Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Ketika Para Tongkronger Melecehkan Warung Pinggiran, Gejala Sindrom "Pamerisme"

23 Oktober 2020   07:08 Diperbarui: 23 Oktober 2020   09:34 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari ini mata saya seperti terpancing untuk melihat layar gadget. Sebuah tontonan yang menurut kacamata awam saya sungguh jauh dari adab, nggak ada akhlak dan unfaedah. Itulah gambaran video yang benar-benar membuat tubuh saya bergidik. Betapa kekayaan begitu saja menghapus memori kesantunan di dalam diri seseorang. Apa sebab? Karena orang-orang tersebut sudah sangat keliru dalam menilai sebuah kekayaan.

Apa sih yang membuat saya tertarik untuk menuliskan di sini. Sepenting itukah para sosok yang tiba-tiba populer karena kata-kata yang jauh dari adab itu. Meskipun tulisan ini bukan sebagai aksi balasan atas ucapan seorang yang mengaku sebagai horang kayah dan katanya sih selebgram. Entahlah, apakah mereka memang pantas disebut sebagai horang kayah dan selebgram?

Mereka adalah serombongan "manusia" yang menyebut dirinya orang kaya dan orang yang merasa sudah terkenal. Dengan memamerkan tempat nongkrong mereka yang katanya di mall, serta memamerkan ponsel dengan merek asal Amerika yang katanya lebih bagus dari orang kebanyakan. Yang menurut mereka ponsel buatan selain punya mereka tidak ada bandingannya. 

Dalam batin saya kok tiba-tiba prihatin dan ingin mengelus dada. Mengapa kekayaan yang belum seberapa itu bisa membutakan mata manusia? Dan mirisnya selain mereka memamerkan kekayaan yang sak ndulit alias sak emprit atau sedikit itu, harus merendahkan pemilik ponsel lain, serta merendahkan profesi pedagang yang katanya profesi yang patut dikasihani.

Apakah benar mereka yang mengaku kaya itu benar-benar kaya? Dan apakah wajar jika orang yang mengaku selebritis instagram itu berprilaku seperti orang-orang yang tidak berpendidikan? Bagaimana menurut Anda?

Nah, jika menurut kaca mata saya yang awam, saya ingin menjawab pertanyaan pertama, apakah benar, mereka yang mengaku kaya itu benar-benar kaya? Jawaban saya tidak. Kenapa? Orang yang kaya akan merasa bahagia dan tidak perlu menunjukkan kebahagiaan kepada orang lain. Apalagi diberi bumbu dengan merendahkan kelompok lain. 

Ada peran antagonis di sini. Pada satu sisi sekelompok orang tersebut mengaku sudah kaya, tapi faktanya mereka masih mencari popularitas dari media sosial. Padahal secara gitu lho, seseorang yang sudah makmur, gak perlu lagi nyari populer dengan viewer dan endors di media sosial. Lah wong uangnya juga sudah banyak. 

Justru mereka yang mencari sensasi di medsos sebenarnya mereka adalah bagian masyarakat yang "maaf" perlu dikasihani. Yap. merekalah orang-orang yang membutuhkan dukungan dari para fans agar namanya semakin melambung. Sayangnya caranya memang kurang tepat. Membangun imej sebagai orang kaya dengan cara yang keliru. Bukannya membesarkan hati orang lain, tetapi justru merendahkan derajat kemanusiaan.

Coba saja kita tengok sebentar dengan hati yang lapang dan kepala dingin, sosok Bob Sadino, Mark Zuckerberg, Steb Jobs, Jack Maa, Sule, Raffi Ahmad, Baim Wong, Deni Cagur dan sederet tokoh publik dan artis yang baru mewakili sedikit dari orang-orang yang menurut saya sudah kaya, nyatanya mereka nggak mau memamerkan kekayaan dan merendahkan orang lain. Jika ingin memamerkan kekayaan pun itu sah-sah saja, lah wong itu hak mereka. Asalkan tidak merendahkan orang lain. Cukup untuk menjadi orang terkenal tanpa harus menginjak derajat kaum lain yang dianggap lebih rendah.

Deretan mereka pun sejatinya masih dianggap belum kaya, karena menurut Nabi Agung Muhammad SAW, orang kaya adalah orang yang merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Apapun yang dipunyai saat ini hakekatnya sudah tidak ternilai. 

Bahkan seandainya kita hidup tanpa memiliki apa-apa pun, sejatinya tetaplah manusia kaya dengan segala fasilitas yang diberikan Tuhan dengan cara gratis. Itu saja sudah cukup menilai bahwa kita semua adalah kaya. Dan bisa juga menunjukkan bahwa kita semua adalah miskin dibandingkan dengan apa yang dimiliki oleh Tuhan di alam semesta ini.

Gejala Sindrom Pamerisme dalam Kacamata orang desa

Saya tidak menampik bahwa setiap orang ingin pamer. Saya sendiri pun sering melakukan aksi pamer yang kadangkala menggelikan. Bagaimana tidak menggelikan, ketika saya pamer tidur di hotel mewah, nyatanya masih banyak yang tidur di hotel mewah berbintang enam belas misalnya. Dan anehnya lagi, hotel yang disewa semalam itu pun punya pemilik yang pastinya lebih kaya. Iya kan?

Dan lucunya lagi ketika saya memamerkan makanan mewah tersebut, saya lupa apa yang saya makan hakekatnya akan menjadi kotoran yang justru menciptakan bau yang tidak sedap. Yap, semua yang kita konsumsi akan menjadi sampah dan ada pula yang justru menjadi penyakit jika ternyata mengandung bahan-bahan yang berbahaya. 

Lagipula  ketika saya makan di restoran mahal pun kebanyakan dibiayai oleh negara yang nyatanya gratis. Sungguh semestinya saya juga malu memamerkan hal-hal yang sungguh tidak layak dipamerkan, jika semua itu hanyalah pemberian. Kita semua bisa menikmati alam semesta ini secara gratis diberikan Tuhan. Apa yang mau disombongkan?

Dari sini saja saya merasa sangat kecil dibandingkan para tokoh publik yang memiliki banyak kekayaan. Dan tokoh publik itupun sejatinya masih kecil dibandingkan pemilik kehidupan ini.

Kembali pada gejala sindrom Pamerisme, maaf sindrom Pamerisme sama dengan sindrom ingin menunjukkan apapun yang dipunyai. Meskipun orang lain peduli atau tidak.

Bayangkan saja, ketika kita di usia anak-anak ketika  memiliki celana baru, tentu kita ingin menunjukkan bahwa kita punya celana baru pada teman-teman sebayanya. Apalagi memiliki kekayaan yang bernilai Trilyunan Dolar misalnya, maka akan mudah untuk memamerkan pada orang lain. 

Ini masih saya anggap wajar. Yang tidak wajar ketika hal-hal yang sebenarnya sepele masih juga kita pamerkan pada orang lain yang kita anggap jauh derajatnya di bawah kita. Meskipun faktanya, yang pamer itu justru lebih rendah derajatnya dari orang yang dipamerin. Bahkan bisa dikatakan naif dan memuakkan.

Kalau dalam bahasa gaulnya, "lu punya ponsel, aku juga punya. Lu punya mobil, tetanggaku juga punya. Mau punya pulau dan harta segunung pun ada yang lebih kaya, yaitu Qorun, yang kunci-kuncinya sampai kita membawanyapun tidak mampu. Nyatanya di akhir hayatnya harta kekayaan Qorun tidak bersisa lagi karena tertimbun tanah." 

Dunia ini nggak kekal bro! Nggak ada secuil harta yang layak untuk kesombongan. Jangankan yang segitu banyak dimiliki manusia, dunia ini saja akan mengalami masa tua dan berakhir kematian alias kiamat. Apalagi yang mau disombongin kalau cuman ponsel yang nilainya cuman puluhan juta. Apalagi tidur di hotel yang mungkin ongkosnya tak lebih dari 5 jutaan. Ya kan??

Intinya, tidak ada yang berhak untuk sombong apalagi merendahkan kelompok lain yang dianggap lebih rendah dari mereka. Karena gejala itu sama halnya merendahkan diri sendiri di hadapan orang lain.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun