Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ta'zim Kepada Guru, Kunci Berkahnya Ilmu

14 Agustus 2016   06:51 Diperbarui: 15 Agustus 2016   06:52 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa sebenarnya yang mesti dihormati setelah orang tua kita? Apakah teman bermain? Bukan. Mereka adalah guru-guru kita. Sosok yang mengajarkan aneka ilmu pengetahuan agar kita menjadi pintar. Guru yang dengan gigih dan sabar membimbing kita mengenali hakekat kehidupan dalam dunia yang heterogen, dan mereka yang selalu mendukung belajar kita serta menegur setiap detik kesalahan yang kita perbuat dalam proses menuntut ilmu.

Bagaimana tidak seorang anak manusia mesti menghormati para guru mereka? Jika semenjak para siswa duduk di bangku sekolah yang mengajarkan mengenal huruf dan bilangan adalah guru-guru kita. Yap. Mereka yang hakekatnya bukan siapa-siapa, bukan ayah, ibu atau saudara ternyata begitu tulusnya membimbing kita hingga usia kita dewasa. Dan mereka yang begitu tulus memperhatikan perkembangan belajar kita semenjak nol kecil hingga lulus sarjana adalah para guru. Dan bersyukurlah kita mengapa di antara guru-guru kita di desa, mereka tanpa lelah mengayuh sepeda mesti berangka ke sekolah untuk mengajarkan sesuatu yang belum pernah kita mengerti dengan ikhlas meski suana batin kadang sekarat. Mereka adalah guru yang kadang penghasilannya tidak seberapa dibandingkan cucuran peluh yang mereka keluarkan selama mengabdikan ilmunya.

Betapa bersyukurnya, huruf demi huruf, kata demi kata mampu kita eja dan kita tuliskan di selembaran kertas kosong menjadi tulisan penuh makna, dan bersyukurlah kita mampu mengetikkan berjuta-juta huruf dari sebuah komputer demi menyelesaikan pekerjaan kita, semua adalah buah karya besar dari seorang guru. Makanya dari semenjak dulu hingga kini, guru tetaplah digugu dan ditiru. Jika guru melakukan kesalahan, maka semestinya dimaafkan dan diingatkan, karena mereka juga manusia biasa seperti kita yang penuh kelemahan. Jangan pernah menghakimi mereka dengan kekerasan, jika hakekatnya kita bisa bekerja dengan baik berkat dukungan ilmu pengetahuan dari guru-guru kita.

Guru tidak pernah meminta dihormati dan dihargai, tapi guru minta untuk didengarkan petuah-petuahnya dan diteladani perilaku yang terpuji. Kitalah para siswanya yang semestinya memberikan penghormatan setinggi-tingginya kepada para guru itu. Karena penghormatan lebih bernilai daripada sejumlah uang ataupun permata. Akan lebih terhormat jika memberi guru senyuman dan doa-doa, daripada memberikan sejumlah uang tapi kita tak pernah menghormatinya. Kita selalu mengukur nilai penghormatan hanya dari uang yang diberikan. Padahal esensi penghormatan kepada mereka adalah mengamalkan setiap bait ilmu pengetahuan dan budipekerti yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari.

Meniru pendidikan anak usia dini dan pesantren, mencontoh penghormatan kepada guru

Tentu kita masih ingat betapa di usia dini kita acapkali melihat para siswa yang mencium tangan guru-gurunya, atau para santri yang ta'zim dengan mencium tangan para ustadz atau kiyai? Tak hanya aksi mencium tangan yang banyak dicontohkan dalam dunia pendidikan tersebut, karena mereka rela mengantri dan rela dimarahi demi bisa mendapatkan sekeping ilmu. Mereka tidak pernah tahu, apakah ilmunya bisa digunakan untuk bekerja atau tidak, karena setahu mereka belajar dan menuntut ilmu hakekatnya mendidik diri menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri pada khususnya, keluarga, lingkungan dan yang lebih besar berguna kepada nusa bangsa dan negara. 

Makanya saya masih ingat ketika ditanya tentang cita-cita, bahwa cita-cita saya ingin berguna bagi agama, bangsa dan negara. Begitu pula ketika anak lekas dilahirkan dan kemudian memasuki dunia pendidikan, semua bercita-cita menjadi sosok pribadi yang berguna bagi nusa dan bangsa. Bukan bercita-cita menjadi guru, dokter, insinyur atau apapun yang bentuknya pekerjaan. 

Tapi justru memilih bentuk pengabdian pada agamanya dengan mengamalkan ajaran agamanya dengan sebenar-benarnya, dan berguna bagi bangsa dan negaranya dengan menjadi sosok yang berjiwa patriotisme, rela berjuang demi menjaga bumi pertiwi dan mengabdikan sepenuhnya jiwa dan raga demi kebaikan bersama. Bukan semata-mata penghasilan atau materi, karena materi atau uang sejatinya akan mengikuti dimana  ilmu pengetahuan kita bisa digunakan dan kebermanfaatan pengetahuan agama kita bagi bangsa dan negara, setelah semuanya dijalani, maka tanpa kita minta, rezeki akan mengalir sendiri. Laksana air hujan yang tak lelah untuk jatuh dari langit, setelah matahari menyinari lautan hingga menjadi gumpalan awan di angkasa.

Para santri rela menunggu sang kyai atau ustadz demi ilmu tajwid misalnya, mereka rela menunggu hingga beberapa saat tanpa mengeluh karena mereka ingin ilmu yang didapatkan benar-benar bermanfaat. Karena ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diperoleh karena salah satunya keridhoan gurunya.

Semenjak taman kanak-kanak atau sekolah dasar, kita sudah diajarkan bagaimana hidup bersama dengan aneka warna kulit dan watak manusia, bagaimana saling menghormati dan menghargai, bagaimana kita bisa mengenal budaya antri dan bagaimana kita bisa menjadi sosok yang kokoh menerima setiap kegagalan dalam ujian untuk kemudian mengulang lagi hingga kita benar-benar memahaminya. Semua diajarkan oleh guru demi kita yang harus menjadi manusia dewasa dengan segudang ilmu pengetahuan yang bermanfaat. Dan tidak pernah para guru mengajarkan siswanya menjadi manusia-manusia jahat dan kejam. Selalu saja kebaikan, budi pekerti, akhlak, hati nurani, teladan dan aneka kebaikan selalu saja diajarkan di bangku sekolah. Seandainya terdapat guru yang melakukan kealpaan, seyogyanya diingatkan agar mereka kembali kepada jalan yang benar.

Karena sebab kita berilmu pengetahuan, maka rezeki akan mengiringi. Dan karena lelah keringat kita bercucuran, kebahagiaan karena rezeki yang didapatkan tidak pernah bisa tergantikan oleh apapun. 

Siapa yang mengajarkan makna itu semua? Guru. Setelah orang tua menitipkan kita kepada para guru, maka hakekatnya siswa dan orang tua mesti pasrah kepada guru. Ilmu pengetahuan apakah yang diajarkan hingga kita benar-benar menjadi manusia yang berguna dan siap-siap menjadi manusia baik yang akan menebarkan kebaikan kepada seluruh alam semesta.

Kalau kita merasa sudah dididik oleh guru menjadi orang yang berguna, sampai kapan lagi kita harus diminta menghormati mereka? Tidak cukupkah peluh dan lelah mereka tumpahkan demi mendidik siswa-siswanya hingga menjadi manusia yang berhasil guna hingga sekarang? 

Akhir kata, jika ingin mendapatkan keberkahan ilmu, maka hormatilah dan hargailah perjuangan guru karena tanpa mereka kita tidak pernah mengerti apa-apa.

Salam

Metro, Lampung, 14/8/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun