Â
Suatu ketika, tetangga menyambangi rumah, ia meminta tolong saya untuk membantu memperbaiki rumahnya yang mulai rusak. Sebagian kayu-kayu atap sudah lapuk. Tanpa beribu tanya, saya pun mengiyakan.
Di pagi harinya, saya mendapati puluhan orang sudah berada di rumah tetangga yang kebetulan di samping rumah. Orang-orang yang biasanya sibuk bekerja di sawah atau pekerja bangunan, ternyata mereka mau meluangkan waktu untuk sama-sama membantu tetangganya memperbaiki rumah yang mulai menua itu.
Dalam benak saya, saya kira gotong royong sudah tidak ada lagi, karena setiap orang sudah merasa mampu untuk melakukan sendiri. Ternyata anggapanku keliru, karena seperti apa yang saya lihat, di antara mereka masih mau meluangkan waktu membantu tetangganya yang tengah butuh bantuan.
Selama ini, dalam kaca mata saya, setiap orang menilai kehidupan ini semata-mata karena uang. Yap. Uang di abad ini adalah segala-galanya.Â
Apapun saat ini sepertinya dinilai dengan uang, tidak ada yang namanya free alias gratis. Tidak hanya pada pekerjaan besar yang mesti mengeluarkan fulus yang besar pula, karena pekerjaan kecil pun sudah dikomersialkan.Â
Lihat saja, ketika Anda ingin ke toilet, Anda harus membayar minimal seribu rupiah. Padahal sebelum-sebelumnya kalau sekedar pipis saja bisa gratis, apalagi di dalam fasilitas umum. Â
Â
Saat ini, banyak hal sudah dianggap menguntungkan. Jadi seolah-olah setiap orang akan berfikir bahwa tidak ada makan siang gratis. Padahal jiwa bangsa ini adalah jiwa penuh toleransi, tenggang rasa (tepo seliro) dan saling bantu-membantu atau gotong royong.