"Ibu tidak bisa kasih warisan ke kamu. Ya cuma warisan kepinteran. Makanya, sekolah yang pinter, " begitu kata ibuku berulang-kali selama bertahun-tahun. Mungkin kalau dihitung bisa ribuan kali. Terbukti aku sampai bosan dan hafal diluar kepala. Sungguh!
Dulu, tiap kali mendengar ceramah ibu, aku kesal sekali. "Seperti tak ada kalimat lain saja!" Aku merasa ibuku tidak kreatif dan membosankan. Aku pun heran mengapa ibu tidak pernah bosan mengulangi kalimat itu dan itu.
Jika Ibu sudah mulai mengucap "mantra" tersebut, rasanya ingin kabur saja. Lama-lama seperti kaset rusak yang suaranya membuat pening kepala. Aku dan kakakku sudah hafal akan hal ini.
Ketika kakakku dapat nilai jelek, ibu mengucap mantra ini. Ketika aku minta dibelikan tas baru, ibu langsung spontan menembakan mantra ini padaku. Ketika aku dan kakakku bangun kesiangan, mantra ini pun keluar lagi dari mulut ibu.
Rasanya di tiap momen dan apapun masalahnya, mantra ibu ini selalu jadi babak pembukaan. Bahkan di setiap musim kehidupan, ibu selalu menggunakannya. Tidak peduli hujan atau panas, nyambung atau tidak, pokoknya kalimat mantra ibu selalu itu.
Kalau sudah begitu, aku dan kakakku hanya diam. Terkadang iri juga sama adikku waktu itu. Karena masih kecil, ibu jarang mengucap mantra ini padanya. Tapi waktu itu aku dan kakakku sepakat bilang ke adik : "Tunggu tanggal mainnya. Nanti kamu juga akan dimantrai kayak kami! Hahaha "
Dan benar saja, begitu adikku beranjak besar dan duduk di sekolah dasar, ibu mulai merapalkan mantra itu untuk adikku. Jadi, kuping kami harus bertambah sabar dengan kalimat mantra ini.
Sekarang ini, aku baru menyadari bahwa Ibu sebenarnya mengajarkan kami menghafal mantra kehidupan itu secara konsisten setiap hari. Sebuah mantra yang tak lekang waktu karena masih "menempel" di ingatan hingga kini. Keren ya?
Tapi di balik itu rasa kesal itu, aku selalu rindu sama Ibu. Apalagi mengingat bagaimana beliau mengajarkan menyanyi. Aku belajar bernyanyi bukan di sekolah. Justru belajar di rumah.
Satu-satu aku sayang Ibu...
Dua-dua aku sayang...
Tiga-tiga sayang adik-kakak...
Satu-dua-tiga sayang semuanya...
Ibuku, perempuan desa yang sangat sederhana. Tapi, coba lihat lagu-lagu yang diajarkan ibu! Semua bermakna dan menggaung sepanjang masa dalam sanubari. Ada lagu Puk Ame-ame atau juga lagu Garuda Pancasila.
Aku masih hafal lagu-lagu itu sampai sekarang. Bahkan kuajarkan juga ke anak-anakku. Betapa hebat ibuku, beliau bisa sukses mengajar sesuatu untuk anak-anaknya.
Memang terlihat kecil dan sepele, tapi kalau dirasakan dengan hati ini bukan perkara kecil lagi. Aku justru melihat cinta yang dalam disana. Cinta yang tak bisa kau dapatkan penggantinya.
Cinta ibu tidak berhenti disitu. Dengan cintanya, beliau mendorong anak-anaknya untuk melangkah maju. "Kamu harus lebih dari Ibu! Sekolah yang tinggi!" begitu katanya.
Ibu berbeda dari tetangganya yang memburu anaknya untuk nikah muda. Aku pun tumbuh menjadi berbeda. Aku ingin sekolah tinggi. Kata-kata Ibu selalu memotivasiku. Sungguh itu pelajaran berharga.
Terkadang aku kasihan dengan ibu yang selalu dicibir tetangga. Menurut mereka, Ibu tak tahu diri karena mengajari anaknya bermimpi tinggi. Kulihat Ibu tak menggubrisnya.
Bagiku itu teladan yang baik datang dari Ibu. Memang benar, hidup ini tidak ditentukan apa kata orang. Justru kita sendiri yang harus terus berusaha dan berdoa kepada yang Maha Kuasa. Mereka bisa apa?
Kalau kutuliskan semua nasehat Ibu akan sangat panjang. Aku menyebutnya "resep" kehidupan. Resep-resep ini tak dijual dimanapun. Resep hidup ini juga anti-gagal. Asal kita ikuti dan lakukan dengan baik, niscaya kesuksesan dan kebahagiaan menyertai setiap langkah.
Kini aku sudah berkeluarga dan punya anak. Aku semakin menyadari betapa ingatanku tentang Ibu hanya seujung kuku. Betapa tidak, ketika aku menstimulasi anakku, aku menjadi ingat ibuku. Ketika anakku tak mau belajar, aku ingat ibu. Pun ketika anakku berprestasi, aku pun ingat ibu.
Dari siapa aku belajar tepuk tangan, tertawa, memegang barang, duduk, berjalan, berbicara, dan seterusnya? Jawabannya dari Ibu. Ibu adalah orang pertama yang mengajarkan semuanya.
Dari siapa aku jadi seperti sekarang ini? Tentu karena ada jasa besar ibu. Mungkin aku tak bisa mengingat semua momen itu masa kecil. Begitu juga, aku bukan bayi ajaib yang bisa dengan sendirinya.
Oh, betapa tak terhitung jasa ibu sebagai pengajar "private" itu anak-anaknya. Aku bersyukur, dulu Ibuku sendiri yang langsung mengajariku. Dari tangannya, aku belajar menulis. Dari tatap matanya, aku belajar sabar. Dan dari belaiannya, aku belajar untuk tetap semangat.
Ibu adalah pengajar teladan, penuh kasih, ketulusan, tanpa pamrih. Aku hanya bisa membalas dengan dua buah kata : "Terima kasih, " yang kurangkai dengan untaian doa. Semoga Ibu sehat, bahagia, dan diberi umur panjang.
Cikarang, 2 Desember 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI