Mohon tunggu...
Nur Kumalasari
Nur Kumalasari Mohon Tunggu... -

Likes Movies, Books, Sports, Musics and else

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kau, Suami Akhiratku ...

29 Maret 2012   04:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:19 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah ini dimulai dengan amat sederhana, sesederhana daun-daun tua yang rontok tertiup angin. Sesederhana angin menerbangkan debu-debu, menempel disetiap media yang ia inginkan. Tanpa pernah aku prediksi bahwa kisah itu adalah milikku, menjadi bagian dari garis hidupku.

Ibu bilang namanya Yudhistira, lulusan salah satu perguruan tinggi swasta, sudah mapan, putra sahabat ayah ketika dulu masih aktif di TNI. Itu mukaddimah yang ibu katakan di sore yang basah selepas hujan, sebagai bab kedua dari maksud ibu dan ayah tentang keinginannya menjodohkanku dengan putra sahabatnya. Kunyahan roti bakar dimulutku menjadi lambat, hampir malas dan kalau saja tidak ada ibu mungkin sudah aku muntahkan. Mendadak dadaku menjadi penuh sesak, perutku seperti penuh akan apapun yang bisa memenuhinya, kepalaku seperti putaran rollercoaster, dan aku menjadi tuli untuk mendengar ucapan ibu selanjutnya. Tapi ini bukan saatnya untuk menangis.

Aku mengemukakan alasan penolakanku, bahwa aku telah memiliki pilihan hati, laki-laki yang belum sempat aku perkenalkan kepada ayah ibu, laki-laki yang kepadanya aku yakin untuk melanjutkan fase selanjutnya sebagai seorang wanita, bahwa aku memilihnya dan menolak siapapun Yudistira.

Ayah diam dalam duduknya menatap kosong halaman depan dari balik jendela musim hujan yang selalu buram, ibu sama diamnya seperti ayah, duduk mematung di kursi paling pojok ruang tamu. Ada mas Rafli juga disana yang kompak tidak bersuara. Tapi dua tiga menit berselang ayah angkat bicara, tanpa melihat kearahku.

“Kamu akan tetap menikah dengan Yudhistira, ayah yakin ini keputusan paling tepat yang ayah ambil untuk hidup Sarah”

Singkat dan tidak bisa terbantah, adalah menjadi ultimatum bagi seisi rumah di nomor tujuh puluh tiga untuk patuh. Dan itulah keputusan final untuk kelanjutan aku dan mas Dewa.

Mas Dewa masih diruang tamu bersama ayah, ia memakai baju koko lengan pendek favoritku, hadiahku untuknya di Idul fitri kemarin aku duduk disamping mas Dewa berusaha sebisaku menjadi berani didepan ayah, karena tidak pernah aku bisa bayangkan bahwa ini kali pertama aku menjadi penentang ayah. Aku teramat mengetahui bahwa ruangan dimana kami berada adalah ruangan sesak, penolakan ayah terhadap mas Dewa menjadi alasan betapa sebenarnya kami tidak ingin berada disana, tapi aku dan mas Dewa tidak ingin menyerah begitu saja atas semua rencana hidup yang pernah kami rajut dalam masa setengah tahun kami bersama. Aku dan mas Dewa masih menunggu ayah bicara, sungguh aku butuh ayah bicara, aku hampir tidak sanggup lagi menatap muka ayah yang menahan amarah, bicaralah ayah dan apapun yang akan Engkau katakan, biarlahini menjadi usaha terakhirku atas mas Dewa.

“Bapak yakin, kamu laki-laki baik nak, karena Sarah memilihmu, tapi apa yang telah bapak putuskan itulah keputusan terakhir bapak atas masalah kamu dan Sarah, bapak berharap Dewa dapat menerima, selesaikan urusan kalian dengan baik, maaf bapak tidak bisa lama, harus pergi sekarang”

Dan airmataku meleleh, seperti tidak ada lagi oksigen yang dapat kuhirup diruang itu, teramat sesak, andai aku dapat berlutut untuk menghentikan langkah ayah yang berlalu pergi. Aku melihat lelehan air mata disudut kelopak mata mas Dewa, aku pindah duduk disampingnya, dia menatapku.

“Mas” panggilku lirih

“Inilah takdir kita Sarah, meski tidak ingin, inilah keputusan ayah, adalah kewajiban kita sebagai anak untuk menghormati keputusan ayah” ujar mas Dewa pelan, air matanya kembali meleleh, tapi kali ini punggung tangannya lekas menghapus. Aku mengangguk mengiyakan ucapan mas Dewa, jika dia adalah mahramku pasti aku akan sigap memeluknya, menguatkan hatinya, menenangkan batinnya, menghibur kekalahannya, lidahku kelu.

“Mas harus tahu, dan penting untuk mas Dewa mengingat apapun yang akan terjadi kedepan, mas adalah laki-laki pilihan Sarah, Laki-laki yang Sarah yakin akan menjadi imam terbaik untuk Sarah, Sarah mohon jangan merasa kalah, jangan merasa tidak beruntung karena penolakan ayah, bahwa yang terjadi hari ini sangat sederhana, kita tidak digariskan Allah untuk berdampingan, Sarah minta maaf, terima kasih karena mas berusaha sampai titik ini untuk mendapatkan Sarah” Terisak aku menyelesaikan apa yang harus aku ucapkan untuk mas Dewa, semua yang ada dalam benakku. Aku hanya ingin dia keluar dari rumahku dengan badan tegak, seperti laki-laki sejati, bukan sebagai laki-laki yang kalah. Mas Dewa menangis.

“Jadilah istri yang baik, sekuat apapun perasaan Sarah kepada mas atau mas kepada Sarah, tapi suami Sarahlah yang harus Sarah cintai dan hormati, jadilah istri yang amanah, mas pamit pulang, sampaikan salam mas untuk ayah, sampaikan bahwa mas Ikhlas”

Aku makin terisak, ditempat dudukku, tangan kirinya jatuh diatas kedua tanganku yang basah air mata, sementara tangan kanannya mengusap punggungku tiga kali, ia lalu beranjak.

“Mas pulang Sarah” pamitnya

Ibu berdiri di koridor pembatas ruang tamu, Ia pun menangis, mas Dewa berjalan kearahnya, meraih tangan ibu untuk pamit, sekilas aku melihat ibu mengusap punggung mas Dewa, terima kasih ibu batinku, aku yakin itu sangat berguna untuk mas Dewa.

“Saya pamit bu” ucap mas Dewa menatap ibu, ibu mengangguk, lalu segera ia berlalu meninggalkan ruang tamu. Aku mengikuti langkah mas Dewa dibelakang, menyalami mas Rafli dan istrinya, mas Bagas yang sedang memangku Putra kecilnya, terus lurus kepintu depan, sampai didepan gerbang, mas Dewa membalikkan badannya.

“Assalamualaikum Sarah” pamitnya

“Waalaikumsalam mas” jawabku, mas Dewa berbalik menuju mobilnya yang terparkir diseberang jalan, aku tetap berdiri disana sampai ia hilang ditikungan.

Pilihan untuk memenangkan hati kami itu memang terbuka lebar, tapi sangat tipis beda antara menang dan egois, ketika kami menang pasti akan menyakiti ayah dan ibu, dan mas Dewa kuyakin tidak akan menempuh jalan itu, akan menjadi masa depan yang jauh darii rahmat Allah menjalani rumah tangga tanpa restu orangtua dan bagaimana mungkin cita-cita keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah menjadi realisasi. Karena itu kami memilih pasrah, menerima keputusan ayah, mas Dewa pun bilang mungkin memang inilah jalan pilihan Allah untuk kita.

Jum’at Mubarak, di 11 Agustus menjadi hari akad nikahku dan Yudhistira, aku diam dikamarku dengan kebaya putih panjang dan riasan lengkap, ditemani Rani dan Nuna, sahabat sejak aku dan mereka bersama-sama kuliah di Universitas Indonesia. Mereka kerap mengusap punggungku. Diluar terdengar persiapan petugas kantor Urusan Agama memimpin acara akad nikah, tidak lama berselang kudengar mas Yudhis mengucapkan Ijab Kabul dengan lancar. Detik itu Aku menutup mata, mengultimatum hatiku “Sarah, Yudhistiralah suamimu”, air mataku jatuh, Rani dan Nuna bersamaan memelukku.

Hari pertama setelah resepsi aku dan mas Yudhis pulang ke Cilandak, rumah mertuaku. Dikamar luas mas Yudhis inilah aku akan memulai hidup menjadi istrinya. Setelah membersihkan sisa-sisa riasan aku mengambil wudhu menunggu mas Yudhis bersama melaksanakan shalat Isya, tapi sampai pukul sebelas mas Yudhis belum kembali. Saat ini lahir dan batinku sangat lelah, takut ketiduran aku memutuskan menunaikan Isya sendiri.

Aku menengok Blackberryku, pukul dua belas lewat, mataku memutar ke sekeliling kamar mencari mas Yudhis, tapi tidak kudapati Mas Yudhis dimanapun, dengan malas aku beranjak dari tempat tidurku, sampah kelopak-kelopak mawar berserakan dilantai. Aku beranjak meraih jilbab tapi baru ketika aku memegang gagang pintu mas Yudhis masuk. Aku mundur lalu duduk di tepi tempat tidur.

“Kalau mau istirahat tidur saja, aku belum ngantuk” ujar mas Yudhis sambil lalu memasuki kamar mandi.

Hatiku terdetak, mungkinkah ini sebuah isyarat penolakan untukku, tapi hatiku masih sangat lelah atas upayaku mendelete nama mas Dewa, karena itu aku tidak ambil pusing atas ucapan mas Yudhis, setelah menyiapkan piyama untuknya aku merebahkan diri dan begitu saja kembali terlelap.

Aku terjaga untuk tahajud dan Subuh pertamaku sebagai istri mas Yudhis, kudapati mas Yudhis di sofa kamar masih terlelap, kuberanikan mendekati dan membangunkannya, satu kali, dua kali sampai kali ketiga tanganku menepuk lengannya mas Yudhis tidak bergeming, aku menarik nafas lalu berbalik kekamar mandi. Setelah dhuha kutunaikan aku kembali mencoba membangunkan mas Yudhis, tapi sia-sia terakhir mas Yudhis malah memunggungiku. Dan setelah salam kedua aku pun tidak sanggup lagi menahan tangis, atas kelalaian suamiku. Istighfarku panjang.

Aku menyiapkan kemeja untuk dipakai mas Yudhis, tapi ketika keluar kamar untuk sarapan mas Yudhis memakai kemeja yang lain, aku menahan nafas tanpa komentar, dia acuh memakan sarapannya dan setelah meneguk susu sekali dia segera berlalu pergi. Kurapikan sisa sarapan suamiku, masuk kamar dan memasukkan kembali kemeja pilihanku kedalam lemari.

1 bulan pernikahan, Kami pindah ke sebuah perumahan tidak jauh dari rumah mertuaku. Rumah yang cukup besar jika hanya ditinggali berdua, ditambah sedikitnya obrolan antara aku dan mas Yudhis, menjadikan rumah besar minimalis itu semakin kosong, tapi inilah syurgaku, singgasanaku. Di 30 hari menjadi istrinya aku masihlah Sarah, Sarah putri ayah karena mas Yudhis belum menyentuhku. Tidak jelas perasaanku, senang, bersyukur atau prihatin atas situasi ini tapi aku memang merasa belum bisa seratus persen dapat menerima pernikahan ini. Dalam waktu itu kami bicara seperlunya, antara Ya dan tidak, saling kagok ketika berpapasan atau jika perlu saling meninggalkan jika kedapatan ada di situasi kami terjebak bersama, di ruang TV, ditaman belakang, hanya diruang makan kami duduk berdua, dalam obrolan sendok dan garpu.

Tanpa dikomando aku menjadi pintar bersandiwara tiap kali ibu, ayah dan mertuaku berkunjung kerumah atau ketika kami mengunjungi mereka, bahwa apa yang kami tunjukkan adalah rumah tangga kami baik-baik saja, pun kepada Rani dan Nuna, karena adalah kewajibanku sebagai seorang istri untuk memelihara diri dan fitnah suamiku.

Dua bulan pernikahan kami, aku mulai merasa tersiksa, betapa pengorbanan yang kuambil dengan meninggalkan mas Dewa menjadi sia-sia. Bayangan rumah tangga bersama mas Dewa yang tidak seharusnya ada dipikiranku kerap mengusik, saat aku merapikan taman di akhir minggu, saat aku memasak sebisaku, saat aku menonton televisi yang memang bukan kebiasaanku, dan banyak saat lain. Bertanya kepada Allah ujian apa yang diberikan kepadaku, bahwa harusnya Dia maha adil, ketika aku berkhidmat kepada ayah dengan menikahi pilihannya harusnya Allah memberikanku suami yang bisa menghiburku, yang pelan-pelan bisa menggantikan tempat mas Dewa di hatiku. Tapi siapa aku yang berani mengadili tuhannya, bukankan Allah lebih mengetahui kebaikan dan kemaslahatanku.

Hari itu, dibulan ketiga penikahan kami tanpa sengaja aku mendapati BBM dari wanita yang kusimpulkan kekasih mas Yudhis, tentang janji-janji pertemuan mereka, tentang pujian-pujian dan candaan, kubuka Contact Profilenya, terpampang wajah tirus berkaca mata, Indah begitu Display Namenya.

Aku tersenyum getir, sambil meletakkan Blackberry milik suamiku ditempat semula. Sambil berpikir Selemah inikah keimaman kamu mas, bahwa jika kamu memang telah memiliki pilihan hati kenapa tidak kau pertahankan sampai titik darah usahamu, berusaha memenangkan pilihanmu seperti yang pernah mas Dewa lakukan untukku, menikahinya dan bahagia menjalani rumah tangga bersamanya. Bukan terjepit pada kondisi seperti hari ini bersama aku. Aku hanya bisa menunggu penjelasan Allah atas semua kejutan ini.

Aku bangun pagi seperti biasa, terus mencoba membangunkan subuh mas Yudhis, menyiapkan pakaian yang tidak penah dipakainya, membuatkan sarapan untuknya, selalu seperti itu setiap pagi. Pagi kemarin aku mendapatinya tertidur di ruang kantor mininya, proyek kali ini cukup menyita waktu istirahatnya dimeja ada draft maket gedung X yang masih acak-acakan, aku mendekatkan diriku ke meja tempat dia tertidur, kacamata masih menempel di wajahnya, pelan aku melepasnya lalu berbalik kekamar mengambil selimut, segera kuselimuti tubuh tinggi tegap suamiku, sesaat aku bergumam seperti inikah Wajah Finalis Abang Jakarta. Aku berdo’a kepada Allah agar suatu saat bisa mencintainya, bisa ikhlas menjadi istrinya. Kumatikan lampu lalu pergi ke dapur.

“Kenapa aku gak dibangunin, pagi ini aku ada meeting di kuningan, gimana bisa sampe sana kalau sekarang saja masih dirumah” dengan tergopoh mas Yudhis keluar dari ruang kerjanya, suaranya agak keras sampai di telingaku, kuletakkan roti yang sedang kuolesi margarine diatas marmer dan menuju kearahnya. Dia masih berdiri didepan pintu.

“Kenapa mas Yudhis gak pesan ke Sarah kemarin kalau hari ini harus berangkat lebih pagi” tanyaku pelan

“Ya pokoknya sekarang aku tuh sudah terlambat karena kamu gak bangunin aku, Power Point aku juga belum final” ia bersikeras menyalahkanku, sambil berlalu menuju kamar.

“Gini aja, Aku yang bawa mobil, mas Yudhis bisa selesaikan Power Pointnya dijalan, InsyaAllah bisa sampai kuningan jam 8” saranku disamping mas Yudhis yang sedang menggosok gigi di westafel.

“Terserah kamu” jawabnya terburu mengganti pakaian

“Aku panaskan mobil dulu”

Pukul tujuh kami keluar dari rumah, meski sedikit mustahil untuk bisa sampai kuningan tepat waktu aku berusaha mengalirkan energi positif dan meminta kepada Allah untuk hal itu menjadi mungkin. mas Yudhis duduk dibelakang dan mulai menyalakan Notebooknya.

“Ada roti disamping mas, sambil sarapan saja” ucapku.

Konsentrasiku terpusat pada mobil-mobil lain didepanku, menyalip setiap ada kesempatan. Hanya Allah yang bisa menyampaikan usahaku.

Dan akhirnya Jam delapanlewat sepuluh menit kami tiba di Granadi Kuningan.

“Mobil bawa pulang saja, nanti aku naik taksi” ujanya sambil buru-buru keluar dari mobil. Aku menengok Tupperware, rotinya sudah menghilang, aku tersenyum.

Andin mengirimkan Instan Messanger sore tadi, mas Yudhis ada dirumah dipanggil papa, tapi sampai jam sebelas malam mas Yudhis belum juga sampai rumah. Andin bilang mas Yudhis sudah pulang setelah makan malam, papa sepertinya marah pada mas Yudhis untuk alasan yang Andin tidak tahu. Blackberry dan smua alat komunikasi penghubung ke mas Yudhis tidak ada yang aktif. kemana kamu mas. Dalam perasaan khawatir aku tertidur di ruang tamu, tepat pukul satu bel gerbang depan berbunyi, aku menengok ke jendela mendapati mas Yudhis turun dari mobil bersama teman laki-laki. Aku berlari membuka gerbang menuju mas Yudhis, temannya Yoga membantu mas Yudhis keluar dari mobil.

“Maaf mba Sarah, saya sudah larang Yudhis untuk minum terlalu banyak, tapi ga didengar sama dia” ujar Yoga sambil memapah Yudhis. Aku tidak menjawab

“Minta tolong diantar kedalam mas” pintaku padanya, sembari membantu Yoga memapah mas Yudhis”

Yoga langsung pamit pulang setelah mengantar mas Yudhis sampai pintu depan, selanjutnya aku sendiri yang memapah mas Yudhis dan membaringkannya di ruang tamu. Sesaat aku berdiri mematung, tidak pernah terpikir mendapati laki-laki pulang dalam keadaan mabuk seperti ini. Tapi tidak berlangsung lama ketika mas Yudhis terbangun, dan saat itulah mas Yudhis memuntahkan semuanya, mungkin semua yang dia makan dan minum sejak bangun tidur tadi pagi, karpet ruang tamu penuh dengan muntahan mas Yudhis. Aku melepaskan kemeja dan membersihkan wajah mas Yudhis, tidak perlu waktu lama dia kembali terlelap.

Seperti pagi kemarin, meja makan kami masih tetap bisu. Atas kejadian semalam pun aku memilih diam, jika harus ada yang dijelaskan biarlah itu menjadi I’tikad baik mas Yudhis.

Malam berikutnya mas Yudhis pulang dalam keadaan sama, hari ini malah sampai supir taksi yang mengantar ulang kerumah. Dan aku seperti biasa hanya bisa melakukan apa yang sanggup aku lakukan dalam batas kewanitaanku. Karena ketika mas Yudhis mengucapkan ijab Kabul aku tekadkan dalam hatiku bahwa mas Yudhis adalah masa depanku, dan menjadi istri adalah khidmatku kepadanya dengan atau tanpa cinta.

Setelah mendapatkan izin aku menjemut Rani menuju Gamedia Semanggi, berniat mencari Buku baru, belakangan aku lebih cepat menyelesaikan membaca buku, karena praktis setelah berhenti bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga waktu luangku cukup banyak, alhasil buku yang kubaca lebih cepat kulahap.

Saat Makan siang setelah mendapatkan buku yang kucari tanpa sengaja kami bertemu mas Dewa, dia tidak sendiri tapi bersama pria sebaya ayah. Aku menghentikan kunyahanku dan menatap lama kesisi mas Dewa, Wajahnya masih seteduh dulu, selalu mendamaikan tiap kali aku melihatnya, air wudhu mas Dewa begitu membekas di wajahnya. Tapi wajah itu tidak berbinar, pucat tak bersemangat, aku membatin menyesal. mas Dewa yang hendak meninggalkan café menyadari keberadaanku dan menghampiriku.

“Assalamualaikuma Sarah, Rani” Sapanya seraya memberikan seyum tipis, tulus seperti biasa.

“Waalaikumsalam mas” jawab Aku dan Rani berbarengan segera bangkit dari tempat duduk

“Ya sudah dilanjutkan makannya, mas Cuma mau nyapa, ditunggu editor didepan”

Dan setelah membayar tagihan meja kami mas Dewa berlalu pergi. Tapi didepan café ketika aku dan Rani berusaha mengejar mas Dewa aku mendapati mas Yudhis dan Indah melewati kami, mas Yudhis berhenti berbareng dengan berbaliknya mas Dewa kearahku.

“Ada apa Sarah” Tanya mas Dewa kepadaku

Seat aku tertegun pada situasi didepanku, melihat suamiku bersama Indah.

“Sarah” Samar mas Dewa memanggilku, membalikkan kesadaranku, seperti pusaran Segitiga Bermuda, Aku, mas Dewa, mas Yudhis dan Indah.

Mas Yudhis pun tanpa bisa dipungkiri terjebak pada situasi yang tidak bisa lagi dia hindari, sikapnya yang salah tingkah menunjukkan kebingungannya, sepersekian detik itu aku bicara lewa mata Mas Yudhis. Mas Dewa mulai menatap menyelidik kearaah Mas Yudhis dan Indah, untungnya Rani tidak ikut bisu pada situasi ini.

“Tadi kita berdua cuma mau ucapin terima kasih atas traktirannya ko mas Dewa” Rani beralasan, tapi sepertinya jawaban itu sudah tidak menjadi penting untuk mas Dewa dengar, terbukti dengan sikapnya yang tetap memandang menyelidik kepada mas Yudhis.

“Mas Dewa kenalin Ini suami Sarah, mas Yudhis” ucapku akhirnya mencoba memecah kebuntuan.

Mas yudhis mengulurkan tangannya, disambut Mas Dewa.

“dan ini Indah, sekretaris mas Yudhis” tambahku kemudian sebelum pikiran mas Dewa sampa pada kesimpulan sebenarnya.

Saat itu aku sadar betul keterkejutan mas Yudhis ketika aku menyebut nama Indah, tapi tidak berlangsung lama dia mulai menguasai keadaan dan mengikuti alur ceritaku.

Aku tidak ingin situasi ini berlangsung lama dan mas Dewa akhirnya membaca kebohongan ceritaku, karena itu segera aku pamit pergi pada mas Dewa dan mas Yudhis dengan alasan yang begitu saja mampir dalam benakku.

Rani tidak banyak bertanya atas apa yang barusan terjadi. Sampai kuturunkan di Tanjung Barat, kuyakin dia memilih diam untuk situasi ini. Setelah menutup garasi segera kulaksanakan shalat ashar, tangisku tak lagi bisa kutahan, tumpah dalam sujud terakhir.

“Jangan katakan pernikahan Sarah baik-baik saja, Sarah bukan perempuan yang pandai berbohong, terlebih kepada mas Dewa. Bicaralah yang baik kepada suamimu, jika dia memilih menjadi pemimpin mas yakin suamimu akan bertindak bijak pada perempuan yang tadi berdiri disampingnya. Maafkan mas Karena harus membuat Sarah ada pada situasi tadi, tapi demi Allah mas tidak ikhlas jika Sarah harus dizalimi, karena pengunduran diri mas atas Sarah itu hanya untuk kemaslahatan Sarah, bukan untuk dizalimi seperti ini. Bicaralah kepada suamimu dengan ma’ruf, tinggikan martabatmu Sarah, keikhlasan mas Dewa melepas Sarah bukan untuk keadaan ini, mas berdo’a agar Allah memberikan jalan keluar pada masalah Sarah dan suami Sarah, jangan membalas, tapi mas mohon renungkan dengan sedikit keegoisan”

Aku makin terisak mendapati Blackberry Messenger dari mas Dewa. Seperti dugaanku tanpa aku menjelaskan mas Dewa dapat dengan pasti membaca situasi rumah tanggaku.

Aku tidak keluar kamar sampai azan Magrib berkumandang, dan saat kumenutup jendela depan kedapati papa dan mama turun dari mobil, tergopoh segera kucuci mukaku dan meraih jilbab lalu setengah berlari membukakan gerbang.

Tidak biasanya Papa diam tanpa banyak bicara, beliau hanya duduk didepan Televisi dan mengganti-ganti channel tanpa jelas mana yang beliau tonton, sesaat sebelum melaksanakan Isya papa hanya berpesan kepadaku bahwa dia akan menunggu mas Yudhis. Setelah memaksanya makan malam, papa kembali ketempat duduknya semula, obrolan mama berkali-kali dianggap angin lalu, aku hanya dapat bertanya-tanya kenapa bisa papa seperti itu.

Jam sepuluh mas Yudhis belum juga pulang, papa masih konsisten duduk ditempatnya. Aku sudah berkali-kali mengirimkan pesan kesemua nomor mas Yudhis mengabarkan papa menunggu dirumah tapi nihil, tidak ada jawaban, tidak ada satupun yang aktif untuk dapat menerima panggilan. Mama tertidur di kamar tamu, dan aku memilih menemani papa di ruang makan sambil membuka netbookku. Baru ketika hampir tengah malam suara deru mobil depan rumah membangunkanku, papa bergegas membuka pintu, dan seketika wajahnya merah padam mendapati mas Yudhis, seperti malam sebelumnya mas Yudhis pulang dalam keadaan mabuk.

Papa menghampiri mas Yudhis kedepan gerbang dan meminta Yoga untuk membawa mas Yudhis masuk kedalam rumah, Mama terkejut setengah mati melihat kondisi mas Yudhis dan meraih mas Yudhis untuk dibaringkan disofa ruang tamu. Saat Yoga pulang, ayah menuju ruang cuci dibelakang, mengambil sebuah ember dan mengisinya dengan air, tubuhnya berbalik menghampiri mas Yudhis dan langsung menyiram mas Yudhis, aku berdiri terpaku, begitu juga mama, mas Yudhis terperanjat dan menyadari keberadaan papa. Seketika mas Yudhis bangun dan duduk dengan kepala tertunduk, aku segera berlalu menuju kamar dan keluar dengan selimut ditangan, tapi aku segera mengurungkan niatku untuk menyelimuti mas Yudhis ketika papa beristigfar dengan suara yang kencang memenuhi ruang tamu. Aku hanya bisa duduk disofa paling ujung.

“Astagfirullah Yudhis, mau ditaro mana muka papa nak, malu papa Yudhis sama Sarah, kamu kenapa jadi laki-laki lemah gini, baru papa minta kamu memutuskan hubungan dengan Indah kamu sudah terpuruk seperti ini. Jangan kamu kira hanya kamu yang punya masa lalu, Sarah memilih menikah dengan kamu pun mengambil pengorbanan. Kamu pikir kamu laki-laki sempurna sampai bisa berbuat ini pada Sarah, kamu pikir Sarah senang menikah dengan kamu nak, perlu kamu ketahui, ayahnya Sarah menangis mendatangi papa, sedih karena merasa tidak adil pada pilihan hati Sarah, kalau bukan karena dia telah berjanji kepada papa untuk memberikan Sarah untuk kamu, sudah dia terima lamaran pilihan Sarah, tapi laki-laki itu mengalah karena menghormati orangtua Sarah. Tapi kamu, seenaknya memperlakukan wanita salehah seperti Sarah, papa ingin kamu menjadi imam yang baik karena Sarah, bukan malah berbuat seenaknya seperti ini, tiga hari lalu papa minta kamu tidak lagi menemui Indah, tapi hari ini kamu masih menemuinya dan Sarah melihat kelakuan kamu. Serasa ingin langsung papa tampar muka kamu waktu papa dan mama melihat kamu dan Indah di semanggi tadi Jangan kamu pikir papa diam saja dengan keadaan rumah tangga kalian seperti ini, malu pada diri kamu sendiri nak, bijaksanalah pada keluargamu” seperti rentetan peluru dari laras panjang ucapan ayah memenuhi lubang-lubang di hatiku, tentang sikap dingin ayah kepada mas Dewa dihari itu terjawab hari ini, tentang diam papa, tentang semuanya. Dan aku terpaku ditempat dudukku disisi yang sedikit jauh dari mas Yudhis, dan dia tertunduk diam didepan ayah, tetesan air sisa siraman ayah dirambutnya menyamarkan tangisnya yang pelan-pelan jatuh, kami menangis.

Setelah mengeluarkan semua apa yang merasa perlu dikatakan Papa langsung mengajak mama pulang, tanpa banyak bicara. Mama masih terus memelukku sebelum mengikuti langkah ayah meninggalkan rumah, berulangkali mengatakan maaf dan sabar. Mas Yudhis masih tidak berkutik, setelah mengunci pintu aku menghampirinya, menyelimutinya dan menuntunnya kekamar, dan Ia hanya mengikuti saja. Kutinggalkan ia mengganti bajunya yang basah dan kembali dengan segelas air putih hangat, dia meminumnya lalu kembali berbaring diatas ranjang kami, untuk pertama kalinya.

Tahajudku penuh syukur, sujud terima kasih karena telah menyadarkan hatiku bahwa mas Yudhis adalah suamiku seperti apapun keadaan dan perasaan yang dimiliknya hari ini, terima kasih karena telah menjelaskan tentang keberadaan Indah, terima kasih karena telah membersihkan nama ayah dalam hatiku, betapa diruang kecil hatiku aku kecewa kepada ayah pada hari mas Dewa datang memintaku. Dan ternyata ayah pernah punya pikiran untuk menerima mas Dewa. Terima kasih, terima kasih, dan semoga kesabaranku tidak berbatas sampai kami berdua saling tulus pada perasaan kami masing-masing. Diatas ranjang, meski matanya terpejam, suami Sarah mendengarkan dan menangis diam-diam.

Paginya mas Yudhis demam tinggi, dia menolak dibawa ke dokter dan aku hanya memberinya obat penurun panas, dia terus berbaring sampai matahari tinggi kemudian terbenam.

Hari ini mas Yudhis sudah lebih baik, demamnya sudah turun dan memilih bersantai menikmati pagi di taman belakang, setelah meminta aku menghubungi teman kantornya karena dua hari ini harus abstain kerja aku meninggalkannya dengan secangkir teh hijau didepannya.

Setelah tunaikan Isya aku memilih duduk diruang tv, aku memilih sisi kiri karena sisi lain masih basah karena kejadian dua malam kemarin, dudukku diruang tv bukan karena ingin menonton, tapi terlebih karena aku bingung harus melakukan apa, berbaring dikamar ditempat dimana mas Yudhis berbaring, atau entahlah, karena itu aku duduk mencari channel yang bisa memebuat mataku bertahan menyaksikannya. Selang beberapa menit kemudian hatiku terdetak ketika pintu kamar terbuka, dengan memakai sweeter sosok mas Yudhis keluar dari baliknya. Kupikir dia akan kedapur mengambil sesuatu, atau pindah tidur ke ruang kerja seperti yang biasa dia lakukan, tapi detak hatiku semakin memburu ketika dengan yakin dia duduk disebelahku. Aku kikuk merasa serba salah tiga bulan menjadi istrinya ini kali pertama aku merasa degup jantungku sangat cepat. Dia masih diam, seperti aku.

“Kenapa tidak bertanya” mas Yudhis membuka percakapan, keningku berkerut tidak mengerti arah pertanyaannya.

“Maksud mas” tanyaku

“Kenapa kamu tidak pernah menanyakan siapa Indah kepada mas padahal kamu tahu” sambil menoleh kearahku mas Yudhis mengulang pertanyaannya kali ini dengan lebih jelas.

Aku menarik nafas panjang memilih kata-kata untuk menjawabnya.

“Setiap hari, setiap saat, setiap ada kesempatan Sarah selalu ingin bertanya, mengkonfirmasi keada mas apa hubungan mas dengannya, dan kenapa masih berhubungan dengannya, tapi selalu saja gagal, takut, bingung, dan tidak tahu harus memulai dengan bicara apa, akhirnya pelan-pelan perasaan penasaran itu hilang berbalik menjadi kepasrahan, bukan tidak ingin ikhtiar tapi Sarah menitipkan suami Sarah kepada Allah, meminta perlindungan dariNya atas hal-hal yang bukan halal mas lakukan kepada siapapun yang bukan mahrom mas” jawabku lebih panjang dari dugaannku, mas Yudhis mendengarkan dengan seksama kemudian mengambil remote control di meja dan mematikan tv.

“Hari itu di Plaza Semanggi adalah hari terakhir mas menemui Indah, meski berawal dari keterpaksaan karena ultimatum papa, tapi mas memang beri’tikad untuk mengakhiri hubungan mas dengan Indah, tapi demi Allah, tidak pernah sekalipun mas menghianati ikrar pernikahan kita” jelas mas Yudhis menatap kosong kedepan.

“Sarah percaya mas” seruku kemudian.

“Sejak kita dipaksa menikah mas bingung, bimbang dan tidak tahu harus bagaimana, sampai akhirnya sikap mas malah menyakiti Sarah” tambah Mas Yudhis

“Sarah pun demikian mas, sama dengan yang mas rasakan”

“Mas minta maaf” ucapnya mengakhiri pengakuannya, kulihat matanya berkaca, dan ketika air matanya hampir jatuh dia bangkit masuk kekamar.

Aku mengambil bantal dan bed cover dari kamar tamu berniat tidur di sofa ruang tv, aku takut mas Yudhis merasa tidak nyaman kalau aku berada didalam bersamanya, ketidaknyamanan yang mungkin timbul takut menganggu istirahatnya karena kondisi tubuhnya yang masih demam. Baru ketika aku menyelimuti tubuhku mas Yudhis keluar lagi dari kamar menghampiriku.

“Jangan tidur disini, tidurlah dikamar” ucap mas Yudhis, badannya menjulang tinggi dari tempatku berbaring, aku bangkit, sesaat aku mencerna kata-katanya, kemudian dia mendekatiku mengambil bed cover yang menyelimuti kakiku.

“Tidurlah didalam” seperti membaca pikiranku, dia mengulang ucapannya. mas Yudhis berbalik lalu Begitu saja aku pun mengikuti langkah dibelakangnya, ujung bed cover yang mas Yudhis bawa menjuntai dilantai. Dan ketika mas Yudhis menutup pintu kamar samar kudengar.

“Berwudhulah, sucikan dirimu” serunya sambil menutup pintu, Hatiku mengucap basmalah.

Entah harus digambarkan sepeti apa perasaanku pagi ini, seperti rasa senang tiap kali melihat pelangi setelah hujan, seperti rasa suka cita ketika Hujan turun setelah kemarau panjang atau sesederhana rasa senang melihat kelopak-kelopak mawar merekah. Pagi yang aneh karena aku tidak bisa menggambarkan perasaan ini, seperti ada yang meletup-letup diseluruh raga. Untuk kali pertama mas Yudhis membangunkanku untuk Subuh, pagi pertama aku terjaga disisinya.

Pekerjaanku di dapur menjadi lebih lambat selesai, mendadak konsentrasiku buyar, pecah oleh lamunan-lamunan yang membuatku sulit untuk tidak mengukir senyum. Hampir aku melupakan air yang sedang kumasak. Saat aku mengoles coklat diatas roti, mas Yudhis menghampiri dari kamar masih menggunakan kimono mandi warna putih, jantungku kembali berdegup kencang, amat kencang.

“Dimana Kemeja mas” tanyanya penuh keyakinan, membuat mulutku menganga. Seperti yang tadi kubilang konsentrasiku tidak seperti pagi-pagi kemarin, aku menahan senyum, mas Yudhis sampai menghampiriku ke dapur hanya untuk meminta diambilkan kemeja, padahal dulu kemeja-kemeja pilihanku selalu saja teronggok tak tersentuh diatas ranjang, segera aku masuk ke kamar mengikuti mas Yudhis.

Setelah pagi itu rumah kami menjadi lebih ramai, ramai oleh obrolan ringan dikamar, di meja makan, di ruang tv, di dapur, di taman belakang. Ramai olehsapaan-sapaan ringan, atau tawa lepas tiap kali kami mendapati sesuatu yang lucu. Dan sejak pagi itu aku menjadi selalu menggenggam Blackberry kemanapun aku pergi, jempolku senantiasa sibuk membalas Blackberry Messenger mas Yudhis, pun untuk hal-hal kecil yang lucu jika dipikir menggunakan logika.

Satu minggu setelah pagi yang luar biasa itu, bahagiaku terhampar hilang, pecah berserakan, hatiku seperti ditusuk sebilah pisau tajam, lebih, lebih daripada itu rasa sakitnya, seperti tidak ada oksigen lagi yang sanggup kuhirup, sesak sampai membuat aku tidak bisa bernafas, ketika adik mas Dewa mengirimkan pesan singkat mengabarkan kecelakaan mas Dewa. Tergopoh aku mengeluarkan mobil, menekan pedal gas secepat mungkin, pikiranku buntu, tidak percaya pada apa yang baru saja kudengar, lebih tidak dapat aku percaya ketika memasuki gang rumahnya kudapati bendera kuning disetiap pojok gang, air mataku tumpah.

Mas Yudhis menjemputku dirumah Almarhum mas Dewa, menemaniku sampai pemakaman mas Dewa, dia tidak banyak bicara tapi setia disisiku, air mataku telah kering. Terbayang jelas sosok mas Dewa memakai baju koko favoritku di hari dia datang kerumah memintaku, Laki-laki yang kupikir dulu akan menjadi suamiku itu telah pergi, Mobil yang dikendarai asisten mas Dewa tertabrak ketika mereka sedang dalam perjalanan menuju bandara Soekarno-Hatta.

Sudah dua hari aku betah dikamar, tidak ada aktifitas apapun yang bisa aku lakukan, ayah dan ibu kemarin datang menjengukku, sebelum pulang ayah memelukku lama dan membisikkan kata maaf kepadaku. mas Yudhis sangat khawatir dengan keadaanku, dia sampai meminta Rani dan Nuna untuk bermalam dirumah menemaniku.

“Sarah jangan khawatir, mas pasti akan menikah, tapi tidak untuk dalam waktu dekat ini, bukan karena mas belum bisa melupakan Sarah tapi mas memilih untuk tidak menzalimi wanita yang nanti mas nikahi jika mas belum bisa menyelesaikan perasaan mas kepada Sarah, berpikirlah kedepan Sarah, jangan mundur kebelakang dengan memikirkan mas, sebesar apapun cinta mas, mas bukanlah kunci syurgamu, khidmatkan seutuhnya dirimu pada suamimu. Jangan merasa Sarah telah bersalah kepada mas, bahagialah karena satu saat mas juga akan bahagia seperti Sarah, jadilah Khadijah, jadilah Aisyah, jadilah Hafsah untuk suamimu.

Kubaca berkali-kali Pesan singkat terakhir dari mas Dewa yang dikirim tidak lama setelah aku menikah dengan mas Yudhis, saat aku meminta mas Dewa untuk segera menikah.

“Kutitipkan mas Dewa padaMu, tempatkan dia di tempat paling mulia disisMu” do’aku, aku kembali memeluk guling, menarik selimut dan berusaha memejamkan mata.

Rani dan Nuna telah pamit pulang sore tadi setelah semalam menginap menemaniku. Setelah mengantar mereka mas Yudhis kembali kekamar mengantarkan sepiring melon yang sudah dipotong-potong dan duduk disisiku berbaring. Aku mengukir senyum kecil, mas Yudhis menatapku tajam dan teduh.

“Bersedihlah sayang, bersedihlah sepuas Sarah, maafkan mas karena baru tahu detil tentang Dewa dari Rani, karena itu berdukalah sebanyak waktu yang Sarah perlukan, mas membebaskan Sarah bersedih untuk laki-laki yang begitu arif, yang demi menghormati ayah Sarah telah rela melepaskan wanita luar biasa miliknya untuk mas nikahi. Karena keikhlasan Dewa mas bisa memiliki Sarah, dan nanti di akhirat mas berharap dapat memiliki keikhlasan yang sama untuk meminta pada Allah menjadikan Dewa sebagai suami akhirat Sarah. Bersedihlah sayang, tapi jangan terlalu lama, karena saat ini mas sudah merasa cemburu” kata demi kata teramat tulus diucapkan mas Yudhis, matanya tidak lepas menatapku, tetap tajam tapi telah mengeluarkan air mata. Mungkin bisa disinonimkan seperti syair Abu Nawas tentang ketidaklayakannya tinggal di Firdaus dan ketidak sanggupannya menempati Jahanam, seperti itu juga kucerna kata-kata mas Yudhis barusan, dia mencoba perkasa dengan memaklumi bagaimana dulu perasaanku pada mas Dewa, tapi sisi lain dia tidak berdaya atas rasa cemburunya pada almarhum mas Dewa. Aku tidak lepas dari matanya, tangannya menggenggam tanganku.

Aku bangkit dan mengukir senyum paling indah untuk suamiku.

“Mas Yudhis, Mas Dewa adalah laki-laki berharga dalam hidup Sarah, tapi dia adalah masa lalu Sarah dan tidak lebih berharga jika dibandingkan dengan mas yang adalah suami Sarah, masa depan Sarah, mas Yudhis lah suami dunia akhirat Sarah, dan Sarah tidak akan menukar mas dengan siapapun didunia, maupun di akhirat nanti. Maafkan Sarah, saat ini Sarah hanya perlu waktu untuk bersedih, sebentar saja, suamiku sayang” saat itu aku tidak lagi kuasa menahan diri untuk tidak memeluk mas Yudhis, mencoba menegaskan bahwa hatiku telah utuh menjadi miliknya, mas Yudhis membalas erat dan hangat. Mendadak hatiku penuh cinta pada laki-laki paling tampan yang saat ini memelukku, mendadak rinduku tebal untuk suamiku, Yudhistira Raya Putra Prayoga. Selamat datang pagi-pagi penuh cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun