Mohon tunggu...
I Nengah Maliarta
I Nengah Maliarta Mohon Tunggu... Pengacara - Pluralism

Indonesian

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Apakah Covid-19 dapat Dijadikan Dasar Force Majeure?

1 Mei 2020   15:06 Diperbarui: 13 Desember 2020   04:03 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah-tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang mengikutinya. Masalah kesehatan, kebersihan, sosial, keamanan dan lain sebagainya datang menjadi satu paket bersama pandemi Covid-19 ini.

Tidak terkecuali masalah pada dunia hukum dan dunia usaha, hal tersebut karena keduanya memang memiliki kaitan yang sangat erat. 

Permasalahan hukum di dalam dunia usaha yang muncul di tengah pandemi Covid-19 adalah potensi pelaksanaan perjanjian kerja sama yang dapat berjalan secara tidak efektif sebagaimana dimuat dalam klausul perjanjian kerja sama yang sudah disepakati oleh para pihak.

Apalagi setelah berlakunya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran CoronaVirus Disease 2019 Covid-19 sebagai Bencana Nasional (Keppres Nomor 12 Tahun 2020) tanggal 13 April 2020 yang lalu.

Banyak sekali muncul pertanyaan apakah Covid-19 dapat dikatakan sebagai alasan atau dasar telah terjadinya keadaan memaksa / force majeure terhadap pelaksanaan perjanjian-perjanjian tersebut ? 

-semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya-

Force Majeure secara umum diatur dalam Pasal 1245 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang pokoknya pada saat debitur tidak bisa menunaikan kewajiban sebagaimana diperjanjikan, debitur dibebaskan dari segala biaya, ganti rugi dan bunga sepanjang debitur dapat membuktikan adanya force majeure atau keadaan memaksa yang mengakibatkan tidak dapat terlaksananya poin-poin yang diperjanjikan tersebut.

Force majeure menjadi salah satu klausul yang wajib ada di dalam suatu perjanjian. Klausul force majeure menjadi semacam klausul “pengaman” bagi salah satu pihak yang tidak dapat menunaikan kewajibannya karena sesuatu alasan yang bukan karena kehendaknya sendiri atau tidak berada di bawah penguasaannya. Klausul force majeure umumnya dapat dicontohkan sebagai berikut:

                                                                              PASAL ...

                                                                     FORCE MAJEURE

  1. Masing-masing pihak dibebaskan dari tanggungjawab atas keterlambatan atau kegagalan dalam memenuhi kewajiban yang tercantum dalam perjanjian ini, yang disebabkan oleh kejadian diluar kehendak masing-masing pihak yang dapat digolongkan sebagai Force Majeure.
  2. Peristiwa yang dapat digolongkan Force Majeure antara lain yang disebabkan bencana alam seperti gempa bumi, petir, angin kencang, taufan, banjir atau hujan terus menerus dan non alam seperti wabah penyakit, perang, peledakan, sabotase, terorisme, revolusi, pemberontakan, huru hara, adanya kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Perjanjian Kerja ini.
  3. Apabila terjadi Force Majeure maka Pihak yang bersangkutan harus melaporkan kepada Pihak lainnya selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah terjadinya Force Majeure tersebut.

Sekalipun pandemi Covid-19 sudah tetapkan oleh Pemerintah sebagai bencana nasional nonalam melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2020 yang kemudian diikuti dengan aturan-aturan turunannya seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengakibatkan pergerakan penduduk termasuk para pekerja menjadi terbatas termasuk pembatasan terhadap kegiatan perkantoran dengan sektor usaha tertentu.

Namun tetap saja, secara umum Covid-19 sebagai suatu wabah penyakit tidaklah dapat dijadikan sebagai dasar suatu keadaan memaksa / force majeure yang diberlakukan secara umum. 

Sebagai contoh, force majeure bagi satu orang yang sedang terikat dalam suatu perjanjian dalam masa pandemi Covid-19 ini tidak serta merta menjadi suatu hal yang sama terhadap orang lain yang terikat dalam perjanjian yang berbeda.

Force majeure harus dilihat sebagai suatu yang sifatnya “kondisional tertentu” berdasarkan kasus per kasus tergantung dari pada sifat, jenis, keadaan-keadaan dan subjek maupun objek perjanjian.

Misalnya:

  1. Perjanjian dengan objek pembuatan aplikasi antara seorang programmer dengan sebuah perusahaan yang dalam pembuatannya hanya membutuhkan sumber daya listrik untuk menghidupkan mesin produksi (komputer), secara umum di masa pandemi Covid-19 dan PSBB ini tentu masih bisa dikerjakan secara normal karena tidak memerlukan akses keluar rumah, dan semacamnya. 
  2. Perjanjian dengan objek antar jemput dengan sepeda motor antara seorang karyawan perusahaan dengan seorang ojek pangkalan, di masa pandemi Covid-19 dan PSBB pengendara bermotor dibatasi hanya boleh mengangkut penumpang dengan alamat yang sama antara yang pengendara motor dengan yang dibonceng. Kondisi demikian tentu membuat tidak dapat dijalankannya perjanjian antar jemput dengan sepeda motor tersebut. 

Apabila pandemi Covid-19 dilihat secara umum sebagai suatu force majeure, tentu akan menjadi tidak tepat diberlakukan terhadap kasus nomor 1, karena meskipun dalam situasi pandemi Covid-19 programmer aplikasi tersebut masih tetap bisa menunaikan kewajibannya untuk mengerjakan aplikasi tersebut.

Berbeda dengan kasus nomor 2, akan menjadi tepat apabila pandemi Covid-19 dengan aturan turunannya yaitu PSBB dikatakan sebagai sebab yang memaksa tidak dapat dilaksanakannya kewajiban tukang ojek untuk mengantar karyawan tersebut. 

Kesimpulannya force majeure di tengah-tengah pandemi Covid-19 ini tidak bisa dikatakan sebagai dasar suatu keadaan memaksa / force majeure yang berlaku umum.

Force majeure dalam kaitannya dengan pandemi Covid-19 harus dilihat sebagai sesuatu yang pendekatannya kasus per kasus tergantung dari pada sifat, jenis, keadaan-keadaan dan subjek maupun objek perjanjiannya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun