangsung singkat. Kenzo mulanya malu-malu seperti layaknya anak-anak. Sedangkan Pieter masih terus mengamati. Entah apa yang di pikirannya. Sebagai ibu, saya hanya menduga dia senang sekali. Mungkin saja hatinya bilang: "Yes, I got it! Oh, seperti ini temanku Kenzo. Sama kayak aku. Aku boy, dia boy. Tinggi dan besarnya juga sama kayak aku. Matanya, tangannya, hidungnya, dan seterusnya... "

Lama-lama Pieter dan Kenzo saling lirik. Suasana sudah lebih cair. Kenzo tersenyum, Pieter juga tersenyum. "Akhirnyaaaa..." mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan pertemuan itu.

Sepulang dari rumah Kenzo, saya ajak anak-anak makan malam kemudian pulang ke rumah. Tak ada lagi pertanyaan "Kenzo" lagi. Mungkinkah dia sudah puas dan senang akhirnya terjawab seperti apa "wujud" asli dan bentuk fisik temannya? Hmmm.. hanya Pieter yang tahu.

Malamnya, Pieter tidur dengan pulas. Saya melihat ada semburat ketenangan dan kedamaian dalam tidurnya. Mungkinkah karena rasa penasarannya sudah terjawab dan dia tidak bingung lagi membayangkan sosok Kenzo lagi? Semoga.

Hmmm... Hidup tak lagi sama di masa pandemi ini. Anak-anak belum bisa bermain dengan teman-teman. Tapi saya percaya mereka akan tumbuh menjadi generasi yang kuat, tough, dan mampu beradaptasi dengan setiap perubahan.

Cikarang, 21 Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun