"Ada apa Rud?" Tanyaku cepat.
"Lah, kan aku biasa ke sini kok tanya?" Tanya Rudi balik.
"Gak usahlah basa-basi, dan lebih baik kita gak usah saling kenal!" Cecarku padanya. Rudi tak menjawab. Ia diam seribu bahasa.
"Kamu tahu, kenapa aku marah?" Tanyaku ketus.
"Iya, aku minta maaf. Aku juga tidak tahu kalau kamu juga mencintai Rani. Nyatanya kamu juga gak pernah bilang cinta padanya, kan?"Sergah Rudi.
"Tahu nggak kamu, bahwa kita pernah berkomitmen tidak akan saling mengganggu satu sama lain. Tidak mencintai orang yang sama, tapi kenapa sekarang kau menelikungku? Aku memang tak pernah bilang kalau aku mencintai Rani, tapi kamu kan tahu, aku sangat dekat dengannya. Sedangkan kamu?" Kata-kataku meluncur bak kereta api. Meluncur bebas seperti membuang amarah.
"Ia, kita sama-sama tidak saling terbuka. Dan aku minta maaf padamu." Rudi berusaha meredakan suasana malam itu.
"Sudahlah Rud. Mulai saat ini kita pisah saja, gak usah ada pertemanan antara kita. Kalau kamu ingin memiliki Rani, aku rela memberikan padamu. Gak apa-apa aku ikhlas. Tapi tolong, mulai detik ini pergilah sejauh mungkin. Gak usah kembali lagi dan anggap aku nggak pernah ada!"
Rudi tanpa kata melangkah cepat meninggalkanku dalam amarah.Â
Setelah semua berlalu, akupun memungut foto kami bertiga dan aku bakar.Â
Semua sudah terjadi. Amarahku tak terelak lagi. Seperti api yang membakar foto itu untuk selamanya seperti sikapku pada Rudi yang tak ingin lagi bertemu untuk selamanya.