Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jurus Nekat Menjadi Koki di Rumah

21 Oktober 2017   19:38 Diperbarui: 21 Oktober 2017   20:04 879
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar : Salah satu masakan saya lele gurih mak nyusss (dok.pri)

"Suatu ketika hari-hariku terasa sepi. Kucari segelas kopi di pagi hari sudah tidak ada lagi. Yang kudapati perabotan kotor dan cucian menumpuk. Sedangkan anak-anak masih tertidur pulas. Perut terasa keroncongan."

Tulisan di atas pernah mengisi relung hati yang masih kosong. Maklum tidak biasanya saya bangun sepagi itu. Pukul empat pagi harus bangun mempersiapkan segala sesuatu sebelum anak-anak sekolah, sedangkan saya harus bekerja seperti biasa menjadi pengajar di salah satu sekolah bagi anak-anak difable.

Tak seberapa lama terdiam, saya mulai sadar bahwa sang garwo atau belahan jiwa sudah tidak ada di rumah. Ia harus mencari sesuap nasi di negeri orang, dengan terpaksa meninggalkan nikmatnya bercanda ria bersama buah hati. 

Rela meninggalkan rumah walaupun masih mengontrak (gratisan) di kampung, sedangkan saat itu mulai bersiap-siap membangun pondasi rumah. Gak kebayang kan bagaimana repotnya? Hem.

Saya yang biasanya bangun pagi sudah bisa menikmati sedapnya kopi manis dan camilan serta sarapan pagi. Eh, tiba-tiba harus merasa gamang. Dalam batin, susah juga ya jika gak ada istri di rumah? Gak kebayangkan jika seorang laki-laki yang manja ternyata harus siap-siap mandiri. Tentu sulit untuk beradaptasi.

Alhamdulillah, meskipun setiap hari masakan sudah tersedia, beruntungnya selama bujangan hobinya juga memasak meski tak seribet yang biasa ibu-ibu lakukan.

Nekat belajar memasak, agar perut anak-anak tak keroncongan

Belajar memasak akhirnya saya lakukan. Pertama dengan bertanya ibu-ibu atau nenek-nenek tetangga kanan kiri, bertanya sama mertua, teman-teman guru, dan yang pasti bertanya pada mbah google. 

Dengan sekali ketik misalnya 'sayur asem' maka ada berjibun gambar, video tutorial dan artikel yang menceritakan tentang masakan tersebut. Ada yang sekedar menjelaskan jenis dan asal daerah, ada pula yang secara lengkap dan detail bagaimana mempersiapkan bumbu, alat-alat dan bahan, cara memasak dan bagaimana cara menyajikannya selayaknya di sebuah resto atau hotel mewah.

Semakin banyak yang dibaca dan ditonton, diharapkan semakin pandai meracik bumbu, memasak hingga menghidangkannya dengan benar. Tapi lagi-lagi sebaik apapun guru di buku atau internet sekalipun, tak sebaik guru asli atau manusia yang mengajarkannya. 

Seperti pengalaman saya, berkali-kali nonton video tutorial dan artikel cara memaasak pindang, ternyata rasanya tak sesuai di lidah dan tak sesuai selera. Awalnya rasanya keasinan, kurang bumbu, pahit dan pernah pula rasanya gak karu-karuan, alias ngalor-ngidul. Bagaimana nggak galor-ngidul lah wong rasanya kemanisan dan gak jelas rasanya apakah itu pindang, sayur lodeh atau sayur bening gak bisa dibedakan. 

Ada rasa kesal sih, ternyata memasak itu gak gampang. Dalam hati kecil bersyukur punya istri yang doyan masak. Jadi gak tergantung masakan dari warung. Selain kadang gak sesuai selera tentu khawatir dompet kosong sebelum akhir bulan. Namun sebenarnya alasan saya menyukai masakan istri karena konon diolah dengan cinta. Weleh...

Beraneka cara saya lakukan agar masakan enak di lidah. Tapi lagi-lagi guru itu lebih sempurna daripada internet. Percaya atau tidak ya monggo.

Berkali-kali melihat di internet ternyata masih juga gak pas. Jangan-jangan ada bumbu khusus yang tidak disampaikan karena rahasia. Atau memang saya yang telmi jadi gak paham-paham meski sudah dijelaskan? Bisa jadi.

Belajar masak adalah kenikmatan

Bukan dikatakan nikmat dan lezat jika bukan makanan dan hobi bagaimanapun memasak itu mengasyikkan. Jadi tahu beraneka bumbu, cara mengolah dan rahasia tertentu dalam memasak yang kadang kita temukan selama proses belajar.

Boleh saja mengatakan "Apa nggak enak beli saja, Mas? Apa nggak ribet tuh? Benar sekali sih, tapi pengalaman adalah guru yang paling baik. Semakin banyak ilmu dan dan pengalaman mudah-mudahan hidup gak terlalu susah. Coba saja kalau gak pandai memasak, mau berapa duit yang harus dikeluarkam setiap bulan hanya untuk konsumsi. Seperti contoh ketika saya ogah memasak, otomatis kami pun mencari warung makan. Biasanya dengan modal 50 rb bisa makan nasi dengan lauk daging yang bisa dinikmati sekeluarga, eh harus membengkak. Minimal  120-150 ribu untuk makan berlima. Dan itu kurang marem karena gak nambah. Kalau nambah tentu lebih banyak lagi uang yang dikeluarkan.

Gak masalah sih bagi yang super sibuk dan dokunya tebel. Jadi tidak ada waktu lagi untuk repot di dapur. Tinggal order makanan yang diinginkan siap dinikmati.

Kelebihan pria belajar memasak

Menurut masyarakat saat ini bukan jamannya lagi menganggap pria adalah superior. Dalam artian semua pekerjaan dihandel wanita. Karena saat ini karir adalah hak pria dan wanita. Kadang justru sang wanita penghasilannya lebih gede atau kebetulan tidak bisa memasak, maka sang pria mesti membantu kegiatan di dapur.

Tak salah jika semua kegiatan di rumah dikerjakan bersama-sama. Ketika semua dikerjakan  bersama-sama insyaAllah tentu hasilnya menjadi lebih baik.

Apalagi saat ini, para pria sudah banyak yang merajai dapur resto-resto terkenal. Seperti beberapa kali saya mengikuti pelatihan ternyata para kokinya adalah pria. Menurut saya ini luar biasa. Meskipun ada juga yang dikerjakan wanita ternyata hampir 90 persennya pria.

Selain mendapatkan pengalaman olah rasa, dengan hobi memasak tentu akan bisa mengurangi dampak makanan cepat saji yang kadang kita tidak tahu kehalalannya dan tidak paham kandungan zat tambahannya. Seperti bahan pengawet atau bahan tersebut diproduksi secara sehat apa tidak.

Seperti beberapa kali menyimak informasi ditemukannya makanan tak layak saji karena mengandung formalin dan perwarna tekstil. Tentu membuat khawatir jika kita hendak membeli makanan. Bahkan di tempat kami beberapa kali disidak mengandung bahan yang tidak halal bagi seorang muslim. Sampai sekarang mesti waspada jika ingin menikmati makanan siap konsumsi tersebut.

Masih beruntung jika warung makanan atau restonya sudah memiliki standar kebersihan dan kesehatan, kalau tidak tentu membuat masalah bagi kesehatan.

Beberapa kondisi inilah mengapa saya nekat belajar memasak. Tidak perlu bermimpi menjadi koki terkenal. Yang penting bisa mengolah bahan makanan sehat dengan cara yang tepat dan tentu bisa dihidangkan bersama keluarga.

Salam

Metro, 10,2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun