Tulisan ini untuk kamu, hai Penjelajah Narasi. Mari berliterasi sejenak sebagai realisasi dari sebuah aksi sederhana.Â
Ada apa dengan dunia? Berita tentang perampasan tanah dan hak hidup manusia, tidak pernah absen untuk berseliweran di beranda. Tagar all eyes on Rafah dan all eyes on Papua, menarik perhatian publik yang tadinya tidak peduli karena bukan berada di pihak yang merugi. Saudara seiman dan sebangsa sedang sama-sama menghadapi krisis perampasan hak hidup mereka di tanah kelahiran. Eksistensi mereka seolah bagai hama tidak terlihat yang mesti dihapuskan keberadaannya. Seolah kehidupan mereka hanya seperti debu di ujung sepatu, dipandang sepele dan dikatai benalu.Â
Pertanyaan tentang 'apakah kemanusiaan sudah lenyap dari bumi? Kenapa banyak manusia yang hidup tapi tidak mau memanusiakan manusia lainnya?' Seringkali menghantui pikiran yang sibuk dengan kesenangan karena berdiam di kota yang aman. Banyak pemilik pasang mata yang dalam hatinya menghardik postingan-postingan yang menyuarakan kemanusiaan, hanya karena sang penulis tidak memiliki jutaan followers yang serentak patuh untuk membaca dan mendengarkan.Â
Sebenarnya, dibarisan mana kita berdiri? Di pihak mana kita bersuara?Â
Sekelompok orang yang merasa berkuasa, terlalu percaya diri dengan mengkerdilkan masyarakat dari golongan kecil. Merasa jumawa setelah menyangka dirinya berhasil menginjak dan merampas jutaan kehidupan milik golongan minoritas, padahal sejatinya mereka sama-sama terbuat dari tanah dan diciptakan oleh satu Pencipta yang sama. Mereka merusak apa yang seharusnya dijaga. Berani membinasakan siapa yang mereka anggap lawan, tanpa tahu malu, menodong senjata pada orang tak bersenjata.Â
Siapa para pengecut yang bersembunyi di balik 'kekuasaan semu' itu? Apakah kita, sebagai saudara seiman dan sebangsa para manusia yang dikerdilkan itu, sudah merasa marah pada si pengecut berotak kecil dan bernurani kerdil? Kalau belum, coba tanyakan lagi. Sebenarnya, di barisan mana kita berdiri? Untuk siapa kita bersuara?
Di Papua, saudara sebangsa kita terancam kehilangan rumah. Bagi masyarakat adat Awyu dan Moi, hutan adalah rumah. Mereka tidak ingin terseret pada kehidupan penuh ambisi untuk jadi yang paling ber-uang, dengan hidup berdampingan dengan ibu pertiwi, alam Papua.Â
Kenapa mereka harus jauh-jauh ke Jakarta demi mengadukan hak mereka yang dirampas dan mengemis kebijakan pada orang-orang yang berada di atas? Apakah telinga-telinga milik 'oknum' yang menjelma menjadi pihak berkepentingan akan mendengar aduan pilu mereka? Atau malah mengoper kasus karena tidak mau ambil pusing, padahal terhadap uang mereka tetap rakus?
Kepentingan seurgent apa sampai menggusur rumah milik manusia yang berhak atasnya? Hutan Papua bukan sekedar pepohonan yang tumbuh tanpa arti. Di sana ada peradaban milik manusia yang patut dimanusiakan. Kemana mereka harus pergi, kalau pemerintah tidak menunjukkan keberpihakannya dan sibuk sendiri?
Sudah cukup lelah, telinga dan mata para rakyat yang menyaksikan perdebatan politik tentang siapa yang terbaik untuk duduk di singgasana pemerintahan Nusantara. Lagi lagi, rakyat kecil harus menghela napas setiap hari karena penunjang kehidupan mereka justru terluput dari perhatian sang pemegang kekuasaan. Harga naik. Gaji terasa mencekik. Resesi dimana-mana, membuat orang-orang yang berjuang untuk hidup dan menunjang hidup keluarganya, serasa ingin untuk menghardik.Â
Barangkali, ada mata yang sudah lelah melihat berita genosida di tanah Palestina. Hal yang patut dipertanyakan adalah selelah apa manusia-manusia yang hidup di bumi sana dan menghadapi genosida setiap waktunya?
Asap hitam membumbung tinggi, membakar tenda-tenda tempat bernaung para manusia yang ditindas oleh makhluk tidak tahu diri. Bangunan tempat berlindung pun diluluhlantakkan sampai tinggal puing-puing di atas tanah. Mereka harus meregang nyawa dan ditemukan dalam keadaan hangus. Tangis anak kecil yang kehilangan orangtua sudah lama bersahutan dan entah kapan akan mereda. Bunyi senjata api terdengar merobek keheningan malam, membuat bising dan meninggalkan ribuan trauma. Tidak ada aturan main. Manusia manapun yang terlihat, entah wanita, balita, lansia atau bahkan tenaga kesehatan, tidak luput menjadi korban. Entah dijadikan sandera atau dihilangkan nyawanya seketika.Â
Perut mereka dilaparkan karena sumber pangan dihancurkan dengan membabi buta. Roda ekonomi mereka dimiskinkan. Mereka dibiarkan mati perlahan dalam riuhnya lautan manusia yang berlomba mempertahakan hidup. Pilihan yang disediakan hanya terbatas. Mati hangus, mati tertembak, mati kelaparan, atau mati karena tidak sanggup lagi bertahan dalam keadaan tertindas. Jasad mereka memang mati, namun jiwa mereka abadi di tempat yang tak bisa digapai makhluk keji bernurani kerdil itu.Â
Setelah melihat itu semua, coba pertanyakan lagi, ada di pihak mana kita berdiri? Untuk siapa kita bersuara?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H