Ramai polemik pemindahan ibukota sepertinya masih terus berlanjut, meskipun presiden Jokowi sudah memutuskannya. Ada yang setuju, tak sedikit pula yang tak setuju alias keberatan.
Bahasan tersebut terus berseliweran di media daring dan juga blog Kompasiana tercinta. Ada yang nyambung, namun ada juga yang tidak nyambung. Sebagai awam, saya hanya menikmati kegaduhan saja. Toh, tidak ada yang mengajak saya ikut pindah. Saya akan tetap tinggal di Cikarang hehe.
Disini saya hanya sekedar ingin berbagi pengalaman kecil saja. Tahun 2009, saya mengikuti suami tinggal di Lagos, Nigeria. Tentu sudah tahu ya, Nigeria adalah satu dari beberapa negara di dunia yang pernah memindahkan ibukota negaranya.
Lagos adalah sang "mantan" ibukota negara Nigeria. Sedangkan ibukota yang baru adalah Abuja. Lagos yang yang saya lihat waktu itu semrawut, pembangunan tidak tertata, dan sangat padat.
Ibukota Nigeria pindah dari Lagos ke Abuja pada tahun 1991. Artinya, pada tahun 2009 sudah berjalan selama 18 tahun. Namun dari cerita teman-teman pada tahun 2009, Abuja masih sepi dan kurang "hidup". Memang kota Abuja lebih cantik, tertata, dan indah. Berbanding terbalik dengan Lagos yang tidak punya keindahan pada waktu itu.
Menjadi pertanyaan, apakah Lagos sepi dan mati karena ibukota pindah ke Abuja? Jawabannya adalah tidak. Sampai sekarang Lagos masih menjadi pusat bisnis, industri, dan perdagangan. Bakhan ITPC (Indonesia Trade and Promotion Centre) berkantor di Lagos.
Penerbangan internasional dari dan ke Lagos juga ramai melalui bandara Mortala Mohamed. Lagos tidak mati meskipun tidak lagi menjadi ibukota negara.
Abuja sebagai ibukota baru, ditata mulai dari nol. Di sepanjang jalan ada pohon-pohon untuk menpercantik kota. Hal yang sama mungkin akan terjadi di Kaltim saat pembangunan ibukota negara yang baru nantinya.
Inilah salah satu nilai plus pemindahan ibukota, ibukota yang baru didesain dan ditata mulai dari awal. Penataan dan pembangunan dari awal tentu akan jauh lebih mudah. Hasilnya pun lebih baik.