Adakalanya cenderung protektif dan seolah-olah hanya sosok yang dianggap kompeten inilah yang harus mengetahui segala-galanya.Â
Ironisnya jika ingin berbagi, banyak pula yang harus berbiaya mahal. Masih beruntung membagi meskipun tidak gratis. Sayangnya sudah tidak gratis, ilmunya pun hanya setengahnya.
Tidak salah memang yang beranggapan bahwa ilmu itu mahal. Toh, memang mencari ilmu juga waktunya lama dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Tapi memiliki prinsip segalanya harus memakai uang juga saya kira kurang patut. Gak haram, tapi menurut kaca mata etika sangat kebangetan.
Dengan kata lain, untuk apa memiliki banyak pengetahuan, jika hanya milik sendiri dan dikonsumsi sendiri. Padahal ilmu pun adalah amanah yang harus ditebarkan ke khalayak. Itu menurut kacamata agama.
Kenapa pula hasil penelitian tidak berdaya guna?
Suatu ketika saya dapati sosok yang memiliki segudang pengalaman penelitian dan lomba guru berprestasi, sayangnya ketika ditanya hasil penelitian dan bagaimana mengaplikasikannya justru jawabannya negatif. Seolah-olah pengalaman itu mahal dan gak semudah itu kita membaginya. Padahal sebuah hasil penelitian sepatutnya bermanfaat pula.Â
Kita memang lelah meneliti, namun kalau semua dinilai dengan materi, apa bedanya anda dengan berdagang ilmu. Semakin bagus penelitian, semakin layak dinilai mahal. Semakin bisa dipatenkan, semakin sedikit yang bisa menikmatinya.
Semua diasosiasikan ke prinsip dagang. Kalau mau dapat ilmu, maka kamu harus membayar mahal. Kalau ingin pendidikan bermutu, bayarannya juga harus gede. Bahkan hanya orang-orang tertentu saja yang bisa menikmatinya.
Ada juga yang berprinsip, kalau mau mendapatkan ilmu, maharnya juga besar. Sampai-sampai orang lain sulit memetik buah ilmunya itu.Â
Karya yang lelah dibuat hanya tersimpan di otak pemiliknya, bertumpuk-tumpuk di gudang dan dinilai sebagai aset berharga yang bisa membuat kaya.Â
Uang lagi yang menjadi visi dan misi kehidupannya. Sebuah ironi bukan?