Suatu hari saya sengaja mengunjungi seorang broker ayam potong (broiler) di seputaran Kota Metro. Di sana kebetulan ingin melihat-lihat usaha penjualan ayam pedaging tersebut sekaligus membeli dagingnya untuk dibawa pula. Bukan untuk dijual kembali tapi sengaja untuk konsumsi sendiri.
Penjual ini mengerjakan sendiri di rumah, Â khususnya jika kebetulan belum ada borongan, Â kalau sudah ada pemesanan dalam porsi besar tentu sang suami membantu. Kebetulan lagi sewaktu saya dan anak-anak membeli, Â sang suami tengah bekerja di pekerjaan konstruksi.Â
Dengan dibantu dengan mesin pencabut bulu, penjual ini mampu menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dibandingkan dengan pekerja manual. Saya memesan yang beratnya dua kiloan supaya lebih lama diolahnya.Â
Suatu ketika saya menanyakan berapa harga daging ayam potong perkilo sekaligus pemotongannya? Penjual menjawab biasa mas, harganya masih 22 ribu dengan upah memotongnya 3 ribu rupiah.Â
Setelah semua selesai akhirnya saya menyerahkan uangnya sebanyak 50 ribu rupiah untuk 2 kg tadi.Â
Barang sudah dipotong dan dibersihkan sesuai permintaan dan sampai di rumah sudah siap diolah menjadi makanan yang lezat.
Di antara ngobrol-ngobrol, saya pun sedikit kepo, menanyakan apakah bisnis ayam potong ini menguntungkan? Beliau menjawab: "Untung banget mas. Tiga hari bisa habis satu kwintal (kisaran 80 - 100 kg).Â
Bahkan kalau lagi musim sekarang (kebetulan saat ini masih banyak masyarakat yang mengadakan hajatan) maka perhari minimal 1 kwintal. Ambil saya perhitungan biaya harian yang tidak mengandalkan hajatan karena sifatnya musiman.
Keuntungan sebenarnya masih fleksibel, tergantung ketersediaan ayam di pasaran, kalau lagi seret atau stok kurang maka harganya bisa melambung.
Berbisnis ayam broiler sangat menguntungkan
Seperti halnya berbisnis lain, berbisnis ayam broiler termasuk ladang usaha yang menguntungkan. Karena di satu sisi harganya selalu standar, juga disesuaikan dengan kondisi permintaan. Persis yang dialami penjual ayam broiler yang saya kunjungi.Â
Tidak perlu kelur rumah, tinggal menunggu pembeli datang atau dipesan lewat ponsel asal sudah kenal dan harganya sesuai kesepakatan maka deal pun terjadi.
Menariknya, asas demand yang biasanya terjadi dalam bisnis, ternyata untuk jual beli ayam pedaging ini juga berlaku. Kalau lagi musim permintaannya tinggi, maka daging ayam pun bisa meroket.Â
Meskipun pemerintah melalui kementerian perdagangan mematok harga sebesar 17.500 s.d 19.000 perkilogram (kompas.com, 19/1/2018). Pemerintah memberikan batasan harga, tapi di tingkat broker dan pengecer juga bisa naik. Karena pengalaman saya dan istri kalau membeli daging di pemotong dengan di pasar bisa selisih 2.000 - 3.000 rupiah.
Penjualan ayam pun cukup bervariasi, ada yang ayam utuh dan adapula yang dijual sudah dipotong sesuai dengan pesanan masyarakat umum atau pengelola usaha fried chicken (ayam goreng) Â yang juga banyak tersebar hingga di sudut kampung.
Bisnis ayam memang menguntungkan namun memiliki risiko yang tinggi. Di antaranya ketika stok ayam yang seharusnya bisa dipanen 30-35 hari dengan bobot hidup 1,5 - 2 kg (infomedion.co.id) - meskipun ada yang berpendapat ketentuan panen berbeda namun standar rata-rata umur relatif sama. Sehingg mau tidak mau penjualan tidak melebihi umur dan bobot yang ditentukan.Â
Penentuan umur dan bobot tersebut disebabkan disesuikan dengan kebutuhan pasar dan penghitungan modal yang dikeluarkan. Misalnya jika ayam itu ketika dijual sesuai dengan bobot dan umur yang sesuai maka keuntungan bisa stabil. Tapi jika ternyata berat dan umur lebih panjang maka penjual mesti mempertimbangkan risiko pakan dan kemungkinan penyakit lainnya.
Yang pasti bisnis ayam potong (broiler) sampai sekarang masih menjadi primadona dibandingkan dengan daging kambing atau sapi yang harganya relatif lebih mahal di pasaran.
SalamÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H