"Weh enak tenan yo, saiki seng wes pindah nang Malesia (Malaysia)." Sepenggal kalimat ini disampaikan oleh pak Sukro (bukan nama sebenarnya) dengan bahasa Jawa ngoko ketika satu demi satu tetangganya memilih mengikuti jejak anaknya yang kini sukses di negeri Jiran Malaysia. Keluarga itu awalnya tidak menyangka bisa kepinjut dengan rayuan putranya yang kini sudah berpindah kewarganegaraan.
Jadi kepikiran juga menuliskan coretan ini, karena saat ini adalah momen  detik-detik Hari Proklamasi atau hari kemerdekaan RI dari penjajahan, dan karena saat ini tengah dihebohkan dengan fenomena dwi kewarganeragaan.Â
Ada beberapa Warga Negara Indonesia (WNI) yang saat ini tinggal di luar negeri, dan adapula Warga Negara Asing (WNA) yang tinggal di Indonesia. Kalau yang tinggal di Indonesia mungkin karena memang ada kepentingan politis yang lebih besar terhadap bumi pertiwi, sedangkan bagi orang Indonesia yang tinggal di luar negeri kebanyakan karena lari dari keruwetan hidup dan kebutuhan yang semakin tidak terjangkau. Adapula dengan alasan karena ingin mengembangkan ilmu pengetahuannya di negara tujuannya.Â
Walaupun ujung-ujungnya tetaplah karena di negeri sendiri kurang mendapatkan respon para petinggi di negeri ini, kebanyakan mereka bermigrasi ke negara lain lantaran di negara tujuan ilmu mereka bisa lebih berkembang dan tentu saja (maaf) dompet mereka bisa lebih tebal. Jauh tebalnya jika dibandingkan dengan dompet yang dihasilkan oleh ilmuan di Indonesia. Prihatinnya mereka sudah lelah melakukan penelitian, ternyata hasil karyanya tak juga membuahkan hasil. Dan sayang sekali justru hak paten mereka diambil pihak lain.
Siapa yang lelah dan siapa yang menikmatinya ternyata berbeda orang. Boleh jadi inilah salah satu kondisi mengapa para ilmuwan itu mau meninggalkan negeri yang katanya menghargai hak-hak intelektual, meskipun begitu banyak tukang plagiat yang menguasai jagat negeri ini.
Kembali pada sosok pak Sukro yang beberapa tahun yang lalu rela melepaskan kewarganegaraannya demi mendapatkan penghidupan di Malaysia. Entahlah, apakah karena terinspirasi film Upin-ipin yang selalu memamerkan kondisi masyarakat yang tentrem ayem, dibandingkan dengan negeri sendiri yang banyak BEGAL, RAMPOK dan MALING, atau karena memang murni dorongan dari sang buah hati yang kini sukses bekerja di negeri itu.Â
Menurut penuturan keluarganya, saat ini mereka sudah mempunyai toko sendiri dan uang di sana sangat berharga. Jika di sini bekerja seharian hanya untuk sehari bahkan kadang nombok, ternyata di negeri Jiran itu bisa dipakai untuk empat hari. Siapa yang tidak kepincut dengan pernyataan bujangannya itu.Â
Bahkan tak hanya satu keluarga ini yang rela berpindah tempat ke luar negeri, karena ada banyak lagi keluarga yang rela meninggalkan tumpah daranya, tanah di mana ia dilahirkan dan tanah dimana ia bermimpi ingin mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Ternyata keputusannya sudah bulat, ia rela menjadi warga Malaysia demi sesuap nasi dan semangkuk kebahagiaan. "Biarlah aku tidak jadi orang Indonesia asalkan perutku tidak kelaparan dan anak-anakku mendapatkan kebahagian, daripada saat ini semua terasa sulit, nyari urip kog susah koyo ngene mendeng pindah wae." Itulah kata-kata akhir keputusan untuk berpindah ke lain hati. Dan boleh jadi alasan umum ini banyak dialami oleh WNI yang tiba-tiba meninggalkan negeri ini demi bisa mengembangkan karir atau mencari pekerjaan yang lebih nyaman, jelas dan hasilnya bisa untuk bersenang-senang. Begitulah kira-kira.
Fenomena Migrasinya WNI dan Mengapa ini Terjadi?
Kepindahan Pak Sukro boleh jadi satu dari ratusan bahkan ribuan WNI yang memilih berkewarganegaraan asing dibandingkan di negeri sendiri. Mereka yang hakekatnya bisa menjadi tuan tanah di negeri sendiri ternyata harus terusir dari kampungnya karena kondisi ekonomi yang menjerat. Tak pelak, karena kondisi yang minus dari sisi ekonomi, sosok pak Sukro dan beberapa orang yang saat ini bermukim di luar negeri memiliki kecenderungan untuk melarikan diri dari kenyataan. Ternyata Indonesia tidak ramah dan nyaman bagi isi penghidupan mereka. Jika menunggu untuk menikmati kemerdekaan, sudah 71 tahun ini Indonesia merdeka, tapi kondisi ekonomi ternyata justru semakin memprihatinkan. Memilih berpindah kewarganegaraan boleh jadi pilihan terakhir ketika nyawa mesti disambung lebih lama. Daripada menanti yang tak pasti mereka lebih memilih menikmati usia tuanya dengan tinggal di luar negeri.
Teringat pula dengan beberapa ilmuwan dan profesor yang menurut media ada puluhan bahkan mungkin ratusan orang yang saat ini tinggal di luar negeri. Mereka adalah orang cerdik pandai dan memiliki segudang ilmu untuk dikembangkan. Mereka bertahun-tahun menetap di luar negeri sebagai warga negara dengan prestasi yang cemerlang. Mereka adalah orang-orang yang semestinya mendapatkan tempat istimewa di tanah air ternyata merasa tidak mendapatkan penghargaan. Mereka memiliki segudang ilmu ternyata di negeri sendiri tidak mendapatkan apresiasi. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali tidak bisa mengembangkan ilmunya lantaran ada permainan politik dan penguasa tirani yang mengebiri hak-hak sebagai intelektual. Dan yang lebih mengerikan lagi ada yang di antara mereka yang justru menjadi musuh bagi bangsa sendiri karena dianggap memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan para politisi yang ada. Maka sudah dapat dipastikan, ketika seseorang itu memiliki kemampuan lebih maka otomatis mereka akan disingkirkan atau dibungkam agar keberadaan politisi itu tidak tersaingi.