Mungin bagi sebagian orang terpintas di dalam benak pikirannya bahwa kepemimpinan (leadership) itu ekuivalen dengan jabatan yang diembannya baik itu jabatan secara formal maupun jabatan secara informal. Â
Perlu kita ketahui bersama bahwa kepemimpinan tidak mengenal besar atau kecilnya ruang lingkup yang menjadi kuasanya, karena sejatinya kepemimpinan tidak selalu identik dengan kekuasaan.Â
Seorang pemimpin tidak harus menduduki kekuasaan atau jabatan tertentu untuk membuktikan kemampuannya dalam mengarahkan orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya untuk mencapai tujuan bersama. Sementara, seorang penguasa belum tentu mampu mengendalikan para pengikut yang dikuasainya secara formal.Â
Bahkan seorang Musa A.S yang dikenal sebagai seorang nabi dan rasul yang dianugerahi mukjizat bisa membelah lautan demi meloloskan diri dari kejaran Firaun dan bala tentaranya, pernah mengalami suatu proses pembelajaran yang panjang sebelum akhirnya mencapai puncak dari kepemimpinan yang bersandar pada nilai-nilai yang luhur.
Banyak rujukan yang memuat  awal mula Musa A.S berguru kepada Khidir, salah satunya temaktub di dalam H.R. Muslim No. 1611. Di dalam hadist tersebut diceritakan bahwa terdapat seseorang yang bertanya tentang siapa orang yang paling banyak ilmunya, kemudia Musa dengan lantang dibarengi dengan tingkat percaya diri yang tinggi dengan gagahnya menjawab bahwa dirinyalah manusia yang paling banyak ilmunya.Â
Walaupun Musa A.S yang diberi title oleh Allah sebagai rasul, nampaknya Allah mengajarkan juga kepada Musa A.S bahwa title kenabian tidak serta merta menjadi jaminan bahwa ilmu yang dimiliki paling banyak bila dibandingkan dengan orang lain. Nampaknya, Allah SWT ingin menguji Musa A.S tentang pentingnya menuntut ilmu sekaligus menghindarkan diri dari segala bentuk arogansi.
Kemudian, Musa A.S diperintahkan untuk menemui hamba Allah yang  tinggal di pertemuan dua buah lautan yang lebih banyak ilmunya dibanding dengan Musa A.S. Di dalam proses pencarian ilmunya Khidir sangat khas bila dibanding dengan banyak orang, yaitu menangkap hikmah kearifan dari pengalaman konkret, bukan seperti kebanyakan orang yang banyak berdebat di dalam ruang kelas.Â
Salah satu persyaratan Khidir kepada Musa dalam perjalannya mencari ilmu, yaitu jangan terlalu banyak bertanya dan jangan banyak mengeluh. Dalam perjalanan pertamanya Khidir dan Musa menumpang sebuah kapal untuk menyeberangi sebuah desa berpenduduk, setelah sesampainya di pantai, Khidir kemudian merusak penampilan perahu itu, karena perbuatan yang dilakukan Khidir Musa terkejut dan memandang Khidir sebagai manusia yang tidak tahu diri sudah menumpang perahu malah merusaknya begitu saja.Â
Tak berselang lama melihat keanehan Khidir, Musa pun dibuat kesal sekaligus marah melihat guru yang Ia bayangkan sebagai sosok yang mulia dan penuh ilmu, malah membunuh anak kecil yang tidak berdosa tanpa ada gerangan apapun. Musa pun lagi-lagi marah kepada Khidir sekaligus mempertanyakan perbuatannya yang tidak berprikemanusian itu, Khidir pun tidak menggubris keluh kesahnya Musa.
Pengalaman ketiga ialah ketika Musa dan Khidir memasuki suatu kampung dimana Musa dan Khidir diperlakukan dengan tidak ramah, tanpa diberi minum dan makan, bahkan penduduk tersebut mengusir mereka dengan kasar. Tatkala berjalan meninggalkan suatu kampung, Khidir tanpa disuruh apapun membetulkan rumah gubuk yang mau runtuh, tanpa disuruh oleh siapapun.Â
Musa pun kembali keheranan dan bertaya-tanya pada gurunya bahwa tindakan Khidir seharusnya layak mendapatkan upah sesederhana diberi makanan dan minuman. Pada perjalanan ketiga ini sekaligus sebagai perjalanan akhir pembelajaran yang diberikan Khdiri kepada Musa, sekaligus menjawab keluh kesah dan celotehan Musa kepada Khidir. Dengan sikap seorang guru yang mempunyai tingkat integritas dan intelegensia yang kuat, Khidir dengan tenang terus konsisten menerima keluh kesah Musa sekaligus memberikan jawaban dengan tenang dan penuh kewibawaan.Â