Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku dan 5 Pemuda Timun Suri, Korban Trafficking

16 Juli 2020   07:21 Diperbarui: 16 Juli 2020   07:29 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkenalkan namaku Mbah Gambrong (bukan nama sebenarnya). Orang-orang di sekitarku biasa memanggil namaku dengan Mbah Gambrong atau Mbah saja.

Aku bersama ke 5 teman-temanku yang gagah-gagah bak timun suri, berasal dari kampung yang indah permai, damai sedamai taman surga, indah seindah nirwana.

Di sana ada sungai nan kecil namun jernih. Ada perladangan dengan tanaman ubi dan jagung yang menghampar di sepanjang perladangan. Di sana ada juga persawahan irigasi dan tadah hujan yang selalu saja menghasilkan padi-padi nan bernas.

Desa di mana kami belajar nilai kejujuran, kepolosan dan kearifan lokal. Bahwa etika harus selalu kami jaga. Dan suara-suara azan dan bunyi kitab suci begitu ramah kami dengarkan. Hingga keyakinan itu tumbuh, bahwa semua orang yang kami kenal adalah baik. Tak ada prasangka bahwa siapapun hendak berbohong atau menipu.

Ternyata, kearifan lokal itu harus pupus, tatkala aku dan kelima teman-temanku mendapatkan rayuan gombal dari tetanggaku. Sosok yang agamis dan berwibawa. Dan keyakinan akan kesuksesan yang dihembuskan oleh salah satu pengusaha di desaku. Siapa yang tidak tertarik dengan kata-katanya bahwa "kapan lagi kamu mau bekerja dan menghasilkan uang jutaan rupiah kalau bukan sekarang? Apa menanti tubuh menua?"

Kata-kata itu seakan-akan menyihir siapa saja yang masih menganggur. Setiap hari membayangkan menjadi jutawan dengan barisan wanita-wanita cantik nan sholehah yang siap dipinang. Dan orang tua mana yang tidak terpana dan berharap terlalu tinggi, jika buah hatinya menjadi orang kaya. Meskipun hanyalah rayuan belaka dengan tipuan setengah gila.

Awalnya kami tidak menaruh curiga lantaran penampilan orang yang menjadi sales marketing ketenaga kerjaan itu merayu para tokoh tersebut. Hingga setiap orang merasa berada di alam bawah sadar. Hingga sosok yang berseragam ala-ala pelaut itu menyebarkan aksi tipu-tipunya. 

Katanya: "siapa yang mau bekerja dengan gaji 4 jutaan?" Kala itu jangankan bermimpi uang jutaan jatuh ke kantung kami saja gak masuk akal, apalagi dijanjikan setiap bulan mendapatkan gaji yang lebih besar dengan bonus selama berlayar?

Yang lebih membius lagi, nanti kami akan ditempatkan di kapal pesiar yang akan membawa para orang kaya dengan dompet tebal. Para turis dengan bahasa Inggrisnya yang runtut itu. Yang ternyata apa yang diceritakan hanyalah bualan semata.

Kami yang polos ini tak menyangka dengan rayuan bertubi-tubi membuat kami terpana, hingga membayangkan betapa enaknya menjadi pekerja di kapal pesiar dengan gaji yang gede kala itu. Meskipun kami harus merogoh kocek 4,5 juta sebagai tanda masuk ke kapal pesiar itu.

Kami kelabakan, orang tua apalagi, harus mencari pinjaman ke sana-sini demi mendapatkan tiket masuk di kapal yang menggoda itu. Beruntungnya saudara juga percaya dengan janji bahwa uang secepatnya dikembalikan jika kami sudah bekerja.

Tak sadar masuk perangkap penipu dengan alasan training.

Dengan penampilan yang gagah, kami berjalan bak pejuang keluarga. Membawa tas besar penuh pakaian, sajadah, peci dan pakaian dalam. Menaiki mobil carteran. 

Dalam batin kami selalu membayangkan enaknya bekerja dengan pakaian yang bersih, dandanan yang rapih dan bahasa Inggris yang fasih. Si agen juga memberikan wejangan-wejangan bagaimana kami bekerja agar bisa diterima di tempat kerja. Sayangnya kami terlalu bodoh mempercayai orang yang baru dikenal.

Sesampainya di Jakarta, kami seperti dihipnotis ketika kami mendapatkan informasi bahwa training langsung ke Bali. Dalam batinku hebat banget bisa jalan-jalan sampai Bali. Seumur-umur baru kali ini kesampaian. Hingga kami lupa bahwa perjanjian awalnya kami akan dibawa ke kantor pusat di Jakarta dan ada pendaftaran resmi.

Dengan bus yang bagus kami kembali di bawa mengarungi gemerlapnya jalanan ibukota, hingga di hari berikutnya sampailah kami di kota dewata. Kota yang terkenal dengan tempat wisata dan para turis mancanegara. Ada sedikit pikiran kotor yang lahir begitu saja bagaimana indahnya pantai dengan para turis yang sedang berenang. Sampai saya bisa bercakap-cakap dengan para turis memakai bahasa Inggris.

Hilang sudah cita-cita kami tatkala kami dibawa ke salah satu rumah di daerah Tabanan kalau gak keliru. Di sebuah rumah kecil yang ternyata kami diserahkan begitu saja oleh agen tenaga kerja itu dan dia pun berlalu entah ke mana. 

Di rumah itu pak Soleh (bukan nama sebenarnya) langsung menerima kami dengan baik. Kami masih belum curiga kalau saat itu sudah masuk dalam jebakan kedua. Siap-siap menerima job sebagai ABK sebagai penangkap ikan tuna.

Pak Soleh adalah orang Bali yang kebetulan mengaku Muslim, meskipun tak nampak menjalankan shalat. Berbeda dengan anak gadisnya yang berparas biasa saja dengan kulit gelap, yang begitu rajin beribadah.

Tiba-tiba kami tersadar ketika dalam percakapan kami keluar kata-kata bahwa kami akan ditraining di sebuah kapal penangkap ikan. Bagai petir meledak di siang bolong.

Dari sini muncullah kecurigaan bahwa kami telah ditipu. Dengan wajah penyesalan dan amarah tiba-tiba lahir dendam pada sosok penipu dari desa kami.

Rasa lelah, lemah, lesu dan putus asa telah membalikkan keadaan yang semula bersemangat ingin menjadi jutawan tiba-tiba harus pasrah dengan keadaan, karena kami harus ikut training di kapal ikan tersebut. Seperti jatuh tertimpa tangga lagi.

Dalam fikiran kami, muncul pula dendam dan keinginan untuk menghabisi sang penipu. Namun aku katakan "Kita sudah tertipu dan kehilangan uang, kenapa kita harus masuk ke dalam kejahatan? Menghabisi nyawa orang hukumannya penjara. Apa mau pulang-pulang masuk penjara?" Kataku.

Beruntungnya semua teman yang kecewa itu menjawab "tidak". Terkubur sudah dendam itu dan berusaha menerima kenyataan pahit sebagai anak buah kapal.

Bersambung....

Tulisan pertama kali di publish di KBM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun