[caption id="attachment_287328" align="alignleft" width="538" caption="Foto : Repro Google Picture"]
[/caption] Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) yang menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan mulai diterapkan pemerintah per tanggal 1 Januari 2014 adalah sebuah sistem yang menunjukkan miskinnya negara ini. Dengan memanfaatkan kearifan lokal masyarakat Indonesia yang mempunyai sifat kegotong-royongan, sistem ini mencoba menarik iuran kepada semua masyarakat dan dari segi level manapun dengan "embel-embel" jaminan perlindungan diri. Dalam sistemnya pemerintah mewajibkan setiap penduduk untuk menjadi peserta JKN dengan menyiapkan (1) fotokopi KTP & Kartu Keluarga, (2) pasfoto berwarna ukuran 3 X 4 sebanyak 2 lembar, setelah itu diminta mendaftarkan diri ke kantor ASKES. Kemudian, setiap penduduk wajib membayar iuran yang disesuaikan dengan pelayanan
kesehatan yang diinginkan, seperti untuk iuran per bulan Rp25.500 akan mendapatkan layanan kelas 3, Rp42.500 untuk layanan kelas 2, dan Rp 59.000 untuk kelas 1. Bagi peserta yang mampu membayar lebih, juga diperkenankan membantu yang tidak mampu, atau masyarakat yang berisiko rendah dapat membantu peserta yg berisiko tinggi. Sementara bila ingin dirawat di ruang VVIP atau VIP, tinggal membayar biaya "cost-sharing", sisanya bisa dilunasi usai perawatan. Sistem ini, juga membuat "jargon" yang cukup menarik, yakni "Dengan membayar iuran JKN, berarti menjalankan prinsip kegotong royongan". Prinsip kegotong royongan itulah yang dijual dalam program ini. Namun dalam benak penulis timbul pertanyaan kenapa masyarakat yang tidak tahu apa-apa diminta membayar bulanan dan ikut program ini. Lantas, kalau setiap gerak saja di negeri ini diminta bayar ini dan itu, kemana fungsi pemerintah yang bertugas mengelola kekayaan negeri yang "katanya" dibuat mensejahterakan masyarakatnya ?. Kalau masyarakat masih diminta bayar untuk perlindungan diri, kemana pula uang pajak yang rutin dibayar setiap warga negara..??. Sementara itu, hasil kekayaan alam negeri ini seperti emas, batu bara, kekayaan laut, hutan tropis serta berbagai sumber daya alam lainnya lari kemana ?? "Itu milik siapa?. Sesuai aturan formal, sumber daya alam yang ada di Indonesia adalah milik negara dan diperuntukkan sebesar-besarnya bagi masyarakat. Tapi kenyataanya mulai 1 Januari 2014 kita masih diminta gotong royong dalam mengasuransikan diri, lantas kemana semua hasil bumi Indonesia, apa tidak cukup untuk membayar asuransi masyarakatnya sendiri, sehingga kita masih diminta untuk urunan ??.. Satu sumber daya alam di negeri ini, penulis yakin bisa mencukupi kebutuhan hidup masyarakat di satu pulau bahkan lebih. Apalagi di setiap pulau Nusantara kita tidak hanya punya satu sumber daya alam, bahkan lebih, bila hanya untuk membayar jaminan perlindungan diri bagi setiap warganya, saya juga yakin akan lebih. Lantas kenapa per 1 Januari ini masyarakat masih disuruh bayar untuk perlindungan diri, apakah ini hanya menunjukkan jika negara ini miskin dan perlu disumbang melalui sistem gotong-royong..?? Penulis teringat dengan dengan kata-kata bijak salah satu pujangga besar asal India Mahatma Gandhi yang mengatakan "Dunia ini cukup untuk menghidupi seluruh manusia, tapi tak akan cukup untuk satu orang yang serakah. -Wallahu'aam Bissowab- (
twitter@malikpunya)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Healthy Selengkapnya