Mohon tunggu...
Malik Abieraisya
Malik Abieraisya Mohon Tunggu... -

Diam menghanyutkan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Harus Kartini?

20 April 2013   11:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:54 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa setiap 21 April, bangsa
Indonesia memperingati Hari Kartini?
Apakah tidak ada wanita Indonesia lain
yang lebih layak ditokohkan dan
diteladani dibandingkan Kartini?
Pada dekade 1980-an, guru besar
Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsya
W. Bachtiar pernah menggugat
masalah ini. Ia mengkritik
pengkultusan R.A. Kartini sebagai
pahlawan nasional Indonesia. Tahun
1988, masalah ini kembali
menghangat, menjelang peringatan
hari Kartini 21 April 1988. Ketika itu
akan diterbitkan buku Surat-Surat
Kartini oleh F.G.P. Jacquet melalui
penerbitan Koninklijk Institut voor Tall-
Landen Volkenkunde (KITLV).
Tulisan ini bukan untuk menggugat
pribadi Kartini. Banyak nilai positif
yang bisa kita ambil dari kehidupan
seorang Kartini. Tapi, kita bicara
tentang Indonesia, sebuah negara yang
majemuk. Maka, sangatlah penting
untuk mengajak kita berpikir tentang
sejarah Indonesia. Sejarah sangatlah
penting. Jangan sekali-kali melupakan
sejarah, kata Bung Karno. Al-Quran
banyak mengungkapkan betapa
pentingnya sejarah, demi menatap dan
menata masa depan.
Banyak pertanyaan yang bisa diajukan
untuk sejarah Indonesia. Mengapa
harus Boedi Oetomo, Mengapa bukan
Sarekat Islam? Bukankah Sarekat
Islam adalah organisasi nasional
pertama? Mengapa harus Ki Hajar
Dewantoro, Mengapa bukan KH Ahmad
Dahlan, untuk menyebut tokoh
pendidikan? Mengapa harus
dilestarikan ungkapan ing ngarso sung
tulodo, ing madyo mangun karso, tut
wuri handayani sebagai jargon
pendidikan nasional Indonesia?
Bukankah katanya, kita berbahasa
satu: Bahasa Indonesia? Tanyalah
kepada semua guru dari Sabang
sampai Merauke. Berapa orang yang
paham makna slogan pendidikan
nasional itu? Mengapa tidak diganti,
misalnya, dengan ungkapan Iman,
Ilmu, dan amal, sehingga semua orang
Indonesia paham maknanya.
Kini, kita juga bisa bertanya, Mengapa
harus Kartini? Ada baiknya, kita lihat
sekilas asal-muasalnya. Kepopuleran
Kartini tidak terlepas dari buku yang
memuat surat-surat Kartini kepada
sahabat-sahabat Eropanya, Door
Duisternis tot Licht, yang oleh Armijn
Pane diterjemahkan menjadi Habis
Gelap Terbitlah Terang. Buku ini
diterbitkan semasa era Politik Etis oleh
Menteri Pengajaran, Ibadah, dan
Kerajinan Hindia Belanda Mr. J.H.
Abendanon tahun 1911. Buku ini
dianggap sebagai grand idea yang
layak menempatkan Kartini sebagai
orang yang sangat berpikiran maju
pada zamannya. Kata mereka, saat itu,
tidak ada wanita yang berpikiran
sekritis dan semaju itu.
Beberapa sejarawan sudah
mengajukan bukti bahwa klaim
semacam itu tidak tepat. Ada banyak
wanita yang hidup sezamannya juga
berpikiran sangat maju. Sebut saja
Dewi Sartika di Bandung dan Rohana
Kudus di Padang (terakhir pindah ke
Medan). Dua wanita ini pikiran-pikiran
nya memang tidak sengaja
dipublikasikan. Tapi yang mereka
lakukan lebih dari yang dilakukan
Kartini. Dewi Sartika (1884-1947)
bukan hanya berwacana tentang
pendidikan kaum wanita.
Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah
yang belakangan dinamakan Sakola
Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di
berbagai tempat di Bandung dan luar
Bandung. Rohana Kudus (1884-1972)
melakukan hal yang sama di kampung
halamannya. Selain mendirikan
Sekolah Kerajinan Amai Setia (1911)
dan Rohana School (1916), Rohana
Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di
Koto Gadang sampai saat ia
mengungsi ke Medan. Ia tercatat
sebagai jurnalis wanita pertama di
negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan
Sartika dan Rohana dalam surat,
mereka sudah lebih jauh melangkah:
mewujudkan ide-ide dalam tindakan
nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh
Abendanon yang ber inisiatif
menerbitkan surat-suratnya, Rohana
menyebarkan idenya secara langsung
melalui koran-koran yang ia terbitkan
sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto
Gadang, 1912), Wanita Bergerak
(Padang), Radio (padang), hingga
Cahaya Sumatera (Medan).
Kalau saja ada yang sempat
menerbitkan pikiranpikiran Rohana
dalam berbagai surat kabar itu, apa
yang dipikirkan Rohana jauh lebih
hebat dari yang dipikirkan Kartini.
Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut
Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia,
Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan
Cutpo Fa -timah dari Aceh, klaim-klaim
ke terbe lakang an kaum wanita di
negeri pada masa Kartini hidup ini
harus segera digugurkan. Mereka
adalah wanita-wanita hebat yang turut
berjuang mempertahankan
kemerdekaan Aceh dari serangan
Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut
berperang juga adalah seorang ulama-
wanita.
Di Aceh kisah wanita ikut berperang
atau menjadi pemimpin pasukan
perang bukan sesuatu yang aneh.
Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut
Nyak Dien dan sebelum Belanda
datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh
sudah memiliki Panglima Angkatan
Laut wanita pertama, yakni
Malahayati. Aceh juga pernah dipimpin
oleh Sultanah (sultan wanita) selama
empat periode (1641-1699). Posisi
sulthanah dan panglima jelas bukan
posisi rendahan.
Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia
bisa berpikir lebih jernih: Mengapa
Kartini? Mengapa bukan Rohana
Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak
Dien? Mengapa Abendanon memilih
Kartini? Dan mengapa kemudian
bangsa Indonesia juga mengikuti
kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak
pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia
tidak pernah menyerah dan berhenti
menentang penjajahan Belanda atas
negeri ini.
Meskipun aktif berkiprah di tengah
masyarakat, Rohana Kudus juga
memiliki visi keislaman yang tegas.
Perputaran zaman tidak akan pernah
membuat wanita menyamai laki-laki.
Wanita tetaplah wanita dengan segala
kemampuan dan kewajibannya. Yang
harus berubah adalah wanita harus
menda -pat pendidikan dan perlakukan
yang lebih baik. Wanita harus sehat
jasmani dan rohani, berakhlak dan
berbudi pekerti luhur, taat beribadah
yang kesemuanya hanya akan
terpenuhi dengan mempunyai ilmu
pengetahuan, begitu kata Rohana
Kudus.
Bayangkan, jika sejak dulu anak-anak
kita bernyanyi: Ibu kita Cut Nyak Dien.
Putri sejati. Putri Indonesia..., mungkin
tidak pernah muncul masalah Gerakan
Aceh Merdeka. Tapi, kita bukan
meratapi sejarah, Ini takdir. Hanya, kita
diwajibkan berjuang untuk
menyongsong tak dir yang lebih baik di
masa depan. Dan itu bisa dimulai
dengan bertanya, secara serius:
Mengapa Harus Kartini?
Ditulis oleh Tiar Anwar Bachtiar
(INSISTS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun