Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Teratai Minggu Pagi

18 Juni 2019   07:00 Diperbarui: 18 Juni 2019   07:12 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu Pagi

Semilir angin membelah kerumunan orang. Semua mata berbinar menikmati kesegaran kebun raya ini. Hijau pepohonan dan rerumputan membisikkan sebuah harapan untuk menyusun kekuatan. Ya, hidup di Jakarta sungguh melelahkan. Ritme dan tuntutan hidup menyeret kita untuk terus bergerak cepat.

Kuambil tempat duduk di pinggir taman. Aku ingin santai menikmati suasana ini. Tiba-tiba mataku terpana melihat bunga besar yang cantik di depan. Teratai! Sebagai penyuka bunga, rasanya semua bunga itu cantik. Aku selalu memotretnya untuk kuunggah di akun instagramku. 

Ah, tunggu... mengapa kali ini perasaanku berbeda kala menatap bunga teratai ini? Kuusir galau tak jelas dalam hatiku. Kulangkahkan kakiku meninggalkan bunga indah itu. Aku masih tak paham dengan perasaanku sendiri. Mengapa jadi seperti ini ya?

Senin Pagi

Pagi ini aku merasa lebih fresh. Kusambut hari Senin dengan semangat. Semua pekerjaan kuselesaikan dengan baik di kantor.

Namun entahlah... perasaanku masih galau tidak jelas. Bayangan teratai yang mekar sempurna di kebun raya terus menggelayuti pikiranku.

Segera kuusir kegalauan hatiku yang tak jelas. Jangan sampai aku jadi orang yang "halu". Cukup politikus saja yang halu. Aku harus menatap tanah dan menjalani kehidupan nyata. Kubuka file-file yang harus kuperiksa. Hmmm.. hari Senin ternyata banyak yang harus aku kerjakan.

Detik demi detik. Menit demi menit. Jam demi jam. Semua berjalan dengan santai dan lancar. Bosku senang dengan hasil kerjaku. Artinya, Senin ini aku bisa pulang tepat waktu.

Sore sudah beranjak. Matahari sudah berada di sebelah barat. Semoga aku bisa sampai rumah sebelum gelap.

Tiba di parkiran, aku bertemu seorang pria klien kantorku. Wajahnya biasa saja, sangat-sangat standar untuk ukuran laki-laki kebanyakan. Namun entahlah aku merasa ada sesuatu yang kukenali mirip dengan dia.

Pria itu berambut lurus, berkacamata, baju standar tanpa style neko-neko. Biasa saja. Hmmm.. tapi tunggu, aku membaca ada kharisma disana. Aku jatuh cinta? Tidak. Bukan. Aku tidak tertarik dengan pria itu. Aku hanya semacam dejavu yang aku sendiri tidak tahu.

Ah, betapa anehnya hari ini dan kemarin. Dari bunga teratai hingga pria berkacamata. Aku seperti terhempas dalam hamparan rumput bernama kebingungan. Hidup memang penuh misteri.

Selasa Pagi

Pagi ini kubuka mataku tepat jam 5 pagi. Rasanya segar karena tidur yang pulas semalam. Aku tertegun sejenak sebelum beranjak ke dapur. Dan lagi-lagi pikiranku kembali melayang pada bunga teratai dan pria berkacamata itu. Sial!

Sekali lagi kuyakinkan diriku, aku tidak jatuh cinta sama pria itu. Tidak! Entah misteri apa yang membuat ingatanku tersangkut dengan pria itu. Dan bunga teratai, entah apa yang menjadikan otakku tersandera. Padahal aku hanya melihatnya dan tak menyentuhnya sedikitpun.

Sampai di dapur, kuambil gelas untuk minum. Kusodorkan piranti bening ini di bawah kran dispenser. Air putih mengucur mengisi gelas. Segera kuteguk segarnya air putih ini. Kutenangkan hatiku atas pikiran bodoh yang telah dua hari mencabik-cabik kewarasanku.

Dalam kegalauan yang makin menggelora, tiba-tiba ada yang menghentak dalam anganku. Sebuah kepingan memori masa lalu. Seketika juga terasa perih di hati.

Benar juga kata orang, kenangan bisa membawamu berjalan melintasi lorong waktu. Dan saat ini kenangan menyeretku ke sebuah wihara di tikungan itu. Satu.. dua.. tiga... kepingan ingatan merangkai sebuah cerita lama.

Di sudut salah satu wihara itu, aku ingat diskusiku bersama dengannya. Seorang yang waktu itu begitu mencintaiku. Setia dan menjagaku di ratusan hari yang kulewati.

Dengan sabar dia mengantarku ke gereja dan menjemputku kembali usai misa. Semua perempuan pasti meleleh dengan perhatian seperti itu.

Suatu sore dia mengajakku ke wihara-nya. Everything were good. Pertama kali aku menginjak tempat ibadah pemeluk agama Budha. Rasanya biasa saja. Sunyi dan senyap memeluk udara disana.

Kuingat banyak yang kusyuk berdoa. Dia mengajakku mengelilinginya. Banyak yang dia ceritakan padaku. Kudengarkan sambil merasakan angin sore yang berhembus.

"Kamu tetap ke gereja ya. Aku tak mengharuskanmu ikut caraku, " katanya.

Aku tahu kemana arah pembicaraannya. Tapi aku enggan menjawabnya waktu itu. Ada sebuah ragu di dadaku.

"Yang penting kamu bisa berbaur dengan kami. Biasa saja kok, " lanjutnya datar.

Kuanggukan kepalaku tanpa tahu apakah benar itu jawabanku. Biarlah. Dia kembali mengajakku memutari wihara. Kulihat calon biksu berjalan tanpa alas kaki di atas jalan kerikil. Dia menjelaskan padaku tentang apa yang dilakukan calon biksu tersebut. Aku lupa namanya. Ah, benar-benar kenangan usang!

Segera kuberanjak untuk menyiapkan sarapanku. Namun sungguh sial! Kenangan akan wihara itu tak mau juga pergi. Dia mengikutiku terus di dapur.

Pada akhirnya aku teringat ukiran bunga teratai di tiang wihara. Teratai yang menguncup, kemudian setengah mekar, dan akhirnya mekar sempurna. Katamu tahapan mekarnya bunga teratai melambangkan tahapan pencerahan dalam diri seseorang.

Ya, sekarang aku tahu kenapa teratai yang mekar sempurna di kebun Raya itu seolah merongrongku untuk menyibak lembaran masa lalu. Ternyata ada kamu disitu. Ah, sudahlah semoga kamu berbahagia sekarang.

Kulangkahkan kakiku menuju tangga. Aku harus menyiapkan keperluan kantorku hari ini. Perasaanku sudah ringan sekarang. Tak lagi gundah yang tak jelas menghinggap di hatiku.

Pada anak tangga ketiga, tiba-tiba kudengar ponsel yang kutaruh di kamar berbunyi. Segera kupercepat langkahku. Namun tak terkejar, deringnya sudah berhenti.

Satu panggilan tak terjawab.
Lima pesan WA masuk dari kakakku, mas Nano.

"Na, Bayu meninggal hari Minggu kemarin di Singapura. Dia sakit Na.. "

Tak kulanjutkan lagi apa isi WA mas Nano. Aku tercenung. Setelah bertahun-tahun mengapa kabar yang kudengar justru menyayat hati.

Mungkinkah teratai di Minggu pagi itu sasmita yang kau kirim untukku?

Teratai mekar sempurna...

Akhir perjuangan hidup paripurna...

Kamu pasti bahagia disana...


Cikarang, Juni 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun