Bersama seorang sandera, Dredd dan Anderson harus berjuang sendiri. Penduduk Peach Trees terlanjur takut oleh ancaman Ma-Ma yang tak segan-segan membunuh siapapun yang membantu kedua jaksa ini. Anderson yang memiliki rekor buruk dalam ujian jaksa, diam-diam memiliki kekuatan mutan, bisa mengendalikan pikiran dan membaca masa depan. Dengan kekuatan ini, Dredd dan Anderson berjuang untuk menemukan pabrik produksi slo-mo.
Diduga mengkopi The Raid yang diputar pertama kali pada Festival Film Internasional Toronto pada 2011 lalu, Dredd jelas menyuguhkan aksi kekerasan sepanjang rol film diputar. Eksekusi instan digambarkan begitu mudah dilakukan. Seperti saat Dredd yang menembak mati seorang pemakai narkotika yang coba menyerang jaksa. Berdasarkan hukum yang berlaku, tiap orang yang mengancam nyawa jaksa boleh dieksekusi mati di tempat.
Film genre aksi kriminal dengan sentuhan fiksi ilmiah ini nyaris tak memiliki klimaks. Sepanjang 95 menit kita telah diperlihatkan aksi bunuh-membunuh yang sangat keji. Apalagi ketika Ma-Ma yang tak segan-segan mengkuliti mereka yang menghalangi jalannya.
Dredd yang dirilis pada 2012 sesungguhnya tak menjiplak karya Gareth Evans, seorang sutradara asal Inggris yang juga pernah menggarap Footsteps (2006) dan Merantau (2009) karena Dredd sendiri telah muncul pada versi film lawasnya dibintangi Silvester Stallone pada 1995. Namun keduanya menyajikan aksi penggerebekan menakutkan terhadap gembong narkotika dengan begitu menegangkan.
Tersaji dalam 3D untuk memperlihatkan efek slow motion bagi para pemakai slo-mo dan tiap aksi penembakan yang dilakukan masih tak cukup untuk menutupi biaya produksi sebesar $45 juta. Film garapan Pete Travis ini pun dinilai gagal memenuhi ekspektasi pasar, pada pemutarannya hingga akhir di seluruh dunia, film ini hanya dapat meraup keuntungan sebesar $36,4 juta.
Walau begitu, kita tak bisa menutup mata oleh hasil visualisasi indah dari Anthony Dod Mantle yang pada 2008 melambungkan Slumdog Millionare menguasai Academy Award. Banyak adegan eksekusi, penyiksaan, dan pembunuhan yang dilakukan terbuka namun dengan seni menakjubkan yang memanjakan mata penonton. Hal yang tak ditemukan pada The Raid (2011) maupun Judge Dredd (1995).
Bagi para pecinta film aksi, Dredd sebenarnya layak jadi pilihan. Film yang hadir di Indonesia sejak Oktober 2012 ini memberi pelajaran tentang hidup untuk selalu tegas dalam memilih. Tak ada opsi ragu-ragu, hanya ya atau tidak. Hal ini dapat kita lihat pada adegan Anderson yang masih melibatkan emosionalnya dalam menentukan hukuman bagi para penjahat yang mereka temui di Peach Trees.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H