Suatu ketika, terjadilah percakapan antara pasangan  yang baru saja menikah. Pembicaraannya kurang lebih "Bang, kita sudah menikah, kapan Abang membelikan aku mobil?"Yang lain menjawab, "Mobil apaan, nyari pekerjaan aja susah!" Ada juga yang menjawab "Sabar ya... mobil kan mahal jadi gak bisa cepat kebeli."
Masih beruntung jika buntutnya hanya percekcokan kecil, karena akan menjadi berabe jika muncul kata-kata "berpisah" tentu gak keren kan?
Percakapan di atas hakekatnya banyak dialami pasangan pernikahan. Tidak memandang latar belakang mereka. Entah golongan pejabat atau golongan melarat, berpendidikan tinggi atau yang lulusan sekolah dasar sekalipun, Jika berkaitan dengan persoalan "harta" sungguh tidak bisa dielakkan. Meskipun adapula yang tidak pernah mengalami debat sambel, namun ketika berbicara tentang sebuah keinginan yang tinggi tentu sebuah persoalan. Percakapan yang seringkali berbuntut emosi dan percekcokan, muaranya pada sikap menuntut pasangan.
Pertanyaannya: "Bolehkah salah satu pasangan saling menuntut?" Ya nggak lah, kan bukan Jaksa!... hehe. Memangnya pasangan kita adalah seorang jaksa yang menuntut terdakwa agar dihukum dengan hukuman yang berat? Nggak kan? Dan bukankah pernikahan itu diniatkan berdua dan bukan terpaksa? Kalau sudah diniatkan berdua dan dilakukan atas dasar suka sama suka alias cinta, mengapa salah satu pihak harus menuntut pihak yang lain, meskipun dalam agama memiliki derajat sama (equal).Â
Bukanlah sesuatu yang patut untuk saling menuntut, akan tetapi bersama-sama memenuhi impian adalah lebih utama.
Pernikahan itu ikatan suci, butuh mengerti dan kesadaran tinggi
Setiap pasangan tentu menginginkan kehidupannya sempurna, tak ada cacat sedikitpun dalam mengayuh bahtera yang indah itu. Di mana perjalanannya penuh aral rintang, onak duri, batuan terjal, masalah, tikungan, dan sederet persoalan yang akan selalu muncul seiring sejalan  dengan perjalanan kehidupan manusia yang kadang tidak bisa ditebak. Karena begitu banyaknya persoalan maka bukan wilayahnya untuk saling menuntut atas kekurangan yang di derita dalam bahtera rumah tangga itu.
Jika diibaratkan ketika sebuah kapal itu oleng, maka tidak lantas antara nahkoda, awak kapal dan penumpang saling menyalahkan. Akan tetapi bagaimana mencari keseimbangan supaya perjalanannya menjadi tenang kembali. Sang nahkoda akan menentukan betapa petunjuknya amat dibutuhkan agar semua penghuni perahu menjadi tenang.Â
Begitu pula awak kapal juga berperan dalam turut mengendalikan situasi, misalnya memberikan dukungan kepada segenap penumpang agar tidak panik sekaligus mempersiapkan kendaaraan untuk menyelamatkan penumpangnya jika kondisinya tidak memungkinkan.Â
Bukan justru setiap orang saling menyalahkan dan mencari keselamatan diri ketika bantuannya amat dibutuhkan.Â
Dalam kondisi yang labil tidak elok rasanya jika merasa paling benar dan menyalahkan satu di antaranya, Â toh perjalan bahtera itu sudah direncanakan dengan matang dengan seperangkat perlengkapan yang menjamin keamanan perjalanan tadi. Jika bencana datang, tentu langkah terbaik adalah bersatu padu mencari solusi bukan justru saling menyalahkan apalagi melarikan diri.
Bagaimana jadinya jika perahu oleng, tiba-tiba nahkoda meninggalkan kegaduhan itu? Belum lagi asisten nahkoda dan kru tiba-tiba gaduh dan berebut peran mengendalikan kapal atau justru menyelamatkan diri tanpa memikirkan penumpang yang tengah panik. Sungguh semua sulit untuk diterima oleh nalar siapapun dan tentu para penumpang akan menjadi korbannya. Ya kan?
Dalam situasi sulit, yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk menyelesaikan masalah secara kolektif dan dengan keyakinan bahwa semua badai akan berlalu. Saya selalu ingat dengan tulisan RA Kartini "habis gelap terbitlah terang". Setiap keluarga akan mengalami masa-masa sulit, dan di saat sulit itulah keteguhan dari ikatan batin kedua pasangan itu tengah diuji.Â
Jika sang nahkoda, wakilnya serta para penumpang bahtera itu mampu melewati semua badai dengan keteguhan dan kekuatan bersama, insyaAllah semua masalah bisa diatasi. Tidak ada masalah yang Tuhan tidak memberikan solusinya.
Tidak ada waktu lagi untuk saling menuntut pasangan, tapi keelokan hati untuk bisa menjadi "pahlawan" ketika kondisi sangat mengkhawatirkan. Karena tidak ada nahkoda yang sempurna tanpa dukungan segenap penumpang bahtera.Â
Ketika salah satu pihak tidak mampu memenuhi perannya, pihak lain "wajib" mengendalikan situasi
Seperti halnya bahtera, ketika rumah tangga mengalami kondisi ketika salah satu pengendali bahtera sudah tidak mampu menunaikan tugasnya, maka asisten nahkoda berhak dan wajib menggantikan perannya. Misalnya ketika sang nahkoda lumpuh seketika, atau mengalami kematian, maka tugas asisten nahkoda menjadi diperlukan agar perjalannya menjadi lancar.
Begitu pula dalam rumah tangga, suatu saat mungkin di antara pasangan mengalami hal yang tidak diinginkan seperti sakit yang parah dan ajal yng menjemput, maka langkah terbaik menggantikan posisinya agar kondisinya tenang kembali.Â
Akan tetapi, seperti halnya pernikahan, acapkali yang muncul adalah ketika persoalan kecil datang, yang terjadi justru ingin melarikan diri dari masalah. Semua merasa ingin membebaskan diri dari persoalan yang ada tanpa mau menyelesaikannya dengan bersama-sama. Kedua pihak tidak lagi mampu mengendalikan ego dan ingin selalu menjadi pemenang. Akibatnya sudah dapat ditebak, rumah tangga itu hancur berantakan. Bahtera yang baru saja berlayar dan melewati badai yang boleh jadi untuk menguji keteguhan, justru menjadi bencana yang menghempaskan ikatan suci yang sebenarnya baru dimulai.
Jika semua pihak sudah tidak bisa meredam ego untuk "menyelamatkan diri tanpa memikirkan orang lain", maka biduk rumah tangga pastilah hancur berkeping-keping menyisakan persoalan baru yang menimpa anak di kemudian hari. Anak-anak akan menjadi korban karena orang tua mencari kehidupannya masing-masing.Â
Jika masing-masing pasangan sudah menemukan kehidupan baru, lantas kepada siapa mereka akan meminta kasih sayang? Muaranya tentu kehidupan yang penuh misteri dan segudang masalah di kemudian hari.
Cukuplah untuk tidak menuntut pasangan, karena yang diajarkan Tuhan adalah memenuhi segenap kewajiban dan peran masing-masing demi kehidupan yang sakinah, mawwadah wa rohmah.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H