Pemilu tinggal hitungan hari. Ada rasa deg-degan bagaimana hasilnya. Apalagi menilik linimasa media sosial. Berita-berita tersebut rasanya seperti angin yang berhembus kesana-sini tak karuan. Ada yang berputar haluan. Ada yang berganti haluan. Ada yang secara mendadak (meskipun sebenarnya sudah terbaca sebelumnya) terang-terangan mendukung salah satu pasangan. Hmmm... hiruk pikuk dunia maya sangat terasa!
Tidak sengaja pagi ini juga saya mengintip linimasa media sosial berlogo burung biru. Ocehan netizen begitu riuh mengisinya. Beberapa membuat saya agak terkejut. Saya katakan "agak" karena menurut saya aneh.
Anehnya begini, beberapa orang memilih karena mengikuti pilihan orang lain yang mungkin menjadi panutannya. Ada ulama, mantan menteri, bahkan jenderal purnawirawan. Sebenarnya sah-sah saja. Tapi kenapa harus mengatakan memilih karena orang tertentu pilih dia?
Nalar saya mengatakan pemilu sangat menentukan nasib Indonesia 5 tahun kedepan, sudah seharusnya kita menggunakan hati untuk menentukan pilihan. Mungkin sebagian orang akan bilang hal itu lebay (berlebihan).
Tapi buat saya justru ini valid. Saya pernah sudah 2 kali mengikuti pilpres. Dari pilpres tersebut, pilihan saya (secara kebetulan) menang semua. Namun baru sekali dalam hidup saya, ada "balasan" langsung akan apa yang sudah saya berikan.
Balasan yang saya terima sebenarnya sederhana dan biasa. Tapi buat rakyat biasa seperti saya akan sangat berarti. Ceritanya lebih dari dua tahun lalu (jauh sebelum heboh politik pilpres), saya dan keluarga menghabiskan akhir pekan di Bogor.
Kami menuju ke Kebun Raya Bogor untuk menunjukkan istana kepresidenan Bogor kepada anak saya. Begitu kami di seberang istana yang dibatasi oleh danau, kami melihat sosok yang kami duga presiden Jokowi. Suami saya heboh bukan main.
"Itu pak Jokowi... itu lagi latihan panahan!" katanya.
Saya pun mulai mendekat. Duh, benar! Rasanya tak percaya saya bisa melihat orang nomor 1 di Indonesia dengan mata telanjang. Meskipun tidak dekat-dekat amat. Paspampres mengawasi di seberang danau. Mereka tampak serius namun jauh dari kesan menakutkan dan arogan.
Kebetulan kami membawa kamera dengan lensa jarak jauh. Saya ingat suami saya meminta saya untuk cepat-cepat ambil di tas yang saya gendong. Seolah tak mau melewatkan momen. Dan setelah terpasang, kami pun bergantian melihat pak Jokowi dengan sangat jelas melalui lensa kamera.
Paspampres tak melarang, padahal kami sudah ragu dan takut. Suami sempat mengambil beberapa foto pak Jokowi dan anak bungsunya, Kaesang, yang sedang berlatih memanah.
"Pak Jokowiiii..." panggil suami saya.
Benar-benar nekat suami saya berteriak memanggil. Dan tidak disangka sama sekali, pak Jokowi membalas sapaan itu dengan tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah kami. Beliau mendengar dan merespon. Wow!
Duh, rasanya nyes.. ada rasa tak percaya. Benarkah itu pak Jokowi? Kok mau-maunya membalas sapaan rakyat biasa? Buat saya yang hanya rakyat biasa ---cuma kaleng-kaleng--, rasanya terharu dan bahagia dengan balasan pak Jokowi. Baru kali ini presiden sangat merakyat dan mencintai rakyatnya.
Mungkin sebagian pembaca akan bertanya-tanya keobjektifan pendapat saya. Bisa jadi saya terlalu subyektif dan baper. Baiklah, saya akan bandingkan dengan presiden pilihan saya sebelumnya. Sebelum pindah di tahun 2012, saya tinggal di Cibubur Country Cikeas, tak jauh dari kediaman pribadi beliau. Sebagai rakyat biasa hanya "kebagian" jatah melihat iring-iringan mobilnya saja.
Saya pernah mencoba mendekat ke kompleksnya. Hasilnya langsung ditanya paspampres mau kemana, ada apa, dan seterusnya. Disini saya bukan bermaksud menjelekkan. Toh memang tidak ada yang salah dengan sistem tersebut. Memang aturannya seperti itu.
Disini saya hanya ingin menyampaikan bahwa rakyat biasa meskipun tinggal tak jauh dari kediaman pribadinya tak otomatis bisa langsung melihat presidennya. Ibaratnya tak terjangkau dan tak tersentuh.
Bagaimana presiden sebelumnya lagi? Wah, jaman saya kuliah beliau datang ke kampus. Sebagai mahasiswa pas-pasan yang jalan kaki ke kampus, saya sengsara. Bayangkan, kampus saya tepat di seberang gedung pusat. Gara-gara ditutup, saya harus memutar jauh dan melipir melewati fakultas lain.
Yang sebelumnya lagi dan lagi? Hmmm... rasanya cuma liat lewat layar kaca ya, pemirsa hehehe Di pikiran saya, yang bisa bertemu dan bersalaman dengan presiden harus orang penting, orang hebat, atau orang berprestasi.
Beda dengan pak Jokowi, baru kali ini presiden mau menyapa rakyat secara langsung. Melihat senyum presiden saja sudah bahagia, apalagi bisa salaman. Paspampres juga tidak kaku dan menakutkan.
Waktu di Kebun Raya Bogor, apakah hanya saya yang heboh kegirangan? Tidak. Setelah itu banyak pengunjung berdatangan. Beberapa ibu-ibu malah tidak hanya memanggil pak Jokowi, tapi bilang ke paspampres supaya pak Jokowi keluar istana hihihi
Memang setelah selesai berlatih panahan, pak Jokowi keluar istana untuk jogging. Kebahagiaan saya bertambah bisa berfoto dengan beliau. Anak saya pun bisa bersalaman langsung.
Beberapa hari ini saya juga membaca buku "Jokowi, Menuju Cahaya". Meskipun belum selesai tapi rasanya terlalu banyak alasan untuk memilihnya. Satu hal yang membuat saya yakin adalah karena beliau mencintai rakyatnya dan ingin membawa bangsa ini menuju cahaya.
Tulisan ini saya tutup dengan harapan, semoga semua pembaca akan memilih dengan hati yang jernih. Terlebih pasca debat pilpres pamungkas malam ini. Siapapun yang terpilih nanti, kita tetap satu bangsa : Indonesia!
Cikarang, 13 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H