Di dalam dunia pendidikan, acapkali menemukan situasi dan kondisi yang di luar keinginan kita. Baik keinginan penyelenggara pendidikan, guru, siswa, wali siswa atau orang tua. Di mana dalam situasi tertentu akan ditemui sebuah konflik di dalamnya.Â
Konflik bisa terjadi antara sesama guru, guru dengan siswa, guru dengan orang tua siswa. Yang diawali dari hal yang dianggap sepele, sampai sesuatu hal yang rumit yang efeknya tentu sangat negatif.Â
Kondisi sepele tersebut misalnya anak meminjam milik temannya tapi tidak mau mengembalikan, anak yang tidak mau mengerjakan piket kelas dan lain sebagainya, yang dianggap masalah "sepele" tadi. Meskipun masalah sepele ini sebenarnya merupakan perkara rumit di kemudian hari jika tidak ditangani secara serius.
Bagaimana jika anak-anak ini bertumbuh menjadi dewasa, ketika meminjam barang dengan temannya atau tetangganya lantas enggan mengembalikan?
Tentu dampaknya bisa bermacam-macam. Anak-anak ini akan terbiasa menganggap mengambil barang yang bukan miliknya adalah "boleh", bahkan sedikit memaksa menguasai suatu benda, meskipun itu jelas-jelas bukan miliknya.Â
Belum lagi jika ada anak yang tidak mau mengerjakan piket kelas dan dianggap sepele, tentu ke depannya menjadi preseden buruk.Â
Jika nanti tumbuh dewasa, anak-anak ini akan berperilaku tak peduli. Seperti tidak mau membayar pajak, tidak mau menjaga kebersihan lingkungan, dan tidak mematuhi aturan yang berlaku.Â
Hal yang dianggap sepele ini tentu bukanlah sebuah kesepelean jika berkaitan dengan masa depan anak-anak yang nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi dewasa dan hidup bersama-sama dengan orang-orang di sekitarnya.Â
Bahkan "sekecil apa pun kebiasaan buruk yang dilakukan anak, orang tua harus segera menghentikanya dengan mengajaknya bicara tanpa merasa dinasihati. Jika dibiarkan, anak akan terbiasa menyepelekan kesalahan-kesalahan kecil." Sumber
Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam dunia pendidikan selalu ada keadaan dan kemungkinan situasi yang tidak baik-baik saja. Entah keadaan ini sengaja ditutupi, atau tengah ditangani tapi tidak juga menunjukkan perbaikan atau perubahan yang berarti.
Hal tersebut bisa disebabkan karena hal kecil tersebut dianggap sepele dan hal rumit dianggap menyeramkan dan menakutkan. Padahal sekecil apapun masalah, bisa menjadi persoalan yang lebih rumit jika didiamkan, dan perkara yang rumit jangan dianggap menakutkan jika segera diambil solusi atas masalahnya.
Begitu ada hal yang sebenarnya banyak terjadi di sekolah, yang ternyata pihak sekolah menganggap "ah ini masalah biasa terjadi pada anak-anak pasti baikan lagi." Atau mengatakan "ya namanya anak-anak kalau nakal ya biasa to!"
Nah, dari sinilah persoalan yang sebenarnya bisa menjadi preseden buruk bagi tumbuh kembang anak ternyata dianggap sebagai hal yang biasa saja atau bahwa disebut sebagai kebiasaan umum.
Tidak salah jika anak-anak memang belum cukup memiliki kemampuan untuk berpikir antara baik dan buruk, salah benar, jahat baik. Tapi peran orang dewasalah yang semestinya meluruskan pemahaman anak-anak ini. Dan jangan pernah berpikir semua itu gak masalah bagi anak-anak. Bisa fatal akibatnya.
Apa yang penulis sampaikan adalah ketika terjadi perundungan terhadap anak-anak kita di sekolah. Ada yang memukul dengan buku, mencoret-coret buku teman, bahkan ada yang merusak sampul temannya dan mungkin gurunya mengatakan "nggak apa-apa masih anak-anak." Atau orang tua mempunyai argumentasi bahwa "wajar anak-anak belum punya pikiran." Saya kira ini kurang tepat.
Padahal semestinya persoalan yang dianggap kecil ini segera ditangani atau diberikan layanan khusus bimbingan prilaku dari guru kelasnya. Bukan justru membiarkan semakin parah dan tak terkendali.
Memberikan situasi yang menyenangkan di dalam kelas yang memungkinkan semua siswa belajar dengan gembira dan merasa selalu mendapatkan perhatian guru. Menempatkan siswa sebagai sumber inspirasi bagi siswa lainnya, seperti apakah memukul teman itu baik? Bagaimana kalau dipukul balik? Sakit gak?
Berikan pertanyaan pemantik seperti "Ini siapa? Temanmu bukan? Jika ini temanmu kenapa disakiti? Bukankah temanmu harus kamu sayangi?" Atau sederet pertanyaan yang memancing pengetahuan siswa akan sesuatu hal terkait teman-temannya.
Para siswa dalam kelas akan mengutarakan pendapatnya secara terbuka tanpa rasa takut, tidak ada stempel siswa pintar dan bodoh, siswa anak pejabat atau anak petani, dan tidak ada satu pun stempel pembeda dari setiap anak. Semua anak berhak mengutarakan pendapatnya secara terbuka.Â
Bahkan siapa yang paling tepat mengutarakan pendapatnya perlu juga mendapatkan bintang atau hadiah sekedarnya dan perlu juga semua yang mampu mengutarakan pendapatnya mendapatkan apresiasi dari guru dan teman-temannya.
Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang baik akan mendapatkan reward yang baik pula.
Bagaimana jika anak mendapatkan perundungan di sekolah?
Sama kasusnya dengan apa yang dipaparkan di atas bahwa di sekolah manapun selalu bisa terjadi kekerasan atau perundungan. Kekerasan secara psikis maupun fisik.
Kekerasan psikis berbentuk verbal dengan lontaran kata-kata cengeng, tolol, jelek, banci. Dengan kekerasan verbal ini sang anak menjadi takut, trauma, merasa rendah diri dan ketakutan atau minder.Â
"Kekerasan verbal adalah bentuk penyiksaan pada seseorang melalui kata-kata. Tujuannya adalah merusak mental korbannya sehingga si korban akan merasa tidak percaya diri, mulai mempertanyakan intelejensi, hingga merasa tidak memiliki harga diri." Sumber
Atau kekerasan fisik yang melibatkan anggota tubuh atau benda lainnya. Seperti memukul, mencubit, baik dengan tangan, kaki atau dengan benda lainnya. Kekerasan ini bisa berefek lebam ringan atau berat pada tubuh.Â
Bahkan adapula kekerasan dan pelecehan seksual yang menyangkut pada bagian-bagian yang dilarang disentuh pada anak-anak atau berbentuk kata-kata yang menjurus pelecehan seksual.
Entah kekerasan fisik maupun psikis semua tidak bisa dianggap sebelah mata. Semua anak bisa saja mengalami. Baik di sekolah umum maupun di sekolah berbasis agama sekalipun.
Bagaimana kekerasan fisik di sebuah lembaga pendidikan agama hingga berujung kematian, atau kekerasan verbal hingga sang anak melakukan tindakan mengakhiri hidupnya. Atau adapula anak yang sejak awal mengalami kekerasan seksual, ketika dewasa pun melakukan hal sama terhadap teman sebayanya.
Hal tersebut seperti bola api yang awalnya dianggap kecil, tapi ketika bola api itu semakin liar, maka efeknya sungguh sangat berbahaya dan di luar nilai-nilai kemanusiaan.
Bagaimana tindakan yang dilakukan orang tua ketika anak mengalami perundungan?
Laporkan pada guru kelas/BK agar masalah ini segera diselesaikan. Sang anak bisa saja menghubungi guru kelas atau guru BK agar tindakan perundungan ini segera mendapatkan solusinya.
Masalah selesai? Jika iya, masalah dianggap selesai.
Anak kembali melaporkan perundungan yang kedua, dan kembali ke guru kelas atau guru BK, mungkin di tahap kedua ini masih bisa dimaafkan dan masalah dianggap selesai.
Eh ternyata masalah ketika muncul, sang anak mendapatkan kekerasan tambahan selain verbal, yaitu kekerasan fisik.
Masalah tambah rumit? Solusinya orang tua menemui pihak guru kelas dan BK bahwa masalah ini harus segera diselesaikan dengan memanggil pelaku perundungan, melibatkan orang tua korban, orang tua pelaku, guru kelas dan BK.
Dari sini kedua belah pihak telah dipertemukan, dan dibuat kesepakatan bahwa jika pelaku masih melakukan perundungan lagi, maka akan mendapatkan sanksi dari sekolah yang bisa merujuk pada tata tertib dan aturan sekolah.
Pada tahap yang lebih ekstrim hingga melukai, maka perlu melibatkan aparat kepolisian agar diberikan bimbingan secara hukum.
Memang benar bahwa anak-anak tidak bisa dipenjara karena belum dewasa, tapi dari sisi hukum formal, jika anak-anak adalah pelaku kejahatan, maka orang tua mendapatkan sanksi perdata.
Pasal 1367 ayat (1) dan ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ("KUHPer"):
 "Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
 Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali."
 Sumber:
Hukuman perdata ini adalah salah satu bentuk penyadaran pada siswa, bahwa tidak ada kejahatan yang bisa ditolerir dengan alasan di bawah umur. Semua harus mendapatkan konsekwensinya.
Namun hakekatnya anak-anak adalah subjek yang terus bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang seharusnya tepat.Â
Jadi di masa pertumbuhan dan perkembangan itu pembiasaan yang baik, bimbingan dan keteladanan adalah lebih berpengaruh bagi perkembangan prilaku anak daripada hukuman yang diberikan.
Jika anak melakukan kekerasan dan dibalas dengan kekerasan, maka kemungkinan besar mereka akan melakukan hal yang sama sebagai aksi balas dendam. Dan ini adalah hal yang seharusnya dihindari.
Salam
Metro, 30/9/2022
MAA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H