Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jangan Bersilaturrahim Ketika Butuh, tapi...

22 April 2018   07:09 Diperbarui: 22 April 2018   08:58 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
newsannaba.blogspot.com

Jika semua orang di negeri ini, atau di negeri manapun, ketika mau bersilaturrahim saya kira tidak ada lagi sekat-sekat perbedaan dan rontoknya kesombongan serta keangkuhan dari suatu kaum. Dan pasti kenyamanan yang akan terjadi.

Tak perlulah menganggap bahwa silaturrahim itu kuno, lantaran menganggap sebagai budaya yang hanya milik orang tua dulu, karena silaturrahim itu melewati batas yang tidak bisa ditembus oleh materi sekalipun.

Bersilaturrahim, bukan karena kepentingan

Dan tidak bisa lekang oleh kita bahwa banyak pula yang menjalin silaturrahim karena kepentingan semata, mereka berduyun-duyun dengan penampilan ndeso ketika ingin dipilih sebagai wakil rakyat, atau mereka sengaja berkunjung ke gubuk reot agar terlihat seolah-olah peduli pada kaum miskin papa. Dan ada pula yang tiba-tiba mendadak "ustadz / ulama"karena gambarnya ingin dicoblos ketika hajat demokrasi. 

Kehadiran seseorang kepada pihak lain hanya demi kepentingan sesaat dan sebagai wujud mencari dukungan politik. Memang tidak keliru sih, tapi alangkah naifnya jika nikmat silaturrahim justru dimaknai dengan cara keliru.

Jika orang-orang yang dahulu mencalonkan diri banyak silaturrahim dengan masyarakat bawah, dan ketika sudah sukses mereka tidak lupa diri, tentu tidak akan muncul skat-skat kepentingan yang justru merusak makna silaturrahim itu. Jika niat awal hanya untuk kendaraan politik maka hanya politiklah yang akan mewarnai. Karena semua tergantung pada niatnya.

Dan lebih mirisnya, ketika mencalonkan diri menjadi wakil rakyat misalnya, eh ketika sudah duduk di kursi empuk justru menyengsarakan rakyat. Bukannya berkumpul lagi dengan kaum miskin, bercengkrama, bertukar pikiran dan yang paling penting menghindarkan su'uzhon (buruk sangka). Jangan sampai yang muncul adalah kata-kata "kalau lagi butuh mau datang, giliran sudah sukses dia lupa".

Paling tidak, tiga aspek yang melingkupi silaturrahim jangan dihilangkan apalagi dilupakan. Seseorang yang mau bersilaturrahim baik itu kalangan pejabat maupun rakyat kecil semestinya selalu terjalin, agar menambah rezeki, saling mendoakan untuk kebaikan dan efeknya tentu memperpanjaang umur, baik umur kehidupan juga umur jabatan karena tidak ada prasangka di antara kita. Seperti makna yang tersurat dari silaturrahmi adalah menyambung dan saling menghubungkan kasih sayang. 

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun