Persoalan di negeri ini adalah tumpang tindihnya lembaga-lembaga negara independen yang dibentuk oleh konstitusi. Begitu powerfullnya dibentuk oleh UU, maka kehadiran lembaga-lembaga tersebut mereduksi lembaga-lembaga formal di atasnya, dalam hal ini adalah Kementerian. Indonesia sesungguhnya tidak lagi menerapkan sistem trias politica secara konsekuen, karena sejatinya kehadiran lembaga negara independen "merusak" eksistensi lembaga eksekutif yang sudah mapan.Â
Jika merujuk pada UU, tupoksi mereka sebatas pengawasan, memberi pertimbangan dan sosialisasi, yang bisa saja didiskusikan kembali apa yang harus diawasi, pertimbangan seperti apa yang diberikan dan sosialisasi apa yang dikerjakan. Uniknya, di satu sisi mereka dibayar oleh Negara, di sisi lain mereduksi peran eksekutif dengan berbagai komentar yang disampaikan di media massa. Inilah hasil reformasi yang dulu menjadi kesepakatan nasional.
Nasi sudah menjadi bubur. Kuatnya supremasi sipil dan demokratisasi telah mengubah cara pandang kita dalam hal apapun, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski pada kenyataannya, kita harus menguras lebih dalam lagi penggunaan anggaran yang kian tidak tepat sasaran. Bayangkan, ratusan lembaga negara non struktural ini, ada yang dibentuk oleh UU, Kepres dan Perpres, hadir tanpa kejelasan apa hasilnya. Para komisioner pun dibayar dengan gaji setingkat General Manager di perusahaan swasta ditambah fasilitas-fasilitas lainnya dengan alasan untuk menunjang kinerja.
Jujur saja, mereka baru dikatakan bekerja kalau sudah membuat "panik" Kementerian karena melempar wacana atau opini publik secara negatif ke publik. Pers dan media massa tentu sangat gembira dengan kehadiran mereka karena mendapatkan isu yang telah dibangun oleh komisioner-komisioner lembaga negara independen tersebut. Ini menjadi realita kehadiran lembaga nonstruktural yang lebih senang memosisikan diri sebagai "rival" ketimbang mitra Pemerintah.
Dua tahun lalu, Presiden Jokowi memang telah mewacanakan akan menghapus lembaga-lembaga non-struktural. Namun, wacana itu hilang karena memang kuatnya kepentingan politik. Ini tentu membuktikan, kepentingan politik lebih dominan dalam pembentukan lembaga negara independen, daripada kepentingan nasional dan negara. Oleh sebab itu, Negara harus hadir mewaspadai pembentukan UU di DPR karena dari sana lah asal muasal hadirnya lembaga-lembaga negara non-struktural.
Salah satu lembaga negara independen yang dibentuk Negara dalah Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Dia menjadi lembaga negara independen yang dibentuk melalui UU Nomor 37 Tahun 2008. Apapun yang dibentuk oleh UU tentunya sangat memiliki landasan konstitusional yang kuat dan berimplikasi pada kesiapan anggaran besar.
Sayangnya, meski sudah dibentuk UU, disediakan kantor di Kuningan, Jaksel, dan seluruh anggotanya disediakan fasilitas mewah, tetap saja kinerja ORI tidak terlihat. Setidaknya itu yang disampaikan Ketua Komisi II DPR RI Rambey F. Kamaruzzaman setahun lalu. Menurutnya, alokasi anggaran untuk lembaga ini kian membesar.Â
Selama tiga tahun terakhir, ORI menerima alokasi Anggaran Penerimaan & Belanja Negara (APBN) masing-masing sebanyak Rp 146milyar, Rp 115milyar, dan Rp 75milyar. ORI pun dinilai tidak populer lantaran struktur dan kepemimpinan yang minim, serta outcome ORI hanya bersifat rekomendasi. Kinerja ORI pun buruk karena kasus yang ditangani terselesaikan dengan rata-rata 50%. Beritanya bisa dilihat disini: http://poskotanews.com/2016/01/12/kinerja-ombudsman-dipertanyakan-rakyat-belum-tahu-lembaga-itu/
Seolah ingin membantah tidak ada kinerja, lembaga ini berusaha unjuk gigi. Caranya? Ya dibuatlah sensasi opini luar biasa ke media massa yang intinya penilaian mereka terhadap kinerja Kementerian. Mereka memetakan kinerja Pemerintah dengan "istilah luar biasa" yakni "zona hijau", "zona kuning" dan "zona merah". Artinya "zona hijau" berperingkat tinggi, "zona kuning" berperingkat sedang dan "zona merah" berperingkat rendah. Inilah istilah-istilah baru yang dibuat ORI tanpa kejelasan apa dasarnya.
Sialnya, di antara sekian Kementerian yang dinilai ORI, hanya Kementerian Pertahanan yang masuk zona merah. Ini tentu bertolak belakang dengan banyaknya penghargaan dan penilaian positif terhadap Kementerian ini. Salah satunya seperti yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memberi nilai Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap Kementerian Pertahanan. WTP adalah predikat baik atas laporan keuangan yang dilakukan Kementerian. (Beritanya bisa dicek di sini)
Prestasi Kemhan bukan hanya soal laporan keuangan, tapi juga dalam hal pelayanan rumah sakit. RS Dr. Suyoto milik Kemhan yang mendapatkan predikat dengan tingkat Paripurna oleh Komite Akreditas Rumah Sakit. (Beritanya bisa diakses di sini)