Memang bukan perkara mudah bicara dan bertindak soal demokrasi. Demokrasi yang menasbihkan bahwa adanya penghargaan terhadap eksistensi kemanusiaan sebagai suatu sumber kesadaran dan subjek kehidupan tanpa terkecuali bagi semua penduduk muka bumi sepertinya memang ramai dibicarakan namun sangat minim pembuktian. Demokrasi memang anak kandung dari Hak Asasi Manusia.Â
Secara teori ideal mengatakan bahwa setiap manusia berhak berpartisipasi dalam menentukan arah kehidupan bersama dalam kolektifitas masyarakat yang termanifestasi melalui kegiatan politik juga mampu bebas mengungkapkan pendapat dan menentukan pendirian kehidupannya.
Pada akhir abad ke-20 memang demokrasi menjadi suatu angin pengharapan untuk merdeka dari bangsa-bangsa yang terjajah oleh imprealisme dan kolonialisme. Bangsa-bangsa itu menginginkan suatu wujud kemerdekaan dari penindasan yang kasat mata.Â
Mungkin memang itulah kehendak zaman kala itu yang memang sudah seharusnya berubah. Sehingga potret kemerdekaan setiap bangsa menjadi sebuah kenyataan universal dan menjadi tren yang menjadi kenyataan. Bangsa setelah terbebas dari kungkungan penjajah, lantas pula menerima tuntutan dari masyarakatnya agar hak-hak nya sebagai individu manusia dihargai dan tidak digunakan negara secara semena-mena.
Unsur dan subjek utama kehidupan ini adalah manusia. Sehingga demokrasi di masa depan yang lebih baik adalah keniscayaan yang harus dijiwai oleh setiap generasi. Padahal demokrasi itu bukanlah insting dan tabiat asli manusia.Â
Sehingga butuh diajarkan selama proses awal kehidupan manusia hingga awal dewasa melalui institusi pendidikan. Tapi saudara-saudara ada beberapa pertanyaan dan fakta yang ditemukan:
Kita saksikan bersama, kita generasi muda dituntut untuk menjadi insan yang demokratis. Tapi mengapa di lingkungan-lingkungan pendidikan kita malah memberikan contoh yang anti demokratis?
Apakah itu semasa kita bersekolah menengah, adanya paksaan keputusan-keputusan oleh para pimpinan satuan pendidikan?
Ataukah malah semasa kita kuliah, para dosen banyak yang melaksanakan pendekatan yang otoriter dalam kehidupan akademis dengan para mahasiswanya yang harusnya murni demokratis?
Lantas apakah tujuan mereka yang mencontohkan otoriter pada para anak didikannya? Inginkah anak didikannya juga dibikin menjadi otoriter di dewasanya?
Ataukah memang tujuannya memberikan pendekatan dialektika dalam mengajarkan kehidupan yang demokratis? Memberikan suatu contoh yang buruk agar kita mampu mengambil pembelajaran darinya, supaya kita tidak menirukan hal yang serupa?