[caption id="attachment_242125" align="aligncenter" width="605" caption="http://www.aktualpost.com/2013/04/14/871/"][/caption]
Carut marut yang baru terjadi dalam penyelenggaraan Ujian Nasional tahun 2013 menunjukkan lemahnya system pemerintahan di bidang pendidikan. Dilihat dari awal pelelangan masih banyak cacat disana sini, salah satunya adalah bagaimana sebuah perusahaan yang tidak memiliki rekam jejak untuk ikut proyek dengan dana pemerintah bisa dimenangkan. Disisi lain, yang cukup mengherankan adalah ketika PT Ghalia yang berada di urutan ke empat dengan nilai lelang sebesar Rp. 22,4 milyar bisa mengalahkan peserta lain dengan selisih 10 milyar lebih mahal PT Ghalia. Namun ketika dikonfrontir dengan pejabat Kemendiknas mengatakan alasan kenapa dimenangkan PT Ghalia dikarenakan peserta yang menawar lebih rendah masih kurang persyaratannya. Sedangkan Mendikbud Muhammad Nuh mengatakan bahwa terpilihnya PT Ghalia semata-mata peserta yang melelang lebih rendah, ternyata sudah menang di paket yang lain, akhirnya PT Ghalia naik menjadi pemenangnya walaupun dengan nilai lelang yang mahal.
Jauh sebelum kisruh ujian nasional, saya cukup akrab dengan nama PT Ghalia karenapernah kerjasama dalam salah satu pekerjaan. Kalau boleh menilai PT Ghalia secara manajemenpun sebenarnya kurang bonafid, karena pernah terjadi perpecahan sehingga mengakibatkan kekisruhan dalam pembagian hak dan kewajiban dikarenakan konflik internal dalam perusahaan. PT Ghalia sendiri sebelumnya memiliki rekam jejak yang buruk yaitu tahun 2009, Badan Pengawas Pemilihan Umum pernah melaporkan perusahaan tersebut karena bermasalah dalam pengadaan kertas surat suara Pemilihan Presiden 2009. Hal ini cukup mengherankan karena Kemendikbud sampai lalai dalam mem-black list PT Ghalia sehingga mengakibatkan kerugian besar baik materiil maupun non materiil.
Penyelenggaraan lelang proyekyang didanai oleh Negara bukan rahasia lagi penuh trik dan intrik. Semua bisa serba dikondisikan baik dari proses maupun spesifikasi yang dilelang. Bahkan walaupun sudah dibuat online sekalipun, masih saja ada hacker bayaran peserta tertentu untuk membobol website lelang, sehingga ketika ada peserta lelang lain mau masuk langsung diblok tidak bisa meng-upload pendaftaran. Bahkan tidak menutup kemungkinan terjadinya kong kalingkong antara peserta lelang dengan IT yang mengoperasikan website instansi tertentu. Ada yang aneh memang dalam lelang proyek UN, karena PT Ghalia memiliki rekam jejak yang buruk tapi herannya diberikan tanggung jawab lebih banyak yaitu 11 propinsi. Dari cerita teman-teman, kalau tidak salah 5 hari sebelum pelaksanaan, PT Ghalia sempat mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Namun Menteri tidak mau tahu karena itu sudah menjadi tanggung jawab Ghalia sebagai pemenang tender. Akhirnya PT Ghalia menambah SDM dari 250 orang menjadi 500 orang untuk ngebut penggandaan naskah termasuk distribusinya. Satu hal lagi yang mengherankan, kenyataannya adalah naskah jawaban ternyata sangat tipis dan mudah rusak, sedangkan proses penilaian dengan komputerisasi. Bagaimana seandainya jawaban yang benar itu tidak terbaca karena lembar jawaban rusak? Sudah semestinya ketika ada penyelenggaraan lelang terlebih dahulu disampaikan spesifikasinya sehingga peserta lelang bisa menentukan harga lelangnya. Mungkinkah Kemendikbud membuat spesifikasi dengan bahan yang murah, atau justru sebaliknya panitia yang terlebih dahulu mencocok-cocokkan spesifikasi supaya sesuai dengan kemampuan PT Ghalia. Bila benar itu terjadi, itu artinya proses lelang tersebut sudah di setting dari awal.
Ujian nasional tahun 2013 benar-benar meninggalkan sejarah hitam yang berharap tidak terulang lagi. Kerugian yang harusditanggung tidaklah kecil, karena harus dua kali kerja yang semestinya distribusi adalah tanggung jawab pemenang lelang tapi pemerintah terpaksa turun tangan untuk mempercepat proses distribusinya. Sehingga pada akhirnya minta bantuan TNI AU dengan menyewa pesawat Fokker dan Hercules karena mengejar deadline. Belum lagi kekisruhan tingkat daerah seperti kesalahan distribusi, kekurangan naskah, maupun keterlambatan distribusi.. Pertanyaannya adalah menjadi tanggung jawab siapa atas biaya-biaya diluar dugaan karena menurut saya masalah distribusi naskah UN tidak termasuk dalam Force Majure yang diakibatkan karena alam. Belum lagi kerugian inmaterial yang harus dialami kalangan orang tua dan anak-anak. Bagaimana tidak, susah payah mereka menyekolahkan sampai 6 tahun lamanya untuk SD, dan 3 tahun lamanya untuk SMP/SMA dengan biaya yang tidak murah, namun hanya ditentukan dalam kurun waktu 5 hari dengan system penyelenggaraan yang tidak profesional dan abal-abal. Seyogyanya pikirkan ulang dalam menyelenggarakan UN, karena kalau berkaca dari pengalaman tahun 2013 lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Ada banyak hal yang perlu diperbaiki sistemnya baik dari penyelenggaraan proses lelang, distribusi maupun pelaksanaannya. Janganlah penyelenggaraan UN ini dijadikan ladang bisnis bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mengeruk keuntungan, tapi benar-benar bisa menjadi standarisasi kemampuan anak-anak bangsa untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Salam hangat…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H