Sebelum meneruskan tulisan ini, saya batasi dulu makna pengangguran adalah sosok yang sama sekali tidak mempunyai kegiatan yang berorientasi penghasilan. Alias hanya diam saja dan melakukan hal-hal yang sia-sia.
Apa yang menjadi bahan renungan saat ini adalah sebuah stigma bahwa saat ini banyak orang yang menganggur dengan tanda kutip tidak bekerja di sektor formal, seperti: menjadi pegawai atau karyawan swasta. Karena memang orang-orang sebelumnya menganggap bahwa pengangguran itu tidak bekerja di sektor pemerintah atau swasta dengan seragam tertentu dan mereka digaji sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sebut saja pegawai negeri atau pegawai swasta di BUMN di mana orang-orang sibuk menempuh pendidikan yang tinggi untuk kemudian melamar pekerjaan pada bidang tertentu dan mendapatkan gaji sesuai dengan yang sudah ditetapkan.Â
Sedangkan ketika sosok itu berpakaian kaos lusuh, dia membuat bata merah di sebuah tobong, apakah mereka disebut pengangguran? Atau ketika seseorang asyik membuat konten di media sosial dan mereka mendapatkan uang atas jerih payahnya apakah disebut pengangguran juga?Â
Nah, inilah titik awal stigma yang keliru sekaligus paradigma yang melenceng ketika menganggap pengangguran itu orang yang tidak bekerja di sektor formal dan tidak berpakaian ala-ala pegawai negeri atau perusahaan tertentu.
Padahal ketika sosok itu sudah berusaha dengan kemampuan dan bakat yang dimiliki, maka sosok itu bukan lagi pengangguran. Meskipun apa yang diusahakan belum membuahkan hasil, tapi paling tidak mereka tengah berusaha membangun usaha sesuai mimpinya demi masa depan yang cerah.
Dan ironinya, ketika di sekitar kita banyak orang yang memilih usaha mandiri membuka usaha produktif atau sebagai konten kreator di media sosial, sebagian orang masih menganggapnya naif dan aib. Padahal apa yang diusahakannya adalah bagaimana mencari penghasilan yang halal dan bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pertanyaannya, kenapa pengangguran masih merajalela?
Nah, pertanyaan inilah yang selama ini banyak dicari jawabannya. Entah itu profesor pendidikan atau ahli dalam bidang sumber daya manusia, membuat penelitian mengapa masih banyak pengangguran di negeri ini.Â
Mungkin jawabannya adalah karena "stigma" banyak pekerja-pekerja yang secara mandiri bekerja dari rumah tanpa diketahui para peneliti itu. Atau dengan kata lain para pekerja bawah tanah itu memang tidak pernah menunjukkan prestasinya karena takut dianggap sebagai pembohong atau penghalu lantaran tidak pernah keluar rumah tapi uangnya kok banyak. Jangan-jangan pelihara tuyul, hehe.
Boleh jadi pemikiran pembaca (eh, kita maksudnya) juga sama, ketika melihat tetangganya yang bukan pegawai tapi punya banyak uang masih dianggap pengangguran. Atau seolah-olah orang yang dianggap aktif bekerja dan punya prospek masa depan adalah milik pekerja kantoran. Sedangkan pekerja seni atau pemilik usaha kreatif tidak punya prospek masa depan.
Padangan inilah yang membuat masyarakat semakin terpuruk dan negeri tercinta kita selalu dianggap banyak pengangguran, padahal faktanya mereka yang dianggap pengangguran justru penghasilannya juga tidak kalah dengan mereka yang diagung-agungkan.
Menjadi kreatif adalah sebuah usaha agar tidak dianggap "Menganggur"
Kita atau sebagian besar dari kita pastilah punya usaha kreatif yang memiliki penghasilan, dan tidak berpangku tangan dengan mengharapkan bantuan orang lain.Â
Tentu saja fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sudah memiliki pandangan yang luas, bahwa bekerja itu bisa dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja serta dengan gaji pake uang apa saja. Ya kan? Dimana saja bisa di lintas usaha baik formal atau non formal atau informal yang mengandalkan skill kreatif di dalam rumah.Â
Bukan hanya pekerjaan yang berpakaian formal semata, tapi pekerjaan yang bisa saja yang memakai kaos, badan kotor, tapi ada uangnya. Sebut saja usaha bata atau batako, usaha gerabah dsb. Mereka berusaha bukan mengandalkan gaji dari pemerintah atau swasta, tapi murni usaha mengandalkan transaksi atas produk yang dihasilkan.Â
Atau saat ini yang lagi trend adalah menjadi reseller dari media sosial. Banyak anak muda yang awalnya tidak punya apa-apa, karena kegigihan mereka mampu menjualkan produk dan ia mendapatkan bonus atas suksesnya penjualan.Â
Saya ingat ada seorang praktisi entrepreneurship yang berpesan, bekerjalah dan cari uanglah meskipun tanpa modal. Saya kira usaha ini mulai menggeliat. Meskipun tidak benar-benar nol tanpa modal, karena dibalik usaha dalam menawarkan produk orang lain tentu mereka membutuhkan biaya untuk beli ponsel dan yang pasti kuota.
Lebih jauh lagi ketika kita mengenal pekerjaan yang bisa dilakukan dengan siapa saja, adalah kita bisa saja seorang pengangguran, tapi karena pernah menempuh pendidikan, kita pun bisa menulis. Dari sana ada banyak komunitas menulis yang bisa menjadi tempat belajar. Boleh saya sebutkan KBM atau Komunitas Bisa Menulis dan Blog bersama Kompasiana.Â
Jika ketekunan dan kemampuan mengolah kata-kata, maka tulisanmu yang bergenre fiksi maupun non fiksi bisa saja menjadi ladang cuan. Banyak kok penulis pemula yang tiba-tiba naik daun dan kini mampu membahagiakan diri sendiri dan keluarganya.Â
Atau usaha lain di bidang jasa, saya memiliki teman yang mempunyai banyak keahlian, salah satunya pandai mencukur atau pangkas rambut. Dari sana uang pun mengalir. Setiap sekali potong rambut ia mendapatkan upah sepuluh ribu rupiah untuk orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak membayar lima ribu saja.Â
Gak usah muluk-muluk jika sehari bisa mencukur minimal 10 orang, tentu seratus ribu bisa di tangan. Bukankah ini adalah usaha kreatif dan tidak perlu mendaftar dan memerlukan pendidikan tinggi?Â
Yap. Saya kira kita semua sepakat hal ini. Meskipun lagi-lagi kita perlu modal minimal modal kemauan untuk belajar dengan intensif sampai benar-benar mahir. Kalau hanya setengah-setengah ya tentu saja akan meraih kegagalan. Apapun usahanya.
Nah, kembali pada persoalan mengapa negeri kita dianggap tinggi penganggurannya, mungkin karena masih banyak orang yang tidak disebut bekerja sebelum terdaftar di kementerian tenaga kerja atau menjadi pegawai negeri atau swasta.Â
Namun naifnya saat ini justru banyak orang yang terlihat sibuk bermain gadget ternyata hanya menghabiskan uang tanpa jelas penghasilannya. Maaf seperti pemain Judi Online (JUDOL), mereka terlihat sibuk tapi saat ini tingkat kebangkrutannya amat mengkhawatirkan.Â
Jika saja berjudi itu dihalalkan dan dilegalkan mungkin pemerintah yang kaya tapi masyarakat menjadi miskin dan berantakan. Ingat sewaktu SDSB, pemerintah melegalkan dengan alasan sumbangan berhadiah, tapi masyarakat menjadi apatis dan terlalu berharap pada hasil undian yang ternyata juga minim penghasilan.
Ini syarat agar kita terbebas dari pengangguran
Pertama, Yakinkan diri bahwa bekerja itu tidak harus sebagai pegawai, tapi usaha mandiri juga adalah pekerjaan yang menghasilkan dan membawa keberkahan.
Kedua, Ubahlah mindset bahwa bekerja itu yang penting menghasilkan uang dan gak harus berpakaian bersih dan rapi atau seragam tertentu. Jika dengan terkena lumpur, atau terciprat sambal ketika meracik makanan masih menghasilkan banyak uang, itulah pekerjaan yang sesungguhnya. Abaikan kata orang jika orang itu tidak membantu sama sekali.
Ketiga, Bekerja itu memang tidak perlu modal, tapi tetap bermodal walaupun tidak seperti pengusaha dengan modal ratusan juta. Jikalau benar-benar tidak bermodal, belajar secara mandiri atau kursus dengan biaya lebih murah pun masih memberikan kesempatan kita untuk mendapatkan uang. Contoh kursus mencukur, atau ikut program Balai Latihan Kerja (BLK) dengan beragam keterampilan yang bisa menjadi modal kita bekerja secara mandiri.
Keempat, Jangan merasa malu atau sungkan jika belum menghasilkan. Ingat usaha apa pun tidak akan sekali jadi langsung menghasilkan. Perlu usaha secara terus menerus dan rajin-rajin belajar secara otodidak atau melalui kursus secara gratis di internet, semua bertebaran dan mudah kita akses dimana saja. Yang penting bukan pekerjaan yang diharamkan dan dilarang agama serta negara.
Kelima, Jadikan hobby dan kesenanganmu yang positif menjadi ladang penghasilan. Ada juga seorang tiktoker yang sukanya menulis, melukis pada daun dan lain sebagainya. Dia membuat konten menulis dan membuat karya dari daun, tapi kontennya banyak penggemar. Dari banyak penggemar itu mereka dapat endors dan menghasilkan uang.
Kiranya beberapa ketentuan itu menjadikan kita semakin optimis dan yakin bahwa kita memang bisa disebut pengangguran, tapi ketika tangan kita senantiasa terus bergerak dalam mencari penghasilan, maka itu tandanya kita terus berjuang dalam keberhasilan.
Salam
Metro, 18 Juni 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H