Bayangkan jika memiliki produk makanan yang ingin kita share di media sosial, maka paling melihat produk itu hanya sebatas teman yang boleh jadi hanya puluhan orang karena berita tertutup berita-berita atau update paling baru.
Sedangkan jika ingin mendapatkan audien yang lebih banyak, tentu facebook misalnya mematok pembayaran iklan minimal Rp 100.000 dalam sepekan. Sedangkan kalau gratis solusinya diboomingkan dulu agar banyak orang tertarik membaca dan mengomentarinya. Meskipun efeknya ada pro dan kontra antara manfaat dan tidaknya info tersebut.
Meskipun karena info yang negatif tersebut bisa menimbulkan reaksi massa yang boleh jadi permusuhan. Namun dalam dunia periklanan, apapun reaksi massa, semua menjadi keuntungan yang melimpah bagi penjaja produk tanpa berbayar.
Hikmah lainnya adalah memperkenalkan kembali makanan tradisional yang boleh jadi anak-anak cucu kita akan melupakannya lantaran tergilas makanan import yang dianggap lebih lezat.
Padahal, klepon sebagai korban perundungan, hakekatnya adalah makanan sehat dan bergizi yang tentunya amat baik untuk mengisi perut yang kosong. Gak perlu takut apakah mengandung babi misalnya bagi umat Islam, atau takut mengandung pengawet, lantaran makanan ini pagi hari dibuat dan siangnya tak bersisa. Tidak atau belum ada klepon yang diawetkan berhari-hari.
Intinya, semua hal pasti ada hikmahnya. Maka benar kata teman saya melihat fenomena klepon ini adalah nikmati saja kleponnya dengan meminum kopi atau teh pasti akan terasa maknyuus di lidah dan perut kita.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H