Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hama Wereng Menyerang, Lampung Terancam Alami Puso

9 Agustus 2016   03:08 Diperbarui: 9 Agustus 2016   16:53 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hampir setengah bulan kilar-kilir mengantar dan menjemput anak sekolah saya melihat keanehan yang terjadi di pematang sawah. Keanehan tersebut di mana tanaman padi yang mulai menguning sedikit demi sedikit mulai 'leles' atau rusak dengan penampakan warna kecoklatan seperti padi yang usianya sudah matang. Penampakan padi muda itu seolah-olah padi yang siap panen karena penampakan benar-benar sama. Tapi yang membuat saya heran, padi yang semula tampak seperti siap panen ternyata bulir buahnya belum berisi. Jadi layaknya padi ini siap-siap tidak sempurna proses pembuahannya. Dan secara kasat mata, hampir semua hamparan padi atau sekitaran 60 persen menunjukkan penampakan yang sama. 

Serangan wereng ini saat ini benar-benar melumpuhkan produksi pertanian sebagian masyarakat Sumbersari Kota Metro Lampung. Padahal masa tanam ini hasilnya hendak digunakan untuk keperluan kebutuhan sehari-hari dan tentu biaya budidaya padi di musim selanjutnya.

Saya jadi tertegun dan turut mengelus dada. Kasihan sekali, padi ini sudah kering sebelum waktunya. Dan ternyata setelah saya bertanya kepada salah satu petani yang kebetulan tengah menyemprot insektisida, mengatakan bahwa memang benar padinya tengah diserang hama wereng dan itu juga saya buktikan bahwa benar di antara batang padi banyak dikerubuti hama yang cukup merusak ini.

Melihat serangan wereng ini pun petani secara personal menghalau wereng coklat yang merusak padi mereka, tapi faktanya hingga berkaleng-kaleng obat itu disemprotkan ternyata hama itu tak kunjung sirna. Bukannya mati, sawah petani terancam rusak dan gagal panen.

Menurut Wikipedia, wereng coklat (Nilaparvata lugens) adalah salah satu hama padi yang paling berbahaya dan merugikan, terutama di Asia Tenggara dan Asia Timur. Serangga kecil ini mengisap cairan tumbuhan dan sekaligus juga menyebarkan beberapa virus (terutama reovirus) yang menyebabkan penyakit tungro). Kumbang lembing memakan wereng dan anaknya sedangkan sejumlah lebah berperan sebagai pemangsa telurnya. Pemangsa alami ini dapat mengendalikan populasi wereng di bawah batas ambang populasi wereng terutama musim tanam dengan jumlah hama sedikit sehingga mencegah berjangkitnya virus utama.

Senada dengan apa yang disampaikan di atas, seperti yang diungkapkan salah satu petani korban wereng ini, bahwa wereng coklat adalah salah satu hama yang cukup mematikan, dengan sekali bertelur wereng bisa menghasilkan individu baru yang akan semakin banyak dan menyerang dengan massif. Beruntung jika serangan wereng ini bisa diketahui dan dibasmi sebelum ia berkembang pesat. Tapi sayang sekali, kebanyakan petani kurang teliti dan terkesan kurang bisa mengatasi hama wereng. Jadi meskipun ada yang di antara mereka sukses membunuh ribuan wereng, ternyata ada jutaan wereng lain yang dengan massifnya merusak hamparan padi mereka. Maka tak ayal, hingga tulisan ini dibuat, sampai sejauh ini bisa sampai 60% tanaman padi di wilayah penulis mengalami kerusakan.

Terang saja, dengan kerusakan yang begitu parah, para petani siap-siap gulung tikar dan menanggung utang yang lebih banyak. Masih beruntung jika sebagian modal usaha mereka berasal dari tabungan. Bagaimana jika semua hasil dari menghutang, jelas dapat dipastikan mereka akan terseok-seok membayar hutangnya.

Sayang sekali, meskipun dari awal serangan wereng sudah terjadi, ternyata pola penanggulangan dan pencegahan tidak merata di lakukan.

Ada beberapa hal yang membuat penyebaran wereng tidak bisa dikontrol, sebagaimana penjelasan beberapa petani dan tokoh masyarakat di daerah ini:

Pola Tanam yang Salah
Saat ini adalah musim gaduh, yakni saat musim tanam yang dilakukan setelah mereka selesai memanen padi musim penghujan. Jadi intensitas penyakit atau hama lebih banyak ditemui. Apalagi para petani banyak yang tidak mengatur massa tanam, jadi tidak hanya wereng yang menyerang, karena tikus pun terlihat membabi buta.

Masa tanam rendeng sudah meninggalkan aneka hama, jika tidak diberikan tenggat waktu penanamannya, maka penyakit yang sudah ada tadi semakin leluasa menyerang.

Wereng dewasa bersama telur-telur yang belum menetas masih berada di antara tumpukan jerami. Masih beruntung jika jerami langsung dibakar, karena bisa membunuh sebagian telur wereng yang masih tertinggal. Bahkan menurut petani yang menjadi korban, kemunculan wereng tadi memang sudah dimulai semenjak padi disemai. Sayang sekali meskipun terkait ketersediaan air mencukupi ternyata penyakit sangat berlimpah.

Bibit Padi yang Tidak Tahan Penyakit
Saya masih teringat di tahun 90-an, ada bibit padi hasil penelitian dari IPB, yaitu IR 64. Jenis padi ini termasuk tahan terhadap serangan penyakit. Tapi mengingat berbagai hama mengalami proses imunitas, maka di antara penyakit itu tidak mudah diberantas. Selain itu, karena bibit padi juga kebanyakan turunan yang dikembangbiakkan sendiri, maka ketahanan petani semakin menurun tidak seperti padi induknya.

Tantangan bagi Kementerian Pertanian mempersiapkan bibit yang lebih berkualitas, dengan standar tahan penyakit, proses pertumbuhan lebih cepat dan yang pasti mudah perawatannya.

Obat-obatan Tidak Manjur (Palsu)
Berdasarkan informasi diperoleh bahwa di antara obat-obatan yang digunakan oleh petani ternyata sedikit sekali yang memberikan efek nyata pada hama. Misalnya meskipun hari ini disemprot, esoknya lagi masih muncul serangan baru yang semakin meluas. Bahkan sampai berkali-kali sampai setiap hari disemprot, ternyata hama ini masih melenggang bebas menyerang.

Saya pun mengalami menjadi petani, dan tetangga juga kebanyakan petani, jadi acapkali menemukan jenis obat-obatan pertanian yang tidak layak pakai alias palsu. Dan sayang sekali obat-obatan palsu itu seringkali pula lepas kontrol dari pemerintah.

Kerugian masyarakat baru direspons oleh pemerintah setelah ada pengaduan mengenai jenis obat-obatan pertanian yang palsu. Padahal sebagai pelindung masyarakat, pemerintah semestinya lebih ketat mengawasi obat-obatan yang banyak beredar ternyata palsu. Tapi tidak menampik bahwa meskipun aksi pemalsuan obat-obatan ini berhasil diungkap, ternyata modus cara baru semakin banyak. 

Mungkin pemerintah perlu mengadakan penelitian lebih lanjut terkait obat-obatan alami yang barangkali sudah banyak dikembangkan oleh petani lokal kita dengan bahan yang mudah didapatkan. Jadi dengan obat-obatan alami akan membantu petani menemukan cara baru memberantas penyakit dan mengurangi efek negatif dari obat-obatan kimiawi.

Penyemprotan yang Tidak Serempak dan Terlambat
Berdasarkan pengamatan penulis dan informasi dari petani, terlihat sekali bahwa cara melakukan penyemprotan hama wereng dilakukan dengan sendiri-sendiri atau tidak diatur jadwal penyemprotan secara bersama-sama. Terang saja dengan cara parsial ini, hama yang menyerang di satu kedok akan berpindah ke tempat lain di mana belum diadakan penyemprotan. Terlihat sekali di antara hamparan padi, hama ini menyebar begitu cepat ke lahan lain tanpa bisa dihentikan.

Selain tidak serempak diketahui bahwa kebanyakan para petani kecolongan, mereka baru mengenali serangan setelah kelihatan bukti tanaman padi mengering secara tiba-tiba sebelum masa panen.

Andaikan dilakukan secara serempak, serangan hama ini akan mudah ditanggulangi, tapi karena penyemprotannya terlambat, maka sudah dapat dipastikan serangan semakin parah.

Tidak Mampu Melakukan Penyemprotan
Karena begitu massifnya serangan wereng, di antara petani ada yang enggan lagi menyemprot lantaran sudah 80% padinya rusak. Maka sudah dapat dipastikan, dari wilayah yang kadung rusak itu maka akan menyebar ke daerah lain yang berdekatan. Awalnya satu hektar rusak oleh hama, kemudian menyebar ke lahan-lahan lainnya. Anehnya meskipun ada beberapa petani yang kesulitan membasmi hama wereng, ternyata kurang cepat direspon oleh pemerintah. Padahal dengan dibiarkannya serangan wereng menyebar, maka secara otomatis, kerusakan akan semakin meluas.

Musnahnya Musuh Alami Wereng
Ada benarnya memang setiap hama pastilah ada musuh alaminya, dan itu sudah dipahami oleh petani sejak masa lampau. Seperti misalnya tikus musuh alaminya adalah ular sawah, wereng musuh alaminya adalah laba-laba dan lain sebagainya. Tapi seiring perjalanan waktu hampir semua jenis musuh alami ini musnah karena terpapar racun bersama-sama ketika melakukan penyemprotan hama.

Terang sekali, dengan hilangnya musuh alami ini justru merugikan petani dan tentu saja berdampak semakin luas hingga bertahun-tahun untuk mengembalikan populasi musuh alami itu bisa muncul lagi. Dan seandainya dilakukan penyemprotan, semestinya tidak membunuh hewan yang bukan hama. Tapi sekali lagi obat kimia pembunuh serangga tentu tidak memilih-milih mana yang akan dibasmi lantaran masih sama-sama mati jika terkena racun.

Minimnya Penggunaan Obat Alami dari Bahan Tradisional
Dengan kondisi petani saat ini, maka semestinya para penyuluh pertanian (PPL) cepat tanggap dengan keluhan warganya dengan melakukan pencegahan secara terpadu dan memberikan informasi terkait obat-obatan yang sesuai agar persoalan wereng yang sejatinya sudah lama tidak muncul segera dapat diatasi. Seperti memanfaatkan gadung sebagai salah satu pengusir hama walang sangit, seperti yang dilakukan beberapa petani tempo dulu. Apalagi sebentar lagi adalah musim rendeng, di mana para petani mesti mempersiapkan segala macam kebutuhan menanam padi dari mulai benih, pupuk dan obat-obatan yang berkualitas agar kualitas pertanian masyarakat semakin baik, minimal dapat dipertahankan mutu produksinya.

Dan yang menjadi catatan penting pemerintah saat ini adalah, dengan kegagalan petani menghasilkan padi yang bermutu, maka target pemenuhan beras skala nasional akan sulit tercapai, dampaknya rasio kuota import beras akan bertambah.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun