Fenomena berita yang memuat pergerakan aktivis yang mengatasnamakan Partai Komunis Indonesia (PKI) memunculkan banyak praduga dari masyarakat pada umumnya, khususnya para pengguna media sosial aktif seperti facebook, twitter atau kompasiana sekalipun. Semua berkicau dan memberikan penilaian terhadap organisasi politik yang dilarang di negeri ini.Â
Masyarakat tak hanya membicarakan tentang PKI, lantaran saat ini pun digemparkan oleh aktivitas organisasi yang mengatasnamakan berbasis Islam, nama organisasi ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memunculkan paradigma organisasi sebagai organisasi Islam yang cenderung radikal, yaitu menolak adanya negara dengan berdasarkan Pancasila. Padahal, sesuai dengan namanya dengan memakai Indonesia, maka semestinya organisasi itu juga berhaluan ke-Indonesia-an, bukan justru menghilangkan ke-Indonesia-an yang sejatinya masih berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Karena munculnya dua aliran gerakan dengan ideologi yang kontradiktif ini pun akhirnya memunculkan banyak perselisihan pendapat di tingkat arus bawah (grassroot), antara sosok-sosok yang dulu dianggap pahlawan tiba-tiba menjadi pembawa arus pemberontakan di negeri ini. Bagaimanapun menurut kelompok yang berseberangan itu kedua kelompok ekstrim itu sama-sama merasa sudah berjuang memerdekakan negeri ini, tapi faktanya justru keberadaan mereka malah merusak sendi-sendi bernegara yang notabene berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas bernegara. Mereka lupa bahwa Pancasila adalah azas bernegara kita yang tidak akan pernah tergantikan oleh azas apapun bentuknya.
Menggeloranya isu kebangkitan Komunisme di Indonesia merupakan cikal bakal munculnya kerusuhan yang lebih besar jika tidak dibendung keberadaannya, begitu pula organisasi yang mengusung ideologi Islam yang ekstrim itu pun akan menjadi bibit perpecahan di negeri ini. Belum lagi luka lama yang pernah dirasakan oleh para pendiri negeri ini yang justru menjadi korban atas kebiadaban mereka tempo dulu. Bagaimana biadabnya Gerakan 30 September 1965 yang sudah merenggut banyak korban jiwa. Entah dari para jendral yang telah diculik, para kyai, guru-guru dan tokoh-tokoh lain yang juga harus menjemput ajal lantaran tidak seideologi dengan mereka. Belum lagi para korban lain dari kelompok PKI yang notabene sebagian mereka adalah masyarakat bawah yang tidak tahu menahu misi apa yang digelorakan oleh partai komunis itu. Orang awam yang tiba-tiba didaulat menjadi kader dan dipaksa untuk mengimani apa yang menjadi ideologi mereka. Jika melawan maka nyawa pasti melayang.
Bagi mereka yang sudah kadung memiliki persepsi dan mendukung kedua organisasi terlarang itu, maka akan begitu mudah terbawa arus politik yang gonjang ganjing. Mereka berusaha menempatkan posisi sebagai bagian negeri ini meskipun keberadaan mereka akan menjadi racun yang bisa membunuh nilai-nilai idealisme Pancasila sebagaimana yang pernah pula digelorakan oleh pemberontakan PKI tahun '65 kala itu dan pemberontakan DI/TII yang juga berakhir pembubaran organisasi mereka serta pemerintah membuat kebijakan memblokir semua aktivitas yang berbau ekstrim, Â baik dari ekstrim kanan maupun ekstrim kiri ala gerakan mereka berdua.
Munculnya gerakan ekstrim kiri dan kanan ala PKI dan HTI, kemanakah kita akan melangkah?
Pertanyaan ini sejatinya mungkin saja turut menghantui masyarakat di negeri ini, apalagi bagi para kader yang sudah jauh-jauh hari bersifat militan mendukung keberadaan organisasi itu, maka sudah otomatis hingga detik ini mereka pun "boleh jadi" merencanakan aksi demi kebangkitan gerakan ekstrim itu.
Selain para kader sepuh yang boleh jadi juga sudah berada dalam semua institusi negeri ini, maka otomatis juga akan merekrut anggota baru yang akan mengawal dan menjadi bamper gerakan pemberontakan yang mungkin juga sudah direncanakan jauh-jauh hari, anggaplah aksi itu adalah aksi membangun opini dan kepercayaan rakyat bahwa ideologi mereka yang paling benar. Maka generasi muda saat ini akan mengalami kebimbangan apakah tetap ber-Pancasila atau justru memilih organisasi dengan dua arah yang jelas-jelas melawan Pancasila sendiri.
Catatan penting dari pergerakan mereka di jagat media dan di arus bawah, tentu menjadi fakta bahwa saat ini bangsa ini tengah diuji pada pilihan apakah akan tetap bisa bertahan dalam kebhinekaannya dengan ideologi Pancasila atau justru tenggelam oleh prahara identitas dan ideologi baru yang sama sekali tidak sepaham dengan Pancasila. Partai Komunis yang notabene sangat jauh berseberangan dengan ideologi Pancasila begitu pula aksi ekstrim yang dilakukan HTI dalam memperjuangkan khilafah Islamiyah ala organisasi ISIS di Timur Tengah.
Yang pasti, sebagai bagian dari negeri ini, memilih dan menetapkan sikap untuk ber-Pancasila adalah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena hanya dengan Pancasila, sendi-sendi bernegara yang heterogen ini akan tetap bertumbuh sewajarnya serta persatuan dan kesatuannya akan tetap terawat oleh idealisme Pancasila yang sudah mengurat dan mengakar bagi bangsa Ini.