Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Putih Pembawa Maut

30 Maret 2016   19:52 Diperbarui: 30 Maret 2016   20:27 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Padahal ia tahu, sahabatnya itu tak lebih tahu masalah agama dari dirinya. Bagaimana tidak, karena Sanep sudah lama nyantri di sebuah pondok pesantren di Jawa Timur beberapa tahun lalu. Jadi untuk ilmu agama tentulah ia lebih ngelontok kering. Sedangkan sahabatnya, mendapatkan ilmu hanya dari bangku SMA dan dari pengajian yang ia dapatkan kalau acara Yasinan.

Ibarat kata ia sama halnya memberi ilmu pada orang yang sudah kenyang ilmu. Jadi yang diberi tahu sudah tahu duluan. Meski begitu, persoalannya bukan tentang tau atau tidak tahu, tapi Sanep akan bersalah jika salah satu anggota keluarganya tidak dapat melihat wajah almarhumah ibunya untuk yang terakhir kali. Karena selama ini, mereka sulit ketemu lantaran tempat tinggal yang jauh. Meskipun media komunikasi saat ini sudah lebih maju, tapi tidak bagi keluarga Sanep, karena mereka tinggal di pegunungan yang jauh dari perkotaan, maka amat sulit melakukan kontak dengan saudaranya itu. Keluarganya tahu meninggalnya sang Bunda lantaran salah satu sahabatnya di kota mau mengabari keluarganya. Meski hanya bermodalkan sepeda motor, informasi meninggalnya sang Bunda sudah dapat di sampaikan.

Masih enak kalau di daerah perkotaan, saat ini sudah ada Video Call, Telepon dengan fasilitan 4G dan lain sebagainya, tentu untuk melakukan kontak dengan kerabat amatlah mudah.

‘Kira-kira jam berapa? Pak Kaum sudah bertanya-tanya dari tadi, Bang? Sahabat Sanep mengulang pertanyaannya tadi.

“Kira-kira jam sepuluh siang.” Sanep menjawab dengan yakin. Meski terlihat sekali raut wajahnya yang lumayan panik karena yang ditunggu-tunggu tidak juga sampai.

Tak disangka-sangka, setelah mereka selesai bercakap-cakap, salah satu keluarganya sudah sampai. Mereka datang dengan deraian air mata. Saudara kandungnya membawa istri dan dua orang anaknya. Nampak wajah kesedihan yang begitu dalam.

“Hik hik hik” Keempatnya menangis sesenggukan.

Sambil berlari, mereka menuju jenazah ibunya. Dilihatnya tubuh ibunya terbujur  kaku dengan kondisi sudah dibungkus kain kafan. Mereka menangis sejadi-jadinya.

“Bunda, kenapa begitu cepat pergi? Padahal kita baru saja ketemu.”

“Bang, ada apa dengan ibu? Kenapa ibu begitu cepat meninggalkan kita?”

“Sudah, ikhlaskan saja, Dik! Mungkin ini sudah ajalnya. Abangpun tak tahu kalau ibu begitu cepat meninggalkan kita.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun