Apa yang anda bayangkan jika anda adalah seorang ternama, publik figur, tokoh masyarakat dan seorang guru besar atau seorang ulama karena kedalamannya ilmu tiba-tiba dibully oleh masyarakat? Apakah anda merasa senang atau justru sedih? Atau anda berusaha membela diri dan berusaha menaklukkan seluruh kata-kata kritikan yang keluar dari orang lain dengan bahasa membela diri? Jawabannya tentu beragam respon.Â
Ada yang menerima dengan pasrah dan mendengarkan setiap kritikan dengan lapang dada dan disertai rasa penerimaan bahwa boleh jadi kata-kata atau kalimat kritikan memang bermaksud memperbaiki kekurangannya. Namun tidak sedikit yang dengan angkuhnya mengatakan; "Anda tahu apa? Saya orang yang mengerti hukum loh, saya orang yang tinggi ilmunya, jadi apa yang saya pahami adalah sebuah kebenaran."
Dua cara berpikir yang berbeda ini tentu berdasarkan argumen individualistis dan berdasarkan asas kemerdekaan berpikir. Boleh jadi pendapat pertama karena sosok tersebut mengakui bahwa memang apa yang dilakukannya sebuah kesalahan, jadi karena merasa legowo, semua bentuk kritikan entah itu pedas ataupun manis, semua diterima dengan lapang dada.Â
Orang-orang ini begitu beraninya membuang sika ego demi mendapatkan respon yang lebih baik dari orang-orang yang berada di lingkungannya secara luas. Meskipun belum tentu apa yang dikritikkan berupakan kebenaran. Namun karena semua menyangkut eksistensi ketokohan dan kehormatan bagi seorang yang berjuluk ulama, maka sikap mengalah adalah lebih utama.
Berbeda 180 derajat dengan sosok yang kedua, karena merasa dirinya sudah benar, keputusan yang diambil sudah sangat tepat menurutnya, maka sampai kapanpun keputusan itu harus diperjuangkan, meskipun apa yang menjadi keputusannya boleh jadi sebuah kesalahan. Meskipun orang-orang yang mengkritik memiliki dasar hukum atau landasan berpikir yang kuat dan benar.
Orang kedua selalu memberikan alasan bahwa apa yang dilakukannya selalu benar dan apa yang dipandang oleh orang lain adalah kesalahan. Maka bagaimanapun juga, apapun kritik yang disampaikan hanya dianggap angin lalu dan seperti sampah yang keluar dari tong-tong yang dikerubuti lalat.
Kedua orang di atas memiliki cara pandang yang berbeda akan sesuatu. Dan tentu saja siap mendapatkan risiko yang terberat atas keputusan yang diambil. Mereka akan selalu memiliki dasar yang dianggap kuat untuk mendukung pendapatnya. Dan itu adalah hak semua orang, tidak boleh memaksa untuk menerima pendapat orang yang berbeda.
Namun yang perlu digarisbawahi bahwa setiap keputusan akan mendapatkan konsekuensinya yang bisa logis maupun tidak logis. Ketika dirinya mengakui kesalahannya misalnya, maka setiap orang yang mengkritik akan terpuaskan dan masyarakat menilai bahwa sosok tersebut lebih terbuka karena setiap orang tidak ada yang benar-benar tepat keputusannya diluar batas-batas kemanusiaan.  Namun sebaliknya ketika ada sosok yang begitu amat dikagumi ternyata memiliki sikap yang alot dan terkesan "keras kepala", padahal keputusan itu boleh jadi salah  maka bersiaplah dicap sebagai sosok yang keras kepala pula. Tidak menutup kemungkinan seorang petinggi negeri atau tokoh ternama mendapatkan stempel ini.
Saya adalah salah satu dari deretan masyarakat awam yang sangat mengagumi sosok Profesor Dr. Mahfud MD. Karena sifat kerendahan hati dan kesederhanaannya dalam menjalani kehidupan tersebut membuat saya semakin simpati dan menaruh bangga. Betapa sosok yang berpendidikan tinggi dan pernah menduduki jabatan penting dalam ranah kehakiman ini ternyata memiliki sikap yang sunggu bijaksana. Maka saya tidak heran selama menduduki jabatan penting tersebut nama beliau jauh dari panggilan buruk. Jauh dari prasangka korupsi yang biasa disandang oleh para pejabat yang menduduki kursi basah tersebut.
Namun, sayang sekali, akhir-akhir ini nama baik sang profesor seperti jatuh di titik terendah. Karena sikapnya yang terlihat membela diri dengan dasar-dasar berpikir yang bersifat individualis mengakibatkan tokoh ini seolah-olah berada dalam kesalahan yang terdalam. Bagaimana sikap beliau yang begitu keukeunya membela kebijakan pemberian gaji yang tinggi terhadap tokoh-tokoh yang masuk dalam institusi penjaga pancasila tersebut. BPIP sebagai wadah untuk melindungi degradasi ideologi Pancasila di tengah bangsa ini. Lembaga yang diharapkan Presiden mampu memperbaiki marwah pancasila menjadi satu-satunya ideologi bernegara Indonesia.
Beliau dan tokoh-tokoh lain yang termasuk dalam institusi BPIP sepertinya ingin menunjukkan bahwa "kami ini berjasa dan jasa kami harus dihargai mahal". Meskipun pemberian honor, gaji atau tunjangan tersebut memang terlampau mahal. Dengan sederet alasan yang menguatkan beliau dan tokoh-tokoh lain memiliki argumen, apa yang diberikan nanti sudah sesuai dengan beban kerja dalam mendidik rakyat akan Pancasila tersebut. Padahal yang sebenarnya menjadi ujung tombak diamalkannya Pancasila bukannya para tokoh tersebut, melainkan para guru yang mengajarkan anak didiknya akan nilai-nilai Pancasila. Para guru yang boleh jadi hanya honorer yang digaji ratusan ribu ternyata lebih berkepentingan dan berkewajiban mengemban amanah untuk mendidik rakyat yang berpancasila. Bahkan para orang tua yang pancasilaislah yang sebenarnya berhak mendapatkan pernghargaan sebagai tokoh penjaga Pancasila.
Dan sudah bukan rahasia umum lagi, bahwa pemberian gaji atau tunjangan jika melebihi dari beban kerjanya tentu menelurkan polemik dan kontroversi di tengah masyarakat.
Saya dan boleh jadi publik tidak mempermasalahkan hak gaji atau tunjangan yang besar itu, karena itu kewenangan presiden, namun ketika dikembalikan kepada kondisi para guru yang sejatinya lebih sulit dalam membina ideologi Pancasila terhadap anak didiknya tentu menjadi pertanyaan serius. Apakah para tokoh ini tega menikmati honor yang begitu tinggi ketika dibandingkan dengan para honorer dan pegawai negeri yang mendapatkan penghasilan yang minim tersebut?
Ketika ujung tombak Pancasila ada di tangan para guru
Bolehlah beranggapan bahwa honor tersebut sesuai dengan pengabdiannya yang begitu berat dalam menjaga ideologi Pancasila, namun seberapa berat sih dibandingkan dengan para guru-guru di seluruh nusantara yang boleh jadi tingkat kenakalan anak-anak yang luar biasa sulitnya diatasi dan boleh jadi mereka mengabdi di daerah pedalaman dan perbatasan yang begitu susahnya membangun pondasi kepercayaan terhadap ideologi Pancasila ditengah terpaan arus disitengrasi bangsa? Ditambah lagi apakah tidak membandingkan betapa sulitnya para guru ngaji yang hanya dihonor kecil harus berjuang meyakinkan jamaah bahhwa ideologi Pancasila adalah ideologi terbaik bagi bangsa ini?
Sekali lagi, pertanyaan-pertanyaan ini terus saja bergelayut dan mengalir seperti aliran sungai yang begitu jernih betapa kejernihan hati amat dibutuhkan di sini. Bahkan bapak Prof. Salim Said begitu tegasnya menyatakan bahwa pembelaan diri seorang profesor tersebut sudah menyakiti rakyat di mana saat ini rakyat tengah mengalami kesulitan hidup.
Dan tentu saja dalam persoalan ini seorang profesor bisa saja mengalami pergolakan dan pergulatan berpikir dan batin antara menerima atau tidak, seorang profesor tentu menemukan titik tumpul dalam memahami kondisi bangsa dan negara. Bagaimana rakyat yang saat ini berjuang dalam kehidupan yang serba sulit, dengan perjuangannya membela keputusan pemimpin tertinggi atas nilai rupiah yang dibilang "fantastis" tersebut, meskipun penuh dengan pergolakan emosi di tingkat bawah. Rakyat yang berjuang menjaga amanah konstitusi dan menjaga keharuman ideologi Pancasila di tengah-tengah beban hidup yang semakin sulit.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H