Bagaimana jadinya jika perahu oleng, tiba-tiba nahkoda meninggalkan kegaduhan itu? Belum lagi asisten nahkoda dan kru tiba-tiba gaduh dan berebut peran mengendalikan kapal atau justru menyelamatkan diri tanpa memikirkan penumpang yang tengah panik. Sungguh semua sulit untuk diterima oleh nalar siapapun dan tentu para penumpang akan menjadi korbannya. Ya kan?
Dalam situasi sulit, yang dibutuhkan adalah kesadaran untuk menyelesaikan masalah secara kolektif dan dengan keyakinan bahwa semua badai akan berlalu. Saya selalu ingat dengan tulisan RA Kartini "habis gelap terbitlah terang". Setiap keluarga akan mengalami masa-masa sulit, dan di saat sulit itulah keteguhan dari ikatan batin kedua pasangan itu tengah diuji.Â
Jika sang nahkoda, wakilnya serta para penumpang bahtera itu mampu melewati semua badai dengan keteguhan dan kekuatan bersama, insyaAllah semua masalah bisa diatasi. Tidak ada masalah yang Tuhan tidak memberikan solusinya.
Tidak ada waktu lagi untuk saling menuntut pasangan, tapi keelokan hati untuk bisa menjadi "pahlawan" ketika kondisi sangat mengkhawatirkan. Karena tidak ada nahkoda yang sempurna tanpa dukungan segenap penumpang bahtera.Â
Ketika salah satu pihak tidak mampu memenuhi perannya, pihak lain "wajib" mengendalikan situasi
Seperti halnya bahtera, ketika rumah tangga mengalami kondisi ketika salah satu pengendali bahtera sudah tidak mampu menunaikan tugasnya, maka asisten nahkoda berhak dan wajib menggantikan perannya. Misalnya ketika sang nahkoda lumpuh seketika, atau mengalami kematian, maka tugas asisten nahkoda menjadi diperlukan agar perjalannya menjadi lancar.
Begitu pula dalam rumah tangga, suatu saat mungkin di antara pasangan mengalami hal yang tidak diinginkan seperti sakit yang parah dan ajal yng menjemput, maka langkah terbaik menggantikan posisinya agar kondisinya tenang kembali.Â
Akan tetapi, seperti halnya pernikahan, acapkali yang muncul adalah ketika persoalan kecil datang, yang terjadi justru ingin melarikan diri dari masalah. Semua merasa ingin membebaskan diri dari persoalan yang ada tanpa mau menyelesaikannya dengan bersama-sama. Kedua pihak tidak lagi mampu mengendalikan ego dan ingin selalu menjadi pemenang. Akibatnya sudah dapat ditebak, rumah tangga itu hancur berantakan. Bahtera yang baru saja berlayar dan melewati badai yang boleh jadi untuk menguji keteguhan, justru menjadi bencana yang menghempaskan ikatan suci yang sebenarnya baru dimulai.
Jika semua pihak sudah tidak bisa meredam ego untuk "menyelamatkan diri tanpa memikirkan orang lain", maka biduk rumah tangga pastilah hancur berkeping-keping menyisakan persoalan baru yang menimpa anak di kemudian hari. Anak-anak akan menjadi korban karena orang tua mencari kehidupannya masing-masing.Â
Jika masing-masing pasangan sudah menemukan kehidupan baru, lantas kepada siapa mereka akan meminta kasih sayang? Muaranya tentu kehidupan yang penuh misteri dan segudang masalah di kemudian hari.
Cukuplah untuk tidak menuntut pasangan, karena yang diajarkan Tuhan adalah memenuhi segenap kewajiban dan peran masing-masing demi kehidupan yang sakinah, mawwadah wa rohmah.