Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[My Diary] Musim Kemarau Itu

13 April 2016   21:21 Diperbarui: 13 April 2016   21:46 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di gubuk kami yang kecil, orang tua kami memang masih utuh, tapi karena bapak merantau demi mencari sesuap nasi, maka harapan untuk berjumpa dengannya mesti ditahan dulu, minimal satu bulan kami bisa bercengkrama kembali.

Aku adalah anak sulung dari lima bersaudara, sebelum adikku yang lain terlahir ke dunia. umurku masih belasan tahun dan baru saja memasuki jenjang SMP. Meski begitu, karena aku yang tertua, maka aku harus menggantikan bapak membantu Emak dirumah. Mencuci pakaian dan membersihkan rumah adalah kegiatan hari-hariku. "Kae gombale dicuci nang kali!, dengan bahasa jawa yang medok, ibuku menyuruhku membawa cucian sebakul ke sungai. Kami semua sekampung rata-rata mengandalkan air sungai untuk mencuci pakaian. Meskipun ada yang sumurnya masih bisa ditimba, kebanyakan memilih sungai untuk mencuci baju, sedangkan yang lain mengantungkan hidupnya dari derasnya air sungai yang masih jernih. Air sungai yang kecil dengan sisa-sisa sabun orang yang mencuci di sana juga, tidak mengurangi semangat kami menggunakannya. Kami beralasan, meskipun boleh jadi airnya sedikit, tapi asalkan mengalir dan mata airnya belum mati maka kami masih bisa menggunakannya. Mungkin kalau jaman sekarang akan berpikir dua kali jika ingin menggunakannya, lantaran sungai-sungai sekarang sudah banyak yang tercemari limbah prabrik. Sedangkan musim kemarau itu, sungai itu masih layak digunakan.

Kuraih baskom atau bakul di dapur, kusiapkan sikat cuci, sabun dan papan alas cuci, aku dan beberapa ibu-ibu serta pemuda yang juga kebetulan ingin memanfaatkan sungai berbondong-bondong menuju ke sana. Mengandalkan sepeda tua, kuikat bakul itu dan kubawa ke sungai. Menyusuri jalan-jalan setapak dan menuruni lembah, menambah keceriaan desa.

Anak laki-laki ini menjadi ala gadis-gadis, menjadi tukang cuci dadakan lantaran repotnya sang ibu. Adik-adikpun belum bisa membantu. Paling-paling membantu memasak di dapur. Itu juga terbatas membantu mencuci piring saja. Sedangkan membersihkan rumah kakaknya yg bisa melakukannya.

Tak terbersit rasa malas atau malu lantaran akulah satu-satunya yang bisa membantu ibu. Adikku yang lain belum bisa diandalkan. Mereka belum bisa membantuku, tapi kalau sekedar ikut maka aku biarkan saja. 'Mas, Aku melok nang kali yo!, bahasa ngokonya juga kental. Adikku hendak ikut ke sungai. ia bukanlah ingin membantu, tapi bermain-main air di sana. Memang sih, meskipun kampung itu susah mencari air, tapi pesona desa yang membuatku betah berlama2 dikampungku. Gak peduli walaupun saat ini sudah menikmati indahnya dunia perkotaan, tapi bagiku dunia perkampungan tetaplah membuat kangen. Nyaman meskipun penuh dengan kekurangan di sana-sini.

Sayang sekali, diwaktu musim kemarau itu, masyarakat belum memikirkan bagaimana membuat sumber air yang jernih dan bisa dipakai oleh banyak orang. Karena memang bukan daerah pegunungan, jadi kalau ingin mencari mata air membutuhkan waktu lama dengan cara membuat sumur di bekas rawa-rawa yang mengering. Konvensional banget. Kalau sekarang sih sudah make sumur bor, maka air sudah menyembur sendiri.

Kira-kira dua jam aku bermain-main dengan cucian, tak sadar, pakaianku sudah selesai kucuci semua. Dan tak sadar pula, hari berganti hari, tiba-tiba adikku yang bungsu terlahir ke dunia. Wah, aku baru sadar, aku lagi yang harus membersihkan popok adikku. Meskipun kadang mau muntah jika melihat ceceran darah nifas, kucoba untuk menahan rasa jijikku demi membantu ibu yang tengah sendiri. Kesendirian ketika Bapak masih merantau, mencari penghasilan yang kadang tak jelas berapa dapat uangnya lantaran upahnya sering ditahan sang bosnya.

Ketika menjadi anak sulung adalah kebanggaan dan kehormatan, maka sudah saatnya melupakan rasa malu demi bisa menggantikan sang ayah dikala beliau tidak ada. Bangga menjadi anak pertama, tapi lebih bangga bisa membanggakan orang tua dengan kemandirian dan memiliki kepedulian dalam mengurangi beban hidup mereka. Dalam gerakku mengayuh sepeda, nampaklah para penduduk desa tetap bersemangat, meskipun mereka tak tahu pasti kapan musim kemarau dan paceklik itu akan berakhir.

Salam

Metro, 13-4-2016

M. Ali Amiruddin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun