Mohon tunggu...
I Nengah Maliarta
I Nengah Maliarta Mohon Tunggu... Pengacara - Pluralism

Indonesian

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Kedudukan, Hak dan Kewajiban Anak Angkat dalam Hukum Adat Bali

28 Agustus 2020   11:20 Diperbarui: 28 Agustus 2020   11:19 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DRESTA SEBAGAI TETAMIAN LELUHUR

Bali, yang mana mayoritas masyarakatnya menganut agama Hindu, dalam praktek keagamaannya melaksanakan ajaran agama dengan lebih berpijak pada tradisi. 

Tradisi mana tentunya tetap mengacu kepada sumber tertinggi yaitu Sruti (kitab suci Veda), namun dalam pengamalannya lebih menampilkan wujud perilaku atau etika serta wujud materi dalam hal ini upacara (upakara yadnya). Itulah sebabnya dalam hal menjalankan tradisi keagamaan, umat Hindu Bali benar-benar dapat konsisten mempertahankan tetamian (warisan) leluhur.

Tradisi leluhur dalam menerapkan ajaran agama Hindu inilah yang secara terus-menerus diimplementasikan hingga berkembang menjadi “dresta”. Dresta adalah tradisi adat yang diwarisi secara turun-temurun dalam suatu masyarakat mengenai tata krama dalam menjalankan hidup dan kehidupan di dalam lingkungan masyarakat (desa adat). 

Oleh karena dresta merupakan warisan dari masing-masing leluhur di masing-masing lingkup desa adat, mengakibatkan adanya perbedaan dresta antara satu desa adat dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut disebabkan oleh kondisi sosial, budaya, ekonomi serta sifat keagamaan di masing-masing desa adat yang berbeda-beda. Sehingga mengakibatkan adanya keragaman tradisi dan budaya antara satu kelompok masyarakat atau satu desa adat dengan yang lainnya.

Terhadap perbedaan-perbedaan tradisi tersebut, kemudian muncullah istilah-istilah “pembenaran” untuk meyakinkan bahwa perbedaan tersebut merupakan suatu keniscayaan, seperti istilah "desa kala patra" (perbedaan menurut tempat, waktu dan keadaan), "desa mawa cara" (setiap desa mempunyai cara/kebiasaan yang berbeda-beda) dan "negara mawa tata" (setiap negara memiliki tata cara tersendiri) yang kemudian dijalankan terus menerus sehingga menjadi dresta di dalam suatu desa adat.

MERAS SENTANA / PENGANGKATAN ANAK

Dibalik keanekaragaman tradisi dan budaya (dresta) yang ada di masing-masing desa adat di Bali, terdapat satu tradisi pengangkatan anak yang biasa disebut meras sentana

Tradisi ini bisa ditemui hampir di seluruh wilayah atau di seluruh desa adat yang ada di Bali (Bali mawa cara) walaupun dengan menggunakan istilah atau penyebutan yang berbeda-beda. Meras sentana terdiri dari kata meras yang berasal dari kata peras yang berarti banten peras atau semacam sesajen untuk pengakuan / memasukkan seorang anak ke dalam keluarga orang tua angkatnya dan kata sentana yang berarti anak atau keturunan.

Tujuan dilakukannya meras sentana adalah untuk menghindarkan suatu keluarga dari keadaan putus generasi (camput) karena tidak memiliki keturunan yang akan meneruskan generasi di keluarga tersebut. Baik meneruskan dalam konteks pertalian keluarga maupun meneruskan dalam konteks ­ayah-ayahan atau kewajiban di dalam masyarakat / desa adat. Sehingga hukum adat Bali memberikan solusi berupa meras sentana tersebut.

Dalam proses meras sentana, selain dilakukan prosesi upacara dengan sesajen atau banten peras tadi, biasanya juga dilanjutkan dengan pengumuman yang dilakukan oleh kelihan desa adat/kelihan banjar adat (kepala desa adat) setempat serta dibuatkan surat peras sebagai alat bukti tertulis adanya pengangkatan anak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun