Beberapa hari berlalu, rumah itu sudah bisa kami tempati dan kami memimdahkan barang-barang rumah tangga ke rumah tumpangan itu.Â
Tidak cukup sehari kami harus membersihkannya, karena halamannya memang dipenuhi tanaman rambutan, akhirnya sampah-sampahpun terus rontok jika musim kemarau dan itu melelahkan ketika harus membersihkannya.
Ada satu rumah kosong berdinding bata merah yang tidak kami bersihkan. Lingkungan menyebut itu adalah rumah peninggalan kakek, dan lama tidak dihuni setelah kakek tiada.
"Tapi anehnya, kenapa begitu banyak sampah dan kayu-kayu yang mulai lapuk dibiarkan tidak dibersihkan?" Tanyaku dalam hati.
"Mungin karena yang punya tidak punya banyak waktu, karena memang sudah tidak di sini. Lagian untuk apa dibersihkan, toh yang menempati saja tidak ada."
Setelah semua dibersihkan dan ditempati, kami pun mengundang lingkungan untuk yasinan, berharap rumah itu bisa aman dan nyaman ketika kami tinggali.Â
Di suatu malam, tiba-tiba anakku yang kedua, saat itu usianya masih 6 Tahun, tiba-tiba bertanya sambil menunjuk rumah kosong yang ada di depan rumah yang kami tinggali.
"Yah, ada om-om duduk di sana. Siapa ya?" Tanya anakku malam itu.
"Yang mana? Gak ada orang di sana." Tanya balik istriku sambil memandang ke arah gelap dari rumah kosong itu.
"Itu, lo Mah! Tangannya menunjuk lagi ke arah yang sama.
Seketika itu kami pun mengajak anak-anak masuk rumah. Dan tidak lagi memperdulikan apa yang nampak di depan kami. Kami anggap tidak ada apa-apa. Khawatir anak-anak takut dan tidak mau lagi tinggal di rumah itu.