Teman-teman di sini mungkin telah mendengar berita yang sedang ramai di media sosial tentang bencana alam kebakaran hutan di Los Angeles, Amerika Serikat.Â
Amerika Serikat memang sudah menjadi langganan kebakaran hutan tiap tahunnya. Kekeringan dan hembusan angin santa ana menjadi salah satu faktor penyebab kebakaran hutan.
Namun yang berbeda kali ini, kebakaran hutan membakar sebagian besar pemukiman dan menghanguskan lebih dari 20.000 hektar lahan. Dengan perkiraan kerugian ekonomi sebesar 130 miliar-150 miliar dollar AS.
Bencana alam ini menjadi pengingat kita bahwa bumi kita sudah tidak baik-baik saja. Iklim yang sudah tidak menentu, permukaan laut yang kian naik, hingga udara yang kita hirup pun pada akhirnya bisa membunuh kita.
Lalu, bagaimana kita menyikapi hal tersebut? Apakah sudah terlambat untuk mulai memperbaiki? Apakah sudah terlanjur rusak? Atau kita buat sekalian rusak saja?
Langkah-langkah kecil yang kita lakukan pastinya akan berdampak kepada arah perubahan. Tidak ada yang sia-sia. Namun, di samping hal itu kita harus mulai membiasakan diri dengan dunia yang seperti ini. Dunia yang lebih hangat.Â
Karena untuk ke arah yang lebih baik, tidak datang tiba-tiba. Perlu waktu panjang untuk mencapai hal itu. Oleh karenanya, kita harus mencoba membiasakan diri dan beradaptasi selagi menjalani proses tersebut.
Dunia Yang Lebih Hangat
Tahun 2024 memecahkan rekor baru kenaikan suhu tertinggi sepanjang sejarah manusia modern. Copernicus Climate Change Service (C3S) menunjukan adanya lonjakan kenaikan suhu sebesar 0.1C dari tahun 2023. Dari yang awalnya 1.47°C  pada tahun 2023 menjadi 1.57°C  di tahun 2024.
Sementara dalam Paris Agreement disebutkan bahwa kita harus menahan laju kenaikan suhu rata-rata tetap di bawah 2°C dan upaya mempertahankan suhu rata-rata global tidak lebih dari 1,5°C.
Di tahun 2024 terdapat 11 bulan dan 75% hari memiliki suhu permukaan udara dunia rata-rata 1.5°C. Januari hingga April dan Oktober hingga Desember menjadi yang tertinggi, antara 1.58°C dan 1.78°C .
Selain itu juga ada kenaikan suhu rata-rata permukaan air yang cukup signifikan. Di samping karena adanya fenomena El-Nino, kenaikan suhu ini disebabkan juga oleh penggunaan bahan bakar fosil dan masifnya deforestasi yang terjadi.
Pada tahun 2024, rata-rata temperatur permukaan laut menyentuh angka tertinggi di 20.87°C dalam rentan waktu Januari hingga Juni.
Tahun 2023-2024 menjadi tahun yang hangat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, karena fenomena el-nino dan percepatan pemanasan iklim oleh manusia.
Ada juga fenomena lain yang mendukung yang peningkatan suhu di tahun 2023-2024, seperti letusan gunung berapi Hunga Tonga–Hunga Haʻapai pada bulan Januari 2022, berkurangnya jumlah awan, siklus matahari maksimum, dan peningkatan efek rumah kaca akibat tambahan uap air di atmosfer.
Lalu bagaimana dengan tahun 2025? Met Office Forecast mengungkapkan bahwa kemungkinan besar tahun 2025 akan menjadi tahun terhangat ketiga atau bahkan kedua yang pernah tercatat.
Untuk itu kita harus mulai mempersiapkan diri dan membiasakan dengan dunia yang lebih hangat, bagaimana?
Membiasakan Diri Dengan Dunia Yang Lebih Hangat
Ketika dunia lebih hangat, orang di seantero dunia, di semua tingkat pendapatan akan terkena dampak malalui berbagai  cara. Namun, mereka orang-orang berpendapatan rendah akan terkena dampak yang terburuk. Terutama petani dan peternak.
Selagi iklim menghangat, kekeringan dan banjir akan sering terjadi, merusak panen lebih sering. Ternak makan lebih sedikit, memproduksi lebih sedikit daging dan susu. Â Udara dan tanah kehilangan kelembabannya, membuat lebih sedikit air yang tersedia untuk tanaman.
Ada tiga saran untuk bidang agrikultur  agar dapat beradaptasi dengan dunia yang lebih hangat di antaranya:
Bantu Petani Mengelola Resiko dari Cuaca yang Lebih Khaostik. Misalnya, pemerintah dapat membantu para petani untuk menumbuhkan tanaman dan ternak yang lebih beragam. Pemerintah juga harus mulai menguatkan sistem jaminan sosial dan mengadakan asuransi agrikultur berbasis cuaca untuk membantu petani menghadapi kerugian.
Perhatikan orang-orang paling rentan. Perempuan bukan satu-satunya kelompok rentan, tetapi kelompok terbesar. Faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik membuat petani perempuan menghadapi kesulitan yang lebih besar dibandingkan petani laki-laki. Mereka boleh jadi tidak bisa memiliki hak atas tanah atau akses yang setara atas air, pupuk, bahkan perkiraan cuaca.
Penelitian dari PBB mendapatkan apabila perempuan mendapatkan akses sumber daya yang sama seperti laki-laki, mereka akan menghasilkan hasil panen 20 sampai 30 persen lebih banyak dan itu bisa mengurangi jumlah orang kelaparan di dunia antara 12 hingga 17 persen.
Pertimbangkan perubahan iklim dalam keputusan kebijakan. Anggaran yang disisihkan untuk bidang pertanian mengalami pemangkasan tiap tahunnya. Begitupun dengan alokasi anggaran untuk penanganan perubahan iklim yang masih relatif rendah.
Indonesia membutuhkan rata-rata dalam setahun sebesar Rp 266, 3 triliun untuk penanganan perubahan iklim hingga tahun 2030. Namun, rata-rata alokasi apbn hanya Rp 37,9 triliun dalam kurun waktu 2020-2022 (Sumber).Â
Pemerintah harus mulai membuat kebijakan dan intensif untuk petani mengurangi emisi dan menumbuhkan banyak tanaman pada waktu bersamaan.
Orang kaya dan kelas menengah menyebabkan sebagian besar masalah perubahan iklim. Orang-orang termiskin tidak sebanyak mereka dalam menyebabkan masalah, tetapi akan menderita paling buruk karena perubahan iklim.
Kota-Kota Perlu Mengubah Cara Tumbuh
Semua kota akan dipengaruhi perubahan iklim, namun kota-kota di pesisir pantai akan mendapatkan masalah terburuk. Orang-orang akan terusir karena naiknya permukaan laut.
Maka dari itu, kota-kota harus bersiap menghadapi perubahan iklim dan mulai mengubah cara mereka bertumbuh. Mulai dari proses perencanaan yang memperhatikan risiko iklim dan dampak perubahan iklim.
Misalnya memetakan daerah-daerah rawan bencana seperti banjir, longsor, hingga kebakaran hutan. Dengan begitu, akan timbul keputusan yang lebih baik bagaimana cara merancang lingkungan  pemukiman dan industri yang adaptif terhadap perubahan iklim.
Bukan hanya mengubah dari segi infrastruktur kota saja, perubahan iklim memaksa kita untuk mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan yang baru. Kota-kota dengan panas ekstrem dan masyarakat yang tidak mempunyai AC membutuhkan fasilitas kesejukan untuk menghindari cuaca panas.
Kita Sebaiknya Memperkuat Pertahanan Alami
Hutan menyimpan dan mengatur air. Lahan basah mencegah banjir dan memberi air untuk petani dan kota. Terumbu karang adalah rumah ikan yang dimakan komunitas laut . Tetapi,  semua itu  dan pertahanan alami lain menghadapi perubahan iklim dan sedang menghilang dengan cepat.
Dunia setiap tahun kehilangan 3 juta hingga 4 juta hektar hutan tropis dan Indonesia menjadi salah satu penyumbangnya. Bila diteruskan besar kemungkinan pemanasan mencapai 2°C akan segera terjadi. Terumbu karang mati.
Banyak negara sudah mulai memberikan perhatian akan hal itu. Di Nigeria, petani menjadi pelopor reboisasi yang akhirnya menaikan hasil panen mereka. China mulai memprioritaskan seperempat area daratannya untuk promosi konservasi dan pelestarian lingkungan.
Meksiko menjaga daerah aliran sungai untuk meningkatkan akses terhadap air bersih dan sanitasi. Juga untuk melestarikan lingkungan alam dan keanekaragaman hayati di sekitar daerah aliran sungai.
Beberapa negara termasuk Indonesia mungkin dapat memulainya dengan penanaman hutan mangrove di area pesisir pantai. Mangrove mengurangi luapan air, mencegah banjir rob, dan melindungi habitat ikan. Menanam mangrove lebih murah daripada membangun pemecah ombak, dan pohon-pohonya juga memperbaiki mutu air di pesisir pantai.
Menanam mangrove merupakan investasi yang bagus. Mangrove membantu mengurangi kerugian akibat banjir.
Kita Akan Memerlukan Lebih Banyak Air  Minum
Selagi danau dan air tanah kian menyusut atau tercemar, makin sulit untuk menyediakan air minum untuk semua yang membutuhkannya. Hal itu, membuat lebih dari 700 juta orang di dunia kesulitan untuk mendapatkan akses air bersih.Â
Inovasi seperti menghilangkan garam dari air laut agar airnya bisa diminum, pengambilan air dari udara, dan sebagainya sudah mulai dikembangkan. Tapi, itu tidak murah.
Sementara orang yang membutuhkan air bersih mayoritas berasal dari negara-negara miskin. Mereka hanya mampu membuat sumur atau mencari sumber air seadanya.Â
Sampai inovasi itu terjangkau, kita perlu langkah praktis yang akan menurunkan kebutuhan air dan meningkatkan pasokan air. Mulai dari mengolah kembali limbah air, penggunaan irigasi seperlunya, dan mencoba untuk menggunakan air sebijak mungkin.
Mendapatkan akses air bersih yang layak, Â tidak cukup murah untuk si miskinÂ
Selagi bumi kian menghangat kita harus bersiap untuk skenario terburuk. Beradaptasi adalah pilihan terakhir kita untuk bertahan sembari mencari cara mengatasi perubahan iklim yang terjadi.
Jaga Bumi Kita. Mulai Dengan Hal-Hal Kecil.Â
Referensi: How To Avoid A Climate Disaster by Bill Gates
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI