Mohon tunggu...
MomAbel
MomAbel Mohon Tunggu... Apoteker - Mom of 2

Belajar menulis untuk berbagi... #wisatakeluarga ✉ ririn.lantang21@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menggali Jejak Sejarah Benteng Somba Opu

23 Februari 2018   22:40 Diperbarui: 24 Februari 2018   10:29 6549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Liburan long weekend Imlek kemarin, saya mengajak jalan-jalan keluarga ke Makassar. Boleh dikatakan liburan paling "drama". Bagaimana tidak, liburan yang kami rencanakan dari bulan Desember nyaris batal. Sempat berubah tanggal, terjebak macet saat ke bandara, ketinggalan pesawat, kemudian terpaksa menginap di hotel sebelum terbang di hari berikutnya. Termasuk liburan mahal juga karena hangus tiket 2 kali, hangus booking hotel 2 malam huhuhu... Tapi demi menepati janji ke anak, bagaimanapun harus dijalani daripada membuat mereka kecewa.

Awalnya mau liburan 5 hari, mengeksplor kota Makassar sampai ke Malino. Kemudian berubah menjadi 3 hari dan akhirnya hanya 2 hari gegara drama macet parah hingga ketinggalan pesawat! Duh, bubar semua rencana yang sudah saya buat. Drama-drama tersebut juga menguras tenaga dan pikiran. Karenanya setelah itu, saya buat santai-santai saja liburannya. Malah di hari terakhir, anak-anak minta berenang di hotel hohoho... Kalau kata Syahrini, jadwal petualangan manjah terhempas syudah!

Tapi yang namanya travelling selalu ada kejutan. Setelah check-out hotel, masih ada waktu kurang lebih 4 jam sebelum ke bandara. Suami saya iseng mengajak ke benteng Somba Opu. Jadilah kami ke sana. Ternyata boleh juga loh!

Benteng Somba Opu

Benteng Somba Opu (Dok. Pribadi)
Benteng Somba Opu (Dok. Pribadi)
Kompleks Benteng Somba Opu (BSO) ini sebenarnya tidak ada istimewanya. Tidak ada tiket masuk. Serasa kita memasuki areal perkampungan di desa. Tapi enaknya kita bisa keliling dengan mobil, jadi tidak perlu jalan jauh dan kepanasan. 

Pada saat keliling-keliling, kesan pertama yang saya dapat, tempat ini tidak terawat, sepi, dan tidak menarik. Tapi setelah saya perhatikan banyak papan-papan informasi yang ada. Informasinya pun lengkap. Sayang kalau tidak dieksplor. Awalnya, saya ke benteng di sisi sebelah barat. Disini benteng terlihat jelas.

Benteng Somba Opu (Dok. Pribadi)
Benteng Somba Opu (Dok. Pribadi)
Saya mencoba mengelilingi benteng kearah kiri, sambil melihat batu bata yang tersusun di benteng. Batu bata berlumut tapi tersusun rapi. Siapa yang menyangka benteng ini dibuat pada awal abad ke-16, artinya sudah lebih dari 400 tahun. Yang istimewa lagi, benteng ini bukan buatan Belanda tapi maha karya kerajaan Gowa.

Dilihat dari sebelah luar (Dokumen Pribadi)
Dilihat dari sebelah luar (Dokumen Pribadi)
Jika kesini, kita tak perlu bingung mencari informasi tentang benteng. Ada papan yang memuat informasi lengkap dan edukatif tentang benteng.

Informasi tentang Benteng Somba Opu (Dok. Pribadi)
Informasi tentang Benteng Somba Opu (Dok. Pribadi)
Informasi yang terdapat di papan tersebut adalah sebagai berikut :

Latar Historis

Benteng Somba Opu (BSO) didirikan pada awal abad ke-16 atas usaha Raja Gowa ke-9 Karaeng Tumapakrisi Kallona yang kemudian dilanjutkan oleh Karaeng Tunipallangga Ulaweng. Pada tahun 1545, Karaeng Tunipallangga (Raja Gowa ke-10) memperkuat struktur dinding benteng dengan batu padas. Pada masa pemerintahan Tunijallo (Raja Gowa ke-12), benteng mulai dipersenjatai dengan meriam-meriam berkaliber berat pada setiap sudut bastion.

Secara arkeologis, bentuk benteng memang belum diketahui, karena sebagian dindingnya belum teridentifikasi. Terutama dinding sebelah utara. Berbagai ekskavasi telah dilakukan guna mengungkap keberadaan dinding tersebut. Meskipun bentuknya belum diketahui secara pasti, namun ada informasi penting yang dapat dilacak berdasarkan hasil studi Francois Valentijn dan disempurnakan oleh Bleu dalam sebuah peta berangka tahun 1638. Dari peta tersebut diketahui bahwa BSO berbentuk segi empat panjang.

Didalamnya terdapat istana raja, rumah para bangsawan, pembesar, dan pegawai-pegawai kerajaan yang dikelilingi oleh tembok, dibelah dua oleh sumbu jalan utama yang membujur utara-selatan. Di sebelah utara menempel pada dinding luar, terdapat pasar. Jalan utama tersebut berpotongan tegak lurus di bagian tengah kompleks dengan sebuah jalan lainnya yang melintang dalam arah timur-barat.

Mesjid terletak di ujung selatan jalan utama, melintang barat-timur berorientasi ke arah barat. Tempat bermukim raja terdapat di bagian barat-selatan berdekatan dan sejajar dengan dinding benteng sebelah barat. Tiap bangunan mempunyai halaman masing-masing yang dikelilingi oleh pagar kecil. Di luar benteng tinggal para prajurit dan keluarganya, tukang-tukang, saudagar, dan para pendatang dari berbagai suku bangsa.

Di bagian utata benteng terdapat bangunan perwakilan dagang bangsa Portugis, kemudian Belanda yang membuka kantor dagang tahun 1607, Inggris tahun 1603, Spanyol tahun 1615, sementara Cina dan Denmark tahun 1618. Sebelah timur benteng terdapat kampung Mangalekanna yang dihuni oleh orang-orang Melayu, sedangkan pedagang Bugis-Makassar menempati daerah-daerah di sekitar benteng, dan para petani yang mengerjakan sawah milik kerajaan menempati kampung Bontoala.

Potensi Tinggalan Arkeologis

Luas BSO berdasarkan hasil pemetaan Suaka PSP Sulsera tahun 1986 adalah 113.590 m2 dengan posisi geografis berada pada S 051136 dan E 119 24 10. BSO terletak di desa Sapria, kecamatan Somba Opu, Gowa. Struktur pembentuk bangunan adalah bata dari berbagai ukuran batu padas. Dan pada bagian-bagian tertentu terdapat tanah isian yang tidak teratur. 

Ketebalan dinding bervariasi antara 200-300 cm pada sisi timur dan selatan, sedangkan pada sisi barat berukuran 300-400 cm. Pada sebelah barat laut terdapat bekas istana Maccini Sombala dengan dinding yang sangat tebal. Dari tempat inilah, raja memantau para pedagang, lalu-lintas kapal, arus bongkar muat barang, dan penarikan bes masuk pelabuhan.

Setelah membaca informasi tentang BSO, saya berjalan ke arah rumah besar dan kemudian naik ke benteng. Terik panas matahari sangat menyengat. Sampai di atas benteng, baru terlihat ternyata benteng ini lebar sekali. Saya jadi membayangkan benteng aslinya yang konon tingginya 7-8 meter dan lebar sekitar 3-4 meter. Betapa kokohnya BSO pada saat jaman kejayaan kerajaan Gowa.

Berpose di atas BSO (Dokumen Pribadi)
Berpose di atas BSO (Dokumen Pribadi)
Di ujung benteng terdapat rumah besar yang rusak. Di dalamnya terdapat bangunan lagi. Tak ada yang tahu apa yang ada didalamnya. Dugaan saya, tempat itu untuk sembahyang atau ziarah. Pada saat itu, ada pasangan muda-mudi yang sudah lama duduk disitu. Namun ketika saya tanya mereka juga tidak tahu apa-apa.

Pojok benteng (Dokumen Pribadi)
Pojok benteng (Dokumen Pribadi)
Pemandangan di sebelah selatan benteng. Di balik tanggul tersebut adalah sungai Jeneberang (Dokumen Pribadi)
Pemandangan di sebelah selatan benteng. Di balik tanggul tersebut adalah sungai Jeneberang (Dokumen Pribadi)
Peta Benteng Somba Opu

Informasi lebih jelas lagi, bisa kita dapatkan ketika berkunjung ke museum Karaeng Pattingalloang di komplek ini. Di museum ini terdapat peta gambaran BSO yang diletakkan di langit-langit museum. Kita bisa melihatnya dengan bantuan cermin yang ada disana. Peta ini menggambarkan BSO secara utuh. 

Peta Benteng Somba Opu (Dokumen Pribadi)
Peta Benteng Somba Opu (Dokumen Pribadi)
Material Penyusun Benteng

Di museum terdapat contoh material penyusun BSO, yaitu batu bata. Batu bata ini terbuat dari tanah liat, berbentuk segi empat panjang dengan berbagai ukuran: kecil, sedang, dan panjang.

Berbagai ukuran batu bata BSO (Dokumen Pribadi)
Berbagai ukuran batu bata BSO (Dokumen Pribadi)
Ternyata batu bata penyusun BSO tidak hanya polos tapi ada yang bermotif ragam hias. Ragam hias tersebut antara lain :

1. Daun

Ragam hias ini dibuat dengan teknik gores, ditemukan pada ekskavasi tahun 1989.

Batu bata ragam hias daun (Dokumen Pribadi)
Batu bata ragam hias daun (Dokumen Pribadi)
2. Lubang bersusun

Lubang bersusun ini merupakan Kutika (penanggalan). Bagi masyarakat Bugis-Makassar berfungsi sebagai petunjuk atau aturan untuk menentukan hari baik dan buruk untuk memulai suatu pekerjaan. Ditemukan pada ekskavasi tahun 1989.

Ragam hias lubang bersusun (Dokumen Pribadi)
Ragam hias lubang bersusun (Dokumen Pribadi)
Ragam hias lubang bersusun (Dokumen Pribadi)
Ragam hias lubang bersusun (Dokumen Pribadi)
3. Ikan

Dibuat dengan teknik gores (inside). Salah satu mata pencaharian orang Makassar dari dulu sampai sekarang adalah nelayan yang mencari ikan untuk memenuhi kehidupannya. Ditemukan pada ekskavasi tahun 1992.

Ragam hias ikan (Dokumen Pribadi)
Ragam hias ikan (Dokumen Pribadi)
4. Berbentuk jari-jari dan lubang yang menyerupai permainan dakon. 

Ragam hias ini dibuat dengan teknik tekan (terra). Ragam hias ini menunjukkan bahwa masyarakat Makassar di masa lalu sudah mengenal permainan ini. Ditemukan pada ekskavasi tahun 1989.

Ragam hias yang menyerupai dakon (Dokumen Pribadi)
Ragam hias yang menyerupai dakon (Dokumen Pribadi)
Rumah Adat

Selesai menggali info di museum, saya lanjutkan dengan berkeliling komplek. Terdapat rumah-rumah adat yang ada di Sulawesi. Ada rumah adat Toraja, Gowa, rumah labirina Ujung Pandang, rumah panggung terbuka, rumah adat Kabupaten Bulukumba, Baruga Somba Opu dan lain-lain. Boleh dikatakan sebagai "taman mini"nya provinsi Sulawesi Selatan. 

Sayangnya, rumah-rumah ini telantar tanpa ada perawatan dari pemda. Beberapa ada yang dihuni. Beberapa rumah tampak rusak dan hancur atapnya. Beberapa rumah hanya bisa dilihat dari luar karena ditutup dengan pagar bambu. Benar-benar telantar dan terbengkelai!

Baruga Somba Opu ( Dokumen Pribadi)
Baruga Somba Opu ( Dokumen Pribadi)
Beberapa rumah adat yang ada di BSO
Beberapa rumah adat yang ada di BSO
Apa yang bisa digali di BSO?

Berkunjung ke BSO, kita diajak mengenal sejarah dan budaya bangsa Indonesia. BSO menjadi saksi bahwa sejak dahulu bangsa kita termasyur dalam perdagangan dan pelayaran. Selain itu juga bangsa kita mampu hidup berdampingan dan harmonis. Dari sejarah, kita tahu bahwa berbagai suku bangsa dan bahasa bisa hidup bersama dalam perbedaan. Ada orang Gowa, Melayu, Cina, Bugis, Makassar, dan bangsa Eropa. Fakta sejarah ini perlu kita gali, supaya di masa sekarang, kita pun bisa hidup berdampingan dan harmonis dalam perbedaan. Jangan sampai bangsa kita terpecah-belah dan mengalami kemunduran.

Mengapa BSO sepi?

Kompleks BSO ini sangat sepi. Pengunjung bisa dihitung dengan jari. Tempat wisata ini seperti mati dan tak ada gairah. Rumah-rumah adat rusak, taman tidak terurus, juga sampah berserakan. Padahal potensi wisatanya sangat besar sebagai wisata sejarah dan budaya. Menurut saya ada juga spot kekinian, yaitu tulisan orens BENTENG SOMBA OPU di samping museum. Di benteng, rumah adat, ataupun museum juga tak kalah instagramable untuk berfoto. 

Waktu itu saya lihat juga ada pasangan yang melakukan foto prewedding dengan pakaian adat Bugis. Menjadi PR bagi pengelola dan pemda untuk membuat tempat ini menarik anak muda dan keluarga? Dengan pengelolaan dan perawatan yang baik, saya yakin akan membuat tempat wisata sejarah dan budaya ini menjadi nyaman untuk dikunjungi. (RR)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun