Panas. Yang panas bukan udara di pinggiran ibukota ini. Bukan pula teh panas yang baru diseduh di warung nasi kotak. Bukan juga badan yang meriang karena cuaca pancaroba.
Bisik-bisik beberapa orang di warung sayur mengalir deras seperti bola panas. Beberapa pesan WA juga simpang-siur meramaikan hari. Pak Tato katanya jadi buronan lembaga negara. DUARRRRrr...
Tiga ibu-ibu yang jarang bergosip, kini mengikuti arus berita terkini. Pak Tato tinggal berbeda cluster dengan mereka bertiga. Tapi apadaya jika kompleks perumahan sekecil ini tentu saja tembok bisa punya telinga, bisa bicara, dan memantulkan gema untuk urusan gosip panas.
Dan kali ini gosipnya tidak main-main karena sudah masuk media televisi nasional. Jadi bukan gosip kaleng-kaleng. Wajar ibu-ibu ini ikut bertanya-tanya ketika bertemu di warung sayur.
"Waduh, kok bisa kita punya tetangga buron ya, bu? Nggak satu cluster tapi masih satu kompleks, " kata bu Ndar.
"Iya, nggak nyangka ya? Mungkin nggak enak sama atasannya. Sekarang yang atas kena, nggak ada pilihan sebenarnya loh. Tapi untuk apa buron?" sahut bu Yem.
"Lebih baik menyerahkan diri saja ya, Bu Yem? Ya memang harus tanggung jawab, sudah makan uang suap. Besar pula itu... hmmm... " bu Tarni yang sedari memilih bayam menimpali.
"Ya iya bu... uang rakyat itu. Pantesan kemarin getol banget mau ekspor benih lobster, " sahut bu Yem.
Bu Ndar sibuk menyelesaikan pembayaran di kasir warung. "Namanya lahan basah yang dijabanin to bu? Dikira nggak ketahuan kali ya? " timpalnya.
"Kita tunggu kabar selanjutnya aja ya, bu-ibu? Saya pamit dulu, " sahut bu Ndar. Bu Ndar yang bermasker kain batik segera menuju parkiran warung untuk segera pulang.
Di warung, masih ada bu Yem dan bu Tarni. Bu Yem sudah selesai belanja dan kini mengantri di kasir. Sembari menunggu kasir menghitung belanjaan, bu Yem bertanya kepada bu Tarni.