Maraknya penutupan Toko Buku, Perpustakaan Dapat Berperan Sebagai Penerbit?
Pagi ini (28/05), saya membaca dua artikel yang berkaitan dengan maraknya penutupan toko buku. Satu artikel tentang penutupan Toko Buku Gunung Agung yang dimuat di Media Online Jakarta Post dengan tajuk  "not a goodby for books" dalam versi Indonesianya diberi tajuk bukan perpisahan dengan buku".
Artikel ini mengulas mengenai tutupnya Toko Buku Gunung Agung dan juga took-toko buku lainnya yang ada di luar negeri seperti Toko Buku Border dari Amerika Serikat yang sudah lama menghilang dari peredaran.
Di sisi lain toko buku independent bukan toko buku besar di beberapa daerah seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Denpasar berkembang dengan pesat, biasanya toko buku ini menyatu dengan usaha lainnya seperti kafe dan juga berfungsi sebagai penerbit kecil.Â
Dalam Akhir artikel disampaikan kesimpulan bahwa buku dan toko buku belum tamat. Yang terjadi hanya sekadar pergantian peran.Â
Era digital mungkin telah jadi norma, dan kita rasakan juga kekurangannya. Buku, baik berbentuk fisik atau digital, tidak saling menggantikan karena keduanya sama-sama jadi pelengkap dalam hidup kita.
Aritkel kedua yang saya baca masih berkaitan dengan penutupan toko buku namun bukan penutupan toko buku secara fisik melainkan penutupan toko buku online terbesar di dunia yaitu Amazon yang dimuat di portal theguardian dengan tajuk Amazon to close Book Depository online shop.Â
Artikel ini dimuat sebulan yang lalu (bulan April 2023). Artikel mengulas bahwa pemesanan buku fisik di Toko Online akan mulai ditutup pada bulan April 2023. Penjualan Buku Online yang berbasis di Gloucester, Inggris pada tahun 2004 didirikan oleh Stuart Felton dan Andres Crawford. Dalam artikel disebutkan bahwa pesenan buku terakhir pada tanggal 26 April 2023. Alasan penutupan toko buku onle dikarenakan biaya operasional yang sudah tidak memadai lagi termasuk pengurangan sejumlah pegawainya. Â
Kedua artikel tersebut sudah barang tentu kedepannya akan mempengaruhi eksisten suatu perpustakaan yang sebagian besar masih berfokus pada koleksi dalam bentuk fisik (cetak) dan belum banyak yang beralih ke dalam bentuk buku digital. Menurut hemat saya ada beberapa catatan yang dapat dilakukan oleh perpustakaan dalam upaya mengatisipasi kondisi tersebut:
1. Perpustakaan dapat berperan sebagai penerbit yang menghasilkan karya-karya dari para pemustaka atau pengunjung bahkan masyarakat disekitarnya. Bu Lies Pengurus PP_IPI menyampaikan bahwa salah satu contoh melihat perkembangan bisnis penerbit Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kelihatan ya berkembang menjadi Perpustakaan digital yg open access, memperlihatksn bahwa pemerintah/negara hadir utk mencerdaskan bangsa, tanpa harus jadi anggota Perpustakaan, semua Informasi yg diterbitkan bisa diakses bebas bagi masyarakat utk mencerdaskan bangsa