Mohon tunggu...
Malika Yasifa Andika
Malika Yasifa Andika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya salah satu mahasiswa Universitas Raden Mas Sa'id Surakarta dari fakultas syari'ah, prodi Hukum Keluarga Islam, saya memiliki kegemaran dalam olahraga khususnya olahraga beladiri

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Degradasi Moral dan Adab : Menyelamatkan Martabat Pendidikan di Tengah Arus Modernisasi

20 Desember 2024   10:13 Diperbarui: 20 Desember 2024   10:15 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Di tengah derasnya arus modernisasi, sebuah fenomena mencengangkan mulai menggerogoti sendi-sendi pendidikan kita yaitu memudarnya rasa hormat siswa terhadap guru. Hal ini bukan sekadar masalah sepele, tetapi ini adalah gejala nyata dari degradasi moral yang mengancam generasi mendatang, sebuah tanda bahaya yang membutuhkan perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat.

Adab bukan sekadar etiket kosong, melainkan pilar utama pembentuk karakter manusia berbudaya. Ada pepatah bijak yang mengatakan "Al adabu fauqal ilmi" (adab lebih tinggi dari ilmu) ungkapan tersebut mengingatkan kita bahwa adab harus landasan utama yang harus dimiliki sebelum mengejar ilmu, karena pengetahuan tanpa moral ibarat pedang bermata dua dapat membangun ataupun menghancurkan. Fenomena menurunnya sopan santun siswa terhadap guru bukanlah sekadar persoalan sederhana, melainkan cerminan dari perubahan fundamental dalam struktur sosial dan nilai-nilai masyarakat modern yang semakin individualistis dan pragmatis.

Media sosial telah menjadi arena utama penyebaran perilaku buruk, di mana platform digital tanpa filter menjadi mesin penyebar budaya tidak bermoral. Video-video viral kenakalan siswa yang dulu akan dianggap memalukan, kini justru dipandang sebagai bentuk keberanian dan gaya hidup "keren". Algoritma yang dirancang untuk menarik perhatian malah semakin mempercepat penyebaran konten negatif, menciptakan semacam "budaya viral" yang merendahkan etika dan martabat pendidikan.

Generasi muda saat ini juga semakin kehilangan figur inspiratif dan lebih terpapar oleh selebritas serta influencer yang kerap mengabaikan nilai-nilai luhur, ketimbang tokoh-tokoh bermartabat yang sejatinya patut diteladani. Mereka lebih mengidolakan kepopuleran instan daripada dedikasi, lebih mementingkan pengakuan sosial daripada substansi moral yang sejati. Proses pembentukan karakter menjadi terdistorsi oleh arus informasi yang tidak terfilter dan standar etika yang semakin melonggar.

Kesibukan orangtua dan pergeseran prioritas keluarga juga semakin memperburuk keadaan. Pendidikan karakter yang seharusnya menjadi fondasi utama pembentukan kepribadian anak terabaikan. Anak-anak tumbuh tanpa bimbingan etika yang memadai, kehilangan kompas moral yang seharusnya mengarahkan mereka pada perilaku bermartabat. Akibatnya, proses belajar-mengajar terganggu sehingga guru kehilangan wibawa yang berpotensi menimbulkan konflik serta trauma psikologis guru dalam mengelola kalas.

Untuk mengembalikan adab membutuhkan pendekatan komprehensif dan kolaboratif yang melibatkan seluruh komponen masyarakat. Sekolah perlu mengintegrasikan nilai-nilai moral dalam setiap mata pelajaran, bukan sekadar teori melainkan praktik nyata yang dapat dirasakan dan dialami siswa secara langsung. Para guru juga memerlukan pemberdayaan melalui pelatihan manajemen kelas yang baik sehingga dapat mempertahankan profesionalisme dan martabat mereka, serta dukungan penuh dari sistem pendidikan.

Pemerintah dan lembaga pendidikan harus menetapkan kebijakan tegas yang melindungi hak-hak pendidik dan menegakkan standar perilaku yang bermoral. Kurikulum pendidikan perlu direvisi untuk lebih menekankan pembentukan karakter di samping pencapaian akademis, menciptakan ekosistem pendidikan yang holistik dan bermakna.

Namun, tanggung jawab terbesar tetaplah berada di tangan keluarga. Orangtua harus kembali berperan aktif dalam menanamkan nilai-nilai luhur, memberikan teladan yang baik, dan mendukung proses pendidikan anak. Mereka tidak boleh sekadar menyalahkan guru, tetapi turut berperan dalam membentuk karakter generasi muda, mendengarkan, membimbing, dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan moral.

Pendidikan sejatinya bukan hanya sekadar transfer pengetahuan saja, melainkan pembentukan manusia seutuhnya. Tanpa adab, kepintaran hanyalah kemampuan hampa tanpa makna. Mari kita bersama-sama mengembalikan martabat guru, membangun generasi beradab yang tidak sekadar pintar, tetapi mulia. Karena sejatinya, masa depan bangsa ada di tangan mereka yang bermoral, yang mampu menghormati, menghargai, dan meneladani para pendidik yang telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Perjalanan mengembalikan adab bukanlah tugas yang mudah. Ini membutuhkan komitmen bersama, kesabaran, dan konsistensi dari seluruh lapisan masyarakat. Setiap individu, mulai dari keluarga, sekolah, media, hingga pemerintah, memiliki peran strategis dalam membangun kembali benteng moral yang telah lama terkikis. Hanya dengan upaya kolektif dan kesadaran mendalam akan pentingnya adab, kita dapat mengharapkan lahirnya generasi yang tidak sekadar cerdas, tetapi juga bijak, bermartabat, dan berperikemanusiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun