Mohon tunggu...
Malisa Ladini
Malisa Ladini Mohon Tunggu... Developer Content di Media Kesehatan, Bisnis, Politik dan Hiburan -

Political Science. Bachelor: Semarang State University. Master: Diponegoro University.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

HarukaEdu: Solusi Indonesia Berpendidikan Tanpa Batas dan Sarana Electronic Diplomacy

3 Juni 2016   22:46 Diperbarui: 19 Juni 2016   05:05 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kini kita tak perlu lagi khawatir bagaimana memperoleh pendidikan tinggi dengan system online dengan pengajar yang berpengalaman pula.

Tapi sebelumnya, kita perlu berkata “Halo wajah pendidikan Indonesia?” Ya, rasa-rasanya memang perlu adanya sapaan bagi wajah pendidikan sekarang ini, hari ini, bulan-bulan ini, tahun-tahun belakangan ini. Sempat santer terdengar, adanya pemberlakuan kurikulum baru yang membuat gempar seluruh jajaran pendidikan di Indonesia. Adanya perubahan kurikulum dengan segala pro dan kontra sepertinya cukup menyita perhatian siapapun yang peduli dengan pendidikan.

Tak hanya yang bersifat materi bahan ajar yang menjadi banyak perdebatan karena adanya perubahan kurikulum, masih juga dihantui oleh kurang layaknya pengajar/guru sebagai profesi yang seharusnya diberikan kepada mereka yang memang ahli di bidangnya. Masih juga berkutat soal kurangnya pelatihan skill maupun pembinaan kurikulum baru kepada guru-guru, khususnya di daerah-daerah yang kurang terjangkau. Diperparah juga dengan banyaknya jeritan guru honorer yang belum memiliki gaji standar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terhimpitnya gaji guru honorer dan terhimpitnya akses bicara, seringkali kita mendapati pemandangan demonstrasi guru honorer untuk meningkatkan upah kerjanya. Ironis, haruskah para orangtua harus menitipkan anaknya kepada guru yang hidupnya sendiri saja kurang layak? Tentu tidak, kita menginginkan bahwa pendidikan menjadi tumpuan kemajuan yang memang serba layak, baik itu dari segi guru, segi materi, segi fasilitas, dan segi-segi lainnya.

Pendidikan harus layak? Ya, bagaikan sebuah paradoks memang. Di satu sisi, memang lah benar, bahwa pendidikan ialah jantung hidup bangsa kita. Dari pendidikan lah, terlahir putra-putri terbaik bangsa yang siap mengharumkan nama baik bangsa Indonesia. Tapi di sisi lain, pendidikan layak tentunya harus sebanding dengan pengeluaran yang dibutuhkan bukan? Mungkinkah rakyat Indonesia mampu membayar pendidikan dengan mahal? Tentu tidak. Mungkinkah bangsa kita sudah memberikan bantuan pendidikan gratis bagi seluruh pelajar Indonesisa? Tentu belum. Namun setidaknya kita tahu, pemerintah telah berupaya memberikan bantuan pendidikan secara gratis bagi SD-SMP negeri, dan bantuan pendidikan gratis hingga SMA, S1, S2, bahkan S3 bagi pelajar/mahasiswa kurang mampu.

Terobosan terbaru dari HarukaEdu muncul sebagai penjawab masalah pendidikan di negeri kita. Sehingga kemunculannya akan membawa dampak perbaikan pemerataan akses pendidikan Indonesia tanpa batas. Karena system berbasis online, menjadikan HarukaEdu menjadi sesuatu yang perlu diperhitungkan dalam dunia pendidikan. Kebutuhan akan pendidikan menjadikan Indonesia terus memperbaiki system pendidikan, termasuk e-learning. Sehingga kemunculan system kuliah S1 dan S2 berbasis online ini, ternyata tidak hanya berdampak bagi dunia pendidikan, tapi secara tidak langsung juga akan membuat reputasi bangsa Indonesia di mata dunia menjadi lebih baik. Sebab dengan basis online, banyak Negara akan memahami bahwa Indonesia kini dapat menjangkau masyarakatnya melalui pendidikan yang layak, cepat, efisien, murah, dan fleksibel melalui bantuan lembaga HarukaEdu.

Nuansa Pendidikan Saat Ini adalah Sebuah Evaluasi

Pemerintah tentu sudah gencar melakukan perbaikan dan upaya untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Tapi masih banyak permasalahan yang timbul. Disamping perubahan kurikulum bagi pelajar di Indonesia yang dinilai menimbulkan banyak pro kontra, masalah krusial pendidikan bangsa ini juga banyak diakibatkan dari banyaknya anak bangsa yang belum mengenyam pendidikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk yang memiliki jenjang pendidikan SD ke bawah sebanyak 55,3 juta orang atau 46,8 persen, pendidikan SMP sebanyak 21,1 juta orang atau 17,82 persen. Sedangkan penduduk yang bekerja dengan status berpendidikan tinggi hanya sebanyak 12 juta orang yang terdiri atas pendidikan diploma sebesar 3,1 juta orang atau 2,65. Sedangkan penduduk yang sedang mengenyam pendidikan di universitas hanya mencapai 8,8 juta orang atau 7,49 persen. Di lihat dari sata tersebut dapat kita ketahui bahwa masih banyak sekali masyarakat Indonesia yang belum mengenyam pendidikan, bahkan jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan sesuai dengan Wajib Belajar (WAJAR) belum sesuai dengan ekspetasi kita.

Sebenarnya banyak faktor yang melatarbelakangi banyak anak bangsa yang tidak dapat bersekolah, selain karena tidak ada biaya sekolah, tapi juga karena kemalasan yang sudah menjadi rantai yang sulit terputus. Pemerintah Indonesia, pihak swasta, dan pemerintah luar negeri pun banyak menyediakan jembatan berupa beasiswa kepada para anak bangsa untuk mengenyam pendidikan tinggi. Berbagai macam jenis beasiswa, dari beasiswa prestasi hingga beasiswa miskinbanyak disediakan bagi pelajar atau mahasiswa Indonesia.Sengaja kata “miskin” dalam kalimat sebelumnya saya tulis cetak miring. Sebab adanya prasyarat sebagai pelamar atau penerima beasiswa seringkali diiringi dengan embel-embel “kurang mampu”, dan embel-embel ini lah seringkali menjebak paradigma masyarakat.

Masih banyak masyarakat menengah ke bawah yang malu untuk mengakui miskin dan menjadi penerima beasiswa kurang mampu. Fakta ini dibuktikan dengan banyaknya kalimat yang terlontar dari masyarakat sekitar akan keengganan untuk menjadi penerima beasiwa miskin. Kebetulan penulis ialah seorang penerima beasiswa bersyarat utama berprestasi dan miskin. Karena menyandang kata “miskin”, seringkali saya mendapati teman-teman sesama penerima beasiswa tidak bangga atau malu mengakui bahwa dirinya penerima beasiswa karena malu dianggap miskin oleh teman-temannya. Tak hanya itu, sebenarnya masih banyak sekali teman-teman saya yang sebenarnya benar-benar kurang mampu, tapi karena tertutup oleh rasa malu dan gengsi, sehingga membuat mereka enggan memperjuangkan beasiswa.

Fakta selanjutnya juga bertumbuh dari pengalaman adik saya yang notabene juga penerima beasiswa kurang mampu di sekolahnya. Sekolah adik saya terbilang favorit, sehingga image sekolah tersebut diduduki oleh keturunan orang-orang elite atau menengah ke atas. Meskipun jika ditelusuri sebenarnya masih banyak juga yang tidak mampu dan memilih untuk tidak menerima beasiswa karena malu. Ketakutan akan pergaulan teman-teman di sekolahnya karena takut diberikan labeling bahwa siswa penerima beasiswa ialah anak orang miskin tersebut. Ironis pula, fakta yang terdengar dari tetangga-tetangga di kampung saya, yang sungguh sangat enggan masuk ke sekolah favorit seperti adik saya dengan alasan “sekolahnya mahal, malu dapat beasiswa karena dianggap miskin”. Baik orangtua maupun calon siswa pun sama-sama memiliki perasaan malu yang sedemikian rupa. Rasa malu tersebut menutup pintu hati para orangtua untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang favorit. Rasa malu tersebut juga menutup pintu hati calon siswa karena takut dianggap miskin oleh teman-teman pergaulannya.

Rasa malu diiringi oleh rasa “gengsi” yang berorientasi pada gaya hidup hedon, membuat banyak kalangan masyarakat menengah ke bawah enggan berpendidikan tinggi, karena tidak mau mengejar beasiswa. Ini lah paradigma masyarakat yang seharusnya dapat diubah. Sebagai seorang anak yang terlahir dari keluarga kurang mampu hendaknya memiliki mental baja untuk bangga dan mengangkat tangannya dan berkata “aku bangga dapat berpendidikan tinggi karena beasiswa”. Mental yang sedemikian rupa ini hendaknya juga diiringi dengan iklim lingkungan yang mendukung. Banyak sekali masyarakat awam juga pergaulan di sekolah bahwa menganggap seorang pelajar atau mahasiswa yang menerima beaiswa ialah pelajar atau mahasiswa miskin yang harus dijauhi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun