Mohon tunggu...
M. Ali Amiruddin
M. Ali Amiruddin Mohon Tunggu... Guru - Guru SLB Negeri Metro, Ingin berbagi cerita setiap hari, terus berkarya dan bekerja, karena itu adalah ibadah.

Warga negara biasa yang selalu belajar menjadi pembelajar. Guru Penggerak Angkatan 8 Kota Metro. Tergerak, Bergerak dan Menggerakkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Apa yang Kau Minta, Ini yang Kupunya, Cegah Korupsi"

13 Maret 2016   22:22 Diperbarui: 26 Maret 2016   08:53 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Gambar : joetatawarna1.wordpress.com"][/caption]

Pernahkah Anda mempunyai sebuah uneg-uneg yang butuh untuk dilontarkan pada orang lain? Seperti saya kepingin punya ini dan itu, seperti apa yang mereka inginkan. Atau Anda masih menyimpan jawaban yang ingin disampaikan kepada anak-anak kita terkait pertanyaannya, "Pah, kapan kita punya ini dan itu?, misalnya. Tentu membutuhkan kesiapan mental yang kokoh agar mendapatkan jawaban yang paling tepat dan tidak menyakitkan siapapun. Entah pasangan kita, atau justru anak-anak kita.

Sepertinya setiap orang mengalami persoalan ini, bukan? Lantaran setiap orang yang kebetulan yang sudah berkeluarga, akan menjadi korban serangan pertanyaan. Dijawab salah, gak dijawab lebih salah. Semua membutuhkan jawaban yang kadang sulit untuk diungkapkan.

Pasangan yang sangat ingin memiliki segalanya, ingin seperti orang-orang yang ada di lingkungannya, dan juga anak-anak yang turut meminta sesuatu yang kadang kita tak mampu memenuhinya. Atau belum mampu memenuhi lantaran membutuhkan proses yang panjang. Maka bersiap-siaplah untuk jujur dan berusaha terbuka dengan apa yang belum terjadi, tengah terjadi dan apa yang akan terjadi. Apalagi setiap hal semestinya terbuka dan jangan ditutup-tutupi. Seperti berapa penghasilan, berapa kebutuhan dan berapa yang mestinya dicukupkan jika menginginkan sesuatu. Karena tanpa keterbukaan tentulah segalanya menjadi riweuh. 

Dan sebaliknya, dengan sikap ketertutupan itu akan memunculkan sebuah proses mencari jalan terabas. Bagaimana caranya mencari usaha yang boleh jadi amat dilarang oleh negara. Kalau bisa mencari solusi dengan cara-cara yang baik sih tidak menjadi persoalan. Yang sangat mengkhawatirkan kalau justru mencari jalan pintas, misalnya: korupsi, kolusi dan nepotisme, dan melakukan rekayasa serta cara-cara curang demi memenuhi setiap keinginan dan ambisi orang-orang yang ada di sekitarnya. 

Bagaimaan jika keterbukaan itu justru berefek negatif? Atau mendapatkan perlawanan oleh sebab ketakutan jika banyak hal tidak dapat terpenuhi. Katakan segalanya sesuai dengan risiko dan hukuman yang akan diberikan.

Salah satu contoh, Pak Udin adalah kepala sekolah di salah satu sekolah dasar, gajinya sekarang sekitar 4 juta plus tunjangan lain hingga genap 8 jutaan. Si istri ingin mempunyai mobil baru. Padahal gaji itu sudah tinggal separuhnya karena yang separuh harus membiayai sekolah dan kebutuhan bulanannya yang tidak murah. Bahkan acapkali uang yang 8 juta itu habis tanpa sisa lantaran biasa sekolah anaknya yang tidak lagi murah. Tentu menjadi persoalan rumit jika harus memiliki mobil yang mahalnya tidak ketulungan.

Pada akhirnya, berdasarkan rembuk dan tekanan dari keluarganya, pak Udin lalu mengambil kreditan mobil dengan DP 15 jutaan, dengan angsuran 4 juta perbulan selama 3 tahun. Mau tidak mau, selama tiga tahun itu pak Udin harus mencari uang tambahan demi membayar angsuran mobil. Nah, kalau ternyata uangnya habis untuk kebutuhan pokok, sedangkan saat itu harus membiayai kredit mobil, tentu akan memunculkan persoalan baru. Dan solusi yang paling gampang adalah KORUPSI. 

Kalau mau bisnis, bisnis dengan mengandalkan usaha di kantor tentu juga melanggar aturan. Sedangkan kalau ingin bisnis di luaran, emang mau berapa lagi gaji akan terpotong jika harus membiayai tambahan kehidupan yang mewah itu?

Hanyalah KORUPSI yang bisa dilakukan. Apalagi kalau bukan itu.

Mau menggunakan istilah mempunyai investasi atau usaha perkebunan, sejak kapan bisa beli perkebunan kalau gajinya hanya pas-pasan begitu? Sebuah pertanyaan-pertanyaan yang muncul seiring dengan aneka persoalan keuangan yang akan membelitnya.

Nah, sebelum kondisi labil ini terjadi, ada baiknya terbuka saja dengan apa yang ada. Jangan seolah-olah kita bisa melakukan segalanya meskipun kenyataannya nol besar. Memberikan penjelasan yang masuk akal terkait apa yang dimiliki saat ini akan lebih baik dibandingkan memberikan harapan palsu dengan risiko kehidupan yang lebih buruk.

Rasa syukur, kunci terhindar dari korupsi

Bukankah hidup itu perlu disyukuri? Dan bukankah ada banyak keluarga yang lebih rendah statusnya dari kehidupan kita? Ya.

Ada banyak keluarga yang hidupnya berantakan. Hutang di sana-sini hingga hidup tak lagi tenang. Berusaha jaga imej yang berujung main antem kromo dengan cara-cara curang. Dampaknya pastilah lambat laun kejahatannya akan terbongkar.

Seorang kepala keluarga dan istri sebagai kepala rumah tangga yang terbiasa mengatur keuangan rumah tangga tentu harus bisa mengontrol diri. Jangan terjebak pada situasi asal orang bisa wah, maka segalanya diterabas. Bahkan ada yang aneh lagi dengan prinsip "bene tekor seng penteng sohor" Biarlah rugi yang penting terkenal.

Setiap orang berulah seolah-olah sebagai keluarga kaya raya, padahal gajinya amatlah pas-pasan. Mereka berusaha terlihat sebagai keluarga yang mentereng dengan aneka kendaraan di garasi meski tiap bulan ditagih tukang kredit. Dan tentu saja berusaha bermewah-mewah, padahal pendidikan anaknya terhambat lantaran uangnya sudah ludes di pakai jalan-jalan.

Muncullah sikap arogansi. Entah di rumah, di kantor maupun dalam lembaga kemasyarakatan berbuat semaunya sendiri. Segalanya dijadikan sebagai obyek untuk meraih keuntungan pribadi meskipun merugikan pihak lain. Padahal apalah artinya bersikap arogan dengan memanfaatkan pihak lain demi kepentingannya jika ujung-ujungnya akan masuk ke dalam kehancuran.

Persoalan keluarga bukan hanya bagaimana bisa memanaje keuangan saja, tapi lebih dari itu pendidikan moral dengan mencegah diri dari tindakan mengambil yang bukan haknya adalah pendidikan keluarga yang sesungguhnya.

Mengajarkan kepada anak arti kesyukuran adalah amat penting daripada mengajarkan kemewahan meskipun cara-cara yang dilakukan tidak tepat.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun