Mohon tunggu...
Malik Ibnu Zaman
Malik Ibnu Zaman Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Suka baca buku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melampaui Hierarki Sastra: Memahami Peran Sastra Populer dalam Kebudayaan Indonesia

4 Juli 2024   16:40 Diperbarui: 4 Juli 2024   16:51 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang memiliki seleranya masing-masing, termasuk dalam hal sastra. Ada yang suka sastra populer dan ada yang suka sastra serius, bahkan ada juga yang suka keduanya. Lalu mana yang lebih baik? Semuanya baik, yang tidak baik adalah ketika tidak membaca, terlebih lagi mahasiswa Sastra Indonesia.

Perihal sastra populer dan serius, keduanya tentu memiliki perbedaan. Secara garis besar sastra serius cenderung menggambarkan peristiwa kehidupan dengan lebih mendalam, sementara sastra populer menampilkan peristiwa kehidupan dengan lebih ringan. Ini menunjukkan bahwa kedua jenis sastra tersebut memiliki karakteristik masing-masing, di mana karya sastra populer tidak memiliki intensitas penulisan yang sama seperti karya sastra serius.

Sastra serius bisa dianggap lebih stabil, kokoh, dan matang dibandingkan dengan sastra populer. Karena itu, sastra serius sering menarik perhatian para ahli, tokoh, dan individu yang berkecimpung dalam bidang ilmu sastra. Tak mengherankan jika sastra serius menjadi fokus utama yang perkembangan dan karakteristiknya dipelajari secara mendalam, termasuk periodisasinya.

Kita mengenal berbagai jenis karya sastra seperti sastra anak, remaja, dewasa, populer, dan adiluhung. Namun, sering kali kita terjebak dalam menilai jenis sastra tersebut berdasarkan klasifikasi yang dibuat para ahli, yang tidak seharusnya berlaku hierarkis.

Contohnya, kita masih menggunakan sudut pandang sastra adiluhung untuk menilai sastra populer sebagai sesuatu yang rendah mutu dan tidak berharga, bahkan mungkin mengabaikan pembacanya. Akibatnya, terjadi persaingan antara sastra populer dan sastra adiluhung seperti pertarungan hierarkis, mirip dengan kecenderungan sentralistik zaman dulu.

Oleh karena itu, sebaiknya kita beralih dari penilaian yang sempit dan seragam, dan mengadopsi pola pikir emik (dalam perspektif antropologi) bahwa setiap jenis karya sastra harus dinilai sesuai dengan kelompoknya masing-masing. Artinya, sastra populer dinilai dari perspektif sastra populer, begitu juga dengan sastra anak dari perspektif sastra anak. Kita tidak seharusnya menganggap remeh karya-karya sastra populer. Hal ini seolah-olah tercermin dari pandangan Budi Darma dalam esainya yang berjudul Tidak Diperlukan Sastra Madya.

Budi Darma tetap menggunakan sudut pandang yang bias dalam menilai sastra yang dia sebut sebagai "madya". Pengarang seperti Habiburrahman El Shirazy, Asma Nadia, Marga T., dan Andrea Hirata seharusnya mendapat perhatian khusus dalam perkembangan sastra Indonesia. Bayangkan jika sastra Indonesia hanya terfokus pada sastra adiluhung dan hanya menjangkau segmen pembaca tertentu, hal itu akan menghasilkan karya-karya sastra yang membosankan dan tidak relevan bagi masyarakat luas.

Oleh karena itu, anggapan bahwa sastra populer hanya sebagai sastra sekunder di Indonesia harus ditinggalkan. Sebaliknya, sastra populer telah secara signifikan memperluas warisan sastra Indonesia sejak era pra-1930-an (Sumardjo, 2004). Sastra populer dapat diartikan sebagai karya hiburan yang mencerminkan budaya populer (popular culture). Namun, ini tidak seharusnya diposisikan secara bertentangan dengan sastra adiluhung atau kanonik yang juga memiliki penggemarnya sendiri. Faktanya, pembaca sastra populer dan sastra adiluhung dapat tumpang tindih.

Sebagai contoh, Motinggue Busye dikenal karena karyanya yang monumental seperti Malam Jahanam, yang membantunya meraih status sebagai salah satu dramawan terkemuka di Indonesia. Namun demikian, Motinggue juga menulis karya-karya sastra populer. Hal ini menunjukkan bahwa sastrawan adiluhung pun bisa menjadi sastrawan populer, dan sebaliknya.

Meskipun beberapa pengarang seperti Hamka dan Taufik mungkin mengkritik "deviasi" Motinggue dalam menulis sastra populer, karya-karya populer tersebut tetap memberikan kontribusi yang berarti dalam panorama sastra Indonesia. Faktor ini seharusnya menjadi pertimbangan dalam menilai kualitas suatu karya, daripada terjebak dalam pandangan yang terbatas. Sastra populer dapat hidup berdampingan dengan sastra adiluhung, dan sebaliknya.

Sebagai contoh lain, pemenang sayembara penulisan novel DKJ 2014, novel Kambing Hujan, yang memiliki genre populer Islami, menunjukkan bahwa karya populer juga bisa diakui secara prestisius. Begitu pula dengan kasus Norman Erikson Pasaribu, yang menyulut reaksi dari sastrawan dan kritikus setelah menang dalam sayembara manuskrip puisi DKJ 2015 dengan puisi laporannya.

Dengan demikian, tidak ada lagi hierarki dalam sastra Indonesia. Semua jenis karya sastra memiliki segmen pembaca mereka masing-masing, seperti novel Islami, teenlit, chicklit, ladlit, atau mamlit. Pembaca sastra Indonesia sangat beragam dan heterogen. Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa sastra populer bukanlah sastra yang 

merosot di pinggiran Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun